Oleh: Ma’ruf Zahran Sabran
Jiwa yang tidak mau berserah diri kepada Allah adalah jiwa sengsara. Sebab, jiwa berdebat dengan jiwa. Perdebatan yang tiada kata putus. Putuskan semua ketergantungan kepada yang selain Aku. Putuskan seluruh keterlibatan makhluk dalam hidup-mu. Putus, serahkan kepada-Ku saja. Sebab Aku maha menerima penyerahan diri, dan Aku telah menjadi wakil-mu, cukuplah Allah sebaik-baik wakil (hasbiyallah wani’mal wakil). Cukuplah Allah, sebaik-baik tuan, sebaik-baik pelindung (hasbiyallah wani’mal maula), cukuplah Allah, sebaik-baik penolong (hasbiyallah wani’man-nashir). “Telah datang hari (kiamat), dimana setiap jiwa mendebat jiwa-nya sendiri. Setiap jiwa pasti dibalasi sesuai dengan amal mereka. Dan mereka tidak dianiaya.” (An-Nahl:111).
Tuhan pengendali alam semesta untuk manusia (rabbul ‘alamin). Tuhan raja manusia (malikin-nas). Tuhan sesembahan manusia (ilahin-nas). Contoh, Musa mengalahkan semua tukang-tukang sihir Fir’aun. Akhirnya, mereka beriman kepada Tuhan Harun dan Musa, mereka bersujud kepada Allah (saharatu sajidin). Sejak hari itu, malam-nya, Tuhan memerintah kepada Musa untuk membawa kaum Israel keluar dari negeri Mesir (ya Musa, asri ‘ibadi laila). Kemudian mereka berdiaspora di gurun Sinai. Mereka disuruh memasuki negeri yang disucikan, dan negeri yang dijanjikan Tuhan (baitul muqaddas). Namun, mereka tidak mau mengikuti perintah, malah mendustakan janji Tuhan. Kemudian, mereka tidak memuliakan hari sabat. Bahkan, mereka menentang hari sabat (hari ke-tujuh). Dalam arti, tidak mau beribadah pada hari-hari Allah (fi ayyamillah), sabat yang dihormati. Lalu, mereka dilaknat menjadi kera yang hina (qiradatan-khasyi’in). Kera yang hina menjadi watak mereka. Watak tamak, rakus, dan kehilangan rasa malu.
Begitu semua diperuntukkan bagi kemaslahatan manusia. Tugas menjaga, memelihara, merawat diserahkan kepada manusia sebagai pengganti Allah di bumi (khalifatullah fil ard). Memang di bumi tidak bisa (mustahil) menciptakan masyarakat suci. Namun, masyarakat beradab dalam makna saling menghargai, saling menghormati dapat diupayakan.
Tuhan alam semesta (rabbul ‘alamin), telah memasukkan malam kedalam siang (yulijullaila finnahar). Dia telah memasukkan siang kedalam malam (yulijunnahara fillail). Bacaan ayat itu, bacaan zikir di waktu pagi dan petang. Bertasbih kepada Allah, hamba-Nya yang berada di waktu pagi dan petang. “Bersabarlah (Muhammad) menunggu ketetapan Tuhan-mu. Karena engkau berada dalam pengawasan Kami. Dan bertasbih-lah dengan memuji Tuhan-mu, ketika engkau bangun.” (Attur:48). Waktu separuh malam, gunakan untuk bertasbih, bertahmid, memuji Tuhan dalam firman: “Pada sebagian malam, bertasbih-lah padaNya, dan pada waktu terbenam bintang-bintang.” (Attur:49). “Demi bintang ketika terbenam.” (Annajmi:1).
Dipahami bahwa langit dengan seluruh jajaran-binaan, bumi dengan seluruh hamparan adalah karunia Tuhan untuk manusia. Manusia ibarat mutiara (jauhari) yang dipelihara oleh pigura alam semesta, atas perintah Allah. “Allah, Dia yang telah menciptakan langit dan bumi. Dia yang menurunkan dari langit berupa air hujan, tumbuhlah dengannya (air) beraneka buah-buahan, sebagai rezeki bagimu. Dia-lah yang menundukkan untukmu, kapal yang berlayar di laut atas perintah-Nya. Dan Dia menundukkan sungai-sungai untukmu. Dan Dia telah menundukkan matahari dan bulan untukmu. Keduanya beredar (pada orbitnya). Dan Dia menundukkan untukmu malam dan siang.” (Ibrahim:32-33). Pengendalian yang cerdas dari sang ‘alim (rabbul ‘alamin). Dapat dimengerti, bentuk bumi yang oval, bila permukaannya disentuh cahaya matahari, ketika waktu itu adalah separuh bumi menjadi siang. Separuhnya lagi menjadi malam, sebab tidak tersentuh oleh matahari. Tetapi tersentuh cahaya bulan dan bintang. Inilah maksud dari ayat: “Tuhan pemilik dua timur (dua tempat terbit matahari). Dan Tuhan pemilik dua barat (dua tempat terbenam matahari).” (Arrahman:17). Terbit dan terbenam matahari adalah bentuk zikir kepada Tuhan. Tuhan menampakkan bahwa Dia esa dengan cara menampilkan sifat makhluk yang berpasangan. Matahari ada dua, bulan ada dua, sehingga menunjukkan dua timur (masyriqaini), dua barat (maghribaini). Perintah terbit, terbitlah sang mentari, terbenam ke peraduan sang rembulan. Perintah terbenam, terbenamlah sang mentari, terbitlah sang rembulan. Indah perbuatan Tuhan-mu, maha suci Dia yang maha agung.
Jelas, agama diturunkan bukan untuk menyulitkan. Agama Allah diwahyukan tidak untuk memayahkan. Perintah pasti dalam batas kesanggupan manusia, demikian juga larangan dari-Nya. Fakta kitab suci, bertasbih-lah semampu dan sebisa dapat, meskipun bacaan subhanallah satu kali di waktu pagi, dan satu kali di waktu petang. Amal yang disenangi Allah adalah amal yang rutin, walaupun sedikit (wain qalla). Misal, bangun bertahajjud seberapa yang kamu dapat, seperdua atau sepertiga malam, atau kurang dari itu. Engkau dicatat sebagai golongan orang-orang yang bersama Muhammad. Allah yang menetapkan ukuran malam dan siang. Allah memaklumi bahwa kamu tidak mampu menentukan batas (awal dan akhir) waktu. Maka, Dia memberi keringanan kepada-mu. Bacalah bagian dari Alquran yang mudah bagi-mu. Sampai disini, betapa luas kasih-Nya, dan betapa dalam sayang-Nya, Dia sangat memaklumi hamba-Nya.
Sangat lembut perhatian-Nya, betapa kita tidak terenyuh-haru. “Dia mengetahui bahwa ada diantara kamu yang sakit. Sebagian ada yang tertatih-tatih di muka bumi dalam mencari karunia Allah (rezeki). Sebagian lagi ada yang berjuang di jalan Allah. Maka, bacalah apa yang mudah bagi-mu dari Alquran.” (Almudassir:20).
Perintah Tuhan pasti mengandung kebaikan (pahala). Larangan-Nya pasti mengandung keburukan (dosa). Keduanya sebagai jalan pemantik hidayah, pengungkit hikmah. Pahala mengundang makam (posisi) sifat syukur. Dosa mengundang makam (posisi) sifat taubat. Masih dalam lanjutan ayat 20. “Dirikanlah salat, tunaikanlah zakat, berilah pinjaman kepada Allah dengan pinjaman yang baik.” Tegas perintah, jelas balasan-Nya, dari diri kepada diri. Bukan kepada yang lain. Pribahasa, ujarnya: “Siapa yang menebang, dia yang memikul. Ada ubi, ada talas. Ada budi, ada balas.” Warta suci dalam lanjutan: “Kebaikan apa saja yang kamu perbuat adalah untuk dirimu. Balasan baik dari sisi Allah. Dia terbaik dan teragung dalam anugerah. Dan memohon ampunlah kepada Allah, sesungguhnya Allah maha pengampun lagi maha penyayang.”
Julang langit menunjuk pada ketinggian, hamparan bumi menunjuk pada kerendahan. Keduanya adalah tanda kebesaran Tuhan bagi kaum berpandangan yang mau mengambil pencerahan (ulul abshar), bagi kaum berakal yang mau mengambil pelajaran (ulul albab). Wujud mahakarya Tuhan bertujuan hanya satu, mentauhidkan Allah. Surah Ibrahim ditutup dengan pesan penting: “Alquran ini adalah penjelasan untuk manusia sebagai peringatan bagi mereka. Agar mereka mengetahui bahwa Dia adalah Tuhan yang maha esa, dan bagi orang-orang yang berakal (ulul albab) dapat mengambil pelajaran.” (Ibrahim:52). Simpulan, seluruh penguasaan alam semesta oleh Tuhan (rabbul ‘alamin) bertujuan sembahlah Tuhan dengan meng-esa-kan diri-Nya, jangan terdapat persekutuan-persekutuan dalam menyembah-Nya. Apa yang Dia minta adalah ketulusan, bukan keculasan. Ketundukan, bukan keingkaran. Kerelaan, bukan keterpaksaan. Takwa-mu, jangan dicampur dengan durhaka-mu. Sebab, Dia hanya menerima takwa yang murni (tauhid), bukan takwa yang bercampur dengan tujuan yang selain Dia (syirik). Ingat! Allah tidak pernah meminta sedekah. Justru, Dia yang memberi makan, dan Dia tidak diberi makan (Dia tidak memerlukan makanan dan minuman). Uraian ini ditutup dengan merilis firman: “Katakan (Muhammad), infakkan hartamu dengan sukarela atau terpaksa. Namun Tuhan tidak menerima infak dari kaum yang ingkar.” (Attaubah:53). Mendorong semangat berinfak, namun wajib berbasis ketulusan dalam bertuhan (ikhlas), bertujuan kepada keridhaan-Nya, esa (tauhid). Wallahua’lam.