MUKHALAFATUHU LIL HAWADIS

Oleh Ma’ruf Zahran Sabran

Sifat berbeda dengan makhluk dalam segala hal. Secara tersirat, sifat mukhalafatuhu lil hawadis membuang sifat Tuhan pada manusia, dan membuang sifat manusia pada Tuhan seperti Tuhan duduk, Tuhan berjalan, Tuhan berbaring, Tuhan mengantuk, Tuhan tidur. Atau, Tuhan memiliki anggota tubuh seperti manusia, Tuhan memiliki tangan untuk menggapai sesuatu, Tuhan memiliki kaki untuk berjalan, Tuhan memiliki mata untuk melihat, Tuhan memiliki telinga untuk mendengar, Tuhan memiliki kulit untuk meraba, Tuhan memiliki hidung untuk mencium, Tuhan memiliki lidah untuk merasa. Sifat baharu alam sangat bertentangan dengan sifat wujud Tuhan. Bahkan yang lebih berbahaya saat Tuhan menjelma menjadi matahari, bulan, bintang. Sedang Dia memang sudah ada, sebelum matahari ada dan sebelum matahari bersinar. Dia telah hadir sebelum bulan bercahaya. Dia yang menghidupkan bintang dan mematikan. Singkat kata, Dia bukan dihasilkan oleh sesuatu hasil pekerjaan (tahsilul-hasil).

Pengenalan tentang-Nya, mukhalafatuhu lil hawadis, adalah puncak pengenalan (wukuf ‘Arafah). Sesungguhnya Dia sama sekali berbeda dengan makhluk. Keberadaan Tuhan yang tidak mampu dibayangkan. Saat dibayangkan, niscaya Dia jatuh menjadi sifat baharu alam. Dia bukan warna, Dia bukan sketsa. Walau Dia menyimpang dari makhluk, tetapi Dia tidak sanggup untuk dibayangkan. Jangan-kan Dia, surga ciptaan-Nya (makhluk) tidak bisa dilihat oleh mata, tidak bisa didengar oleh telinga, tidak pernah terbetik di hati manusia. Kecuali iman di dunia sudah meyakini Allah, surga dan neraka, pahala dan dosa. Sungguh ganjaran pahala sudah sejak dahulu Allah SWT sembunyikan. Demikian pula jumlah dosa, sangat Tuhan rahasiakan. Ada tiga perkara yang Dia sembunyikan. Dia sembunyikan rahmat-Nya, Dia sembunyikan murka-Nya, Dia sembunyikan waliwali-Nya.

Zat Allah tidak serupa dengan baharu alam. Zat Allah tidak serupa dengan sesuatu apa-pun. Segala apa yang ada pada Allah, tidak ada pada baharu. Segala apa yang ada pada baharu, tidak sama dengan Allah. Kalau baharu sama dengan Tuhan, maka semuanya menjadi Tuhan. Sifat baharu adalah lemah, yang lemah pasti tidak sanggup menciptakan dan menjadikan sesuatu. Sedang tanda Tuhan tidak lemah adalah adanya baharu alam ini. “Laisa kamitslihi syai’un.” Menjadi dalil mukhalafatuhu lil hawadis.

Laisa kamitslihi syai’un, tidak ada sesuatu yang serupa dengan-Nya. Berarti, bilamana sesuatu yang baharu tidak sama dengan Tuhan, maka Tuhan pasti tidak sama dengan yang baharu.

Zat Tuhan yang berbeda dengan makhluk, maka Dia tidak berwaktu. Namun Dia wujud dimana waktu, Dia bukan waktu Zuhur, Dia bukan waktu Asar, Dia bukan waktu Maghrib, Dia bukan waktu Isya, Dia bukan waktu Subuh. Laisa kamitslihi syai’un, Dia tidak bertempat, Dia bukan di Mekah, Dia bukan di Madinah, Dia bukan di Palestina. Segala sesuatu yang berwaktu dan bertempat, pasti bersifat baharu alam semesta. Dan alam semesta, pasti akan musnah.

Zat Tuhan tidak berwarna, bukan putih, bukan hitam, bukan kuning, bukan merah. Zat Tuhan tidak berukuran besar, kecil, tinggi, rendah. Zat Tuhan bukan pada kualitas mulia atau hina. Sifat wujud Tuhan yang menjadi zat-Nya, tidak terkait dengan kualitas dan kuantitas. Zat Tuhan juga tidak berjenis kelamin lakilaki atau perempuan. Setiap yang berjenis kelamin akan memerlukan lawan jenis. Mustahil bagi Tuhan memiliki anak, dan mustahil bagi Tuhan memiliki istri. Anggapan bahwa zat Tuhan berpasangan dan berketurunan merupakan penyimpangan dari ajaran Tauhid.

Manusia, hewan, tumbuhan pasti memiliki hasrat (syahwat), karena berpasangan, berkepentingan. Tuhan menjelaskan: “Pencipta langit dan bumi, Dia menjadikan kamu berpasangan dari jenis-mu sendiri. Dan dari jenis hewan yang berpasangan pula. Dijadikan-nya kamu berkembang-biak dengan jalan itu. Tidak ada sesuatu yang serupa dengan Dia. Dan Dia maha mendengar lagi maha melihat.” (Asy-syura:11). Jangan jadikan Dia berpasangan dalam nama, sifat, zat, dan perbuatan. Tuhan pernyatakan: “Ketetapan Allah pasti datang. Maka janganlah kamu meminta agar dipercepat datangnya. Maha suci Allah dan maha tinggi Dia dari apa yang mereka persekutukan.” (An-nahl:1). Dia berbeda dengan makhluk, jangan katakan Dia memerlukan tempat. Dia tidak di atas, tidak di bawah. Dia tidak di kanan, tidak di kiri. Dia tidak di depan, tidak di belakang. Dia tidak duduk, tidak berdiri. Jika demikian, Tuhan berbeda dengan makhluk ciptaan-Nya. Tuhan tidak kecil, tidak besar. Tuhan tidak putih dan tidak hitam (tidak berwarna). Tuhan tidak gemuk dan tidak kurus. Tuhan tidak tinggi dan tidak rendah. Tuhan tidak sakit dan tidak sehat. Tuhan tidak bergerak dan tidak diam. Bagaimana Tuhan, tidak ada satupun yang menyamai-Nya.

Jelas, nama Tuhan tidak sama dengan nama yang baharu. Sifat Tuhan tidak sama dengan sifat yang baharu. Perbuatan Tuhan tidak sama dengan perbuatan yang baharu. Zat Tuhan tidak sama dengan zat yang baharu. Simpulan ilmu Tauhid menyebut mumatsalatuhu lil hawadis.

Mumatsalatuhu lil hawadis artinya mustahil bagi-Nya sama dengan makhluk. Atau serupa Allah dengan semua yang baharu (sifat mustahil bagi Allah). Wujud Tuhan wajib berbeda dengan makhluk, berselisih dengan rupa ciptaan-Nya (mukhalafatuhu lil hawadis). Sifat ini digolongkan dalam sifat salbiyah. Salbiyah artinya menolak sifat-sifat kekurangan bagi Allah SWT. Salbiyah juga dimaknaimenyingkirkan Tuhan dari sifat yang tidak layak untuk disandang-Nya. Seperti Tuhan memiliki persamaan dengan yang baharu. Tasbih (maha suci Allah) dengan ucapan subhanallah. Subhanallah (maha suci Allah) bahwa Dia bukan nama, sebab nama adalah baharu. Maha suci Allah dari sifat yang baharu. Maha suci Allah dari perbuatan yang baharu. Maha suci Allah dari zat yang baharu. Wallahua’lam.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *