Menulis dan Kegelisahan Tentangnya

Ummi, PAI – Menulis merupakan satu kata yang mengandung banyak makna. Dalam aspek tertentu, kegiatan tersebut dapat diletakkan sebagai sebuah proses untuk meraih mimpi: menjadi seorang penulis, misalnya. Menulis juga dapat dijadikan sarana untuk mengungkapkan peristiwa atau kejadian tertentu, atau suatu upaya untuk mengungkap fakta tertentu. Daripadanya, juga dapat digarisbawahi bahwa kegiatan menulis merupakan suatu bentuk upaya komunikasi, yakni transformasi pesan atau informasi, dari alam ide yang terdapat pada kesadaran pikiran yang kemudian dibubuhkan sebagai teks atau tanda, sehingga dapat diterima mapun dipahami dengan baik oleh pembacanya.

Seringkali seseorang termotivasi untuk menulis lebih karena terjebak pada orientasi penilaian atas atribut sosial tertentu, misalnya dikotomi stratifikasi kelompok “intelektual” dengan “awam”. Jebakan tersebut membuat penulis lebih mempertimbangkan aspek diksi dan mengabaikan kemampuan penerimaan pembaca atas makna wacana tulisan itu sendiri.

Dalam upaya penyampaian informasi maupun pesan, sesungguhnya seorang penulis tidak jauh beda dengan seorang pelawak dalam suatu lakon drama. Keduanya merupakan komunikator yang bertujuan untuk menyampaikan “pesan” kepada penikmatnya. Pelawak   menyampaikan pesan dengan arena berupa panggung, tertuang dengan gerak, suara yang berbentuk “guyonan”, sedangkan penulis menyampaikannya dengan mencetak tanda dalam sebuah teks.

Berkaitan dengan kondisi pandemi saat ini, tanpa disadari bahwa banyaknya tugas yang tertambat kewajiban pemenuhan terhadapnya, baik dalam cara pandang tata penulisan maupun isinya, dapat diletakkan dalam cara pandang positif. Hal tersebut merupakan wahana yang tepat untuk melatih kemampuan menulis.

Penyelesaian berbagai tugas yang berkaitan dengan menulis tersebut, secara personal dapat diapresiasi sebagai sebuah keberhasilan diri sebagai investasi masa depan. Tidak lah mudah untuk meletakkan huruf, tanda baca, baris atau bahkan sekedar spasi sekalipun, tampak sebagai hal kecil, tetapi hal tersebut merupakan bagian penting yang sering dilupakan. Dari hal tersebut sebenarnya personal branding diuji. Kerapian tata tulis, dan membangkitkan rasa ketertarikan orang lain untuk membaca tentang apa yang ditulis, merupakan indikator yang cukup memadai untuk menilik personal branding tersebut. Tentu saja sebuah tulisan tidak serta-merta muncul dalam kadar “estetika” yang tinggi untuk dibaca, setidaknya makna tulisan itu tersampaikan.

Untuk membangun kepercayaan diri untuk menulis, memang tidak dapat dikatakan mudah. Butuh suatu keberanian untuk memulainya. Mental yang harus dibangun adalah suatu anggapan bahwa tidak ada ide atas tulisan yang buruk, seseorang akan memulainya dengan suatu ide yang cermelang. Adapun berbagai opini tentang tulisan akan muncul di permukaan untuk menjatuhkan identitas penulis, baik dari aspek redaksional maupun kedalaman materi. Hal tersebutlah yang harus diletakkan sebagai kritik sebagai pelecut semangat untuk terus belajar. Bukan sebagai alasan untuk jatuh, tetapi semakin kuat meletakkan prinsip “jangan pernah berhenti menulis!“, daripadanya akan diperoleh jam terbang yang memperhalus bahasa tulisan.

Justru seorang penulis akan dikatakan gagal saat ia berhenti menulis. Ide tulisan sebenarnya tidak akan punah, selama gesekan antara ruang dan waktu terus bergulir. Tidak akan ada istilah “ide usang”, karena sang waktu akan menampilkan ketegangan akibat friksi dengan ruang. Bahasa seorang penulis akan diuji oleh waktu sehingga akhirnya menciptakan suatu identitas yang unik, sebagaimana gajah mati akan meninggalkan gading, sedangkan penulis akan abadi dalam keindahan simbol yang terus dicerna oleh pikiran manusia. Meskipun demikian, sangat naif jika “penulis” diletakkan sebagai status sosial, dan “tulisan” diletakkan sebagai sumber kebenaran tunggal. Suatu tulisan agung hanya lah merupakan “magnum opus” atas letupan kegelisahan di alam pikiran yang tertuang di peradaban, bukan untuk menunjukkan keagungan karya untuk merendahkan penulis atau tulisan lain.

Penulis : Ummi Kalsum

Editor    : Arief Adi Purwoko

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *