PROSES KIMIA KEBAHAGIAAN

Oleh: Ma’ruf Zahran

BERPROSES kata yang mengandung nilai optimisme sehingga mampu menjangkau ribuan tahun seperti doa Nabi Ibrahim (nabi ke-7), setelah meninggikan tapak bekas bangunan leluhurnya, Adam. Doa Ibrahim berikut: Tuhan kami, utuslah dari kalangan mereka seorang rasul  (utusan). Diketahui setelah beribu-ribu tahun adalah Nabi Muhammad putera Abdullah sebagai nabi yang ke-25. Telah membuktikan bahwa setiap orang harus sabar, sebab penantian  kebahagiaan akan datang setelah kesusahan, sungguh kebahagiaan kita tergadai oleh waktu. Waktu  yang dijanjikan adalah hari akhir. Oleh sebab itu, kesabaran tidak mengenal kata akhir.

Mengarungi kehidupan berumah-tangga pun demikian pula, persoalan yang mendasar  wajib diamalkan adalah bersabar ketika mendapat musibah, bersyukur ketika mendapat nikmat,ridha terhadap ketentuan-Nya. Untuk mengimbangi kehidupan di dunia agar berjalan dengan  seimbang dan setimbang, Tuhan jadikan makhluk yang bernama ingat yang berpasangan dengan  makhluk yang bernama lupa. Allah ciptakan dunia untuk akhirat, Allah ciptakan akhirat untuk diri-Nya.

Lalu, manakah yang harus diingat dan manakah yang harus dilupakan? Supaya kita semua menjadi orang bahagia. Dalam unsur tubuh mengandung kimia, ada kimia baik dan kimia buruk. Contoh kimia baik adalah memandang orang lain dengan kacamata kebaikan, niscaya kimia baik  berubah menjadi kebahagiaan.

Adapun kimia buruk adalah memandang orang lain dengan kacamata keburukan, niscaya kimia  buruk berubah menjadi kesengsaraan. Keduanya (baik-buruk, bahagia-sengsara) masih fluktuatif. Belum konstanta, artinya berada pada simpang kanan dan simpang kiri, belum lurus.

Bagaimana cara memandang jalan lurus? Jalan lurus adalah selalu berada dalam  pertengahan (wasathiyah) yang artinya tidak menyebelah. Sebab bila menyebelah artinya bilik kanan tidak lepas dari godaan kiri, bilik kiri artinya tidak lepas dari tipuan bercorak kanan, bisa tipuan materialisme dan bisa tipuan spiritualisme.

Mereka yang lurus adalah mereka yang beriman dengan iman pembuktian berupa amal  saleh. Bukan iman semu, jadi terdapat hubungan antara iman di hati dengan sikap hidup yang  dipilih. Untuk meraih gelar jalan lurus, tidak cukup sekedar pengajian, melainkan pengkajian selama bertahun-tahun secara bertahap agar sampai kepada “yang memberi tahu salah, dan yang diberi tahu salah.”

Pengkajian tauhid tidak semudah yang jamak manusia pahami. Bila belum paham tidak akan sampai paham, namun bila sudah paham akan menjadi tidak paham, tidak paham itulah paham, lalu dikembalikan kepada-Nya. Kualitas dikembalikan ini yang beragam bentuk bila selama ini pemahaman berupa proses bentuk. Ada iman dan amal saleh yang kembali ke derajat jasad, kembali kepada-Nya juga. Bagaimana perjalanan datang-Nya, demikian pula perjalanan pulang-Nya. Pengkajian imani dan amali yang sampai pada isim (jamak asma’) Allah, demikian yang telah dijalani saat datang dari-Nya dan pulang kepada-Nya. Artinya, bagaimana cara dan keadaan datang (tanazzuliyah), demikian keadaan cara dan keadaan pulang (tarqiyyah) setiap  lhamba. Maksudnya bagaimana keadaan mati,pantaulah keyakinan diri dan hati saat hidup.

Terpulang kepada keyakinan masing-masing, ada yang pulang kepada huruf hijaiyah yaitu ALIF, LAM, LAM, HA (ALLAH). Iman kepada ALIF, LAM, LAM, HA adalah iman secara hurufiyah. Ada lagi yang kembali kepada sifat-Nya. Yakin kepada sifat-Nya adalah menginginkan Allah memuliakan diri-Nya dan menolak Allah saat Dia menghinakan.

Allah pangkat nama dan Tuhan pangkat sifat keduanya selalu beriringan, Allahu-Rabbiy,Allah Tuhanku. Dengan merasa mengenal nama-Nya, seseorang dapat bertindak baik dan dapat bertindak buruk sesuai niatnya. Artinya yang baik bisa tertipu dengan niat dan amal baiknya, apalagi yang benar-benar jahat.

Bila beradu keduanya, jelas memancing konflik dalam diri sendiri, bukan di luar diri. Diri ingin baik namun yang datang buruk, malah yang baik tadipun telah pergi sebelum yang bernama baik itu datang. Begitu juga keinginan untuk kaya, bahkan yang terjadi sebaliknya. Kaya belum tentu, miskin sudah pasti. Dalam banyak kasus orang mengira menjadi pejabat yang terhormat itu bahagia, ternyata bahwa jabatannya telah memenjarakannya.

Logika pun adalah bui bagi penganutnya, atau pada ranah hati, hatipun dapat memenjara seseorang. Bila logika hanya mengetahui benar/salah, baik/buruk. Maka logika tergesa-gesa menyimpulkan yang baik adalah benar, yang salah adalah buruk. Logika yang dibangun memang disuruh bertugas untuk menilai orang lain, menyeleksi orang lain. Di landasan logika inilah ilmu dibina dan dibina ilmu. Bagi khawasul-khawas, logika yang demikian belum tersampai kepada Ahad. Kalau pun para ahli logika ini mati, mereka kembali kepada logika, bukan kepada Ahad yang Dia tempat kembali (ilaihi raji’un). Kembali kepada materi sebab-akibat, hitam-putih, demikian nantinya Tuhan akan memberlakukan mereka, sebagaimana dahulu di dunia mereka memberlakukan Tuhan.

Logika adalah anak kandung materialisme. Materialisme inilah ibu yang melahirkan sekularisme, hedonisme, imperialisme sedang ayah mereka satu yaitu atheisme. Meskipun lapisan, irisan mereka sangat sumir karena berada pada labirin ilmu pengetahuan sebagai dampak dari penelitian dan pengalaman dzahir yang menjadi pengalaman logika. Logika sangat mengemuka pada dunia belahan barat. Sedang pengalaman batin yang menjadi anak kandung spiritual sangat mengedepan di dunia belahan timur. Jelas, keduanya telah menjadi hijab (dinding) bagi mengenal Tuhan, dapat dimaklumi bahwa terdapat dua perintang dalam mukasyafah rububiyah yaitu hijab materiality dan hijab spirituality.

Teruslah berjalan jangan berhenti walau bertemu dengan yang aneh. Dan jangan dikomentari seperti suluk Musa dengan Khidir. Banyak bertanya akan mematikan wacana hati, karena medan hati adalah merasa, bukan ditanya. Sabar adalah tuntutan Khidir (Balya bin Mulkan) kepada Musa bin Imran. Surah Al-Kahfi menyebut, maka berdua mereka menempuh jalan (fanthalaqa). Wallahu a’lam.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *