Aswandi, S.Pd (Alumni PAI IAIN Pontianak angkatan 2012; Kepala MA Unggulan BQ, Pembina MT. Al-Muslimah Melawi, Ketua PAC Ansor Nanga Pinoh)
Saya adalah alumni Prodi (dulunya Jurusan) Pendidikan Agama Islam, Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan (FTIK), Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Pontianak. Sebagai alumni yang saat ini berkiprah sebagai Kepala MA Unggulan BQ, tempat para penghapal Al-Qur‘an banyak dicetak. Tetapi saya tidak ingin bicara seputar karir saya saat ini, melainkan seputar pengalaman saya sebagai mahasiswa Prodi PAI yang haus dengan aktifitas diskusi. Ya, saya ingin menyampaikan kepada adik-adik mahasiswa di Prodi PAI, seputar pentingnya tradisi berdiskusi dalam essay ini.
Sebagai mahasiswa yang berasal dari daerah, saya kala itu merasa banyak hal yang perlu diupgrade dari diri saya. Dan, untuk mengupgradenya, saya lakukan tidak hanya memperbanyak deret buku yang saya baca, tetapi mendiskusikannya dengan teman-teman baik di dalam kelas (saat kuliah) maupun di luar kelas. Semestinya hemat saya, kala itu mahasiswa bisa membiasakan diri dengan dunia baca dan tulis menulis, tetapi tidak cukup di situ, mereka mesti sedia disibukkan dengan tradisi diskusi. Saya sendiri, mulai menyukai dunia baca semenjak beralmamater IAIN Pontianak. Lebih tepatnya semenjak bersama kawan-kawan Dema FTIK mendirikan kumpulan diskusi kecil yang kami beri nama Fordisto (Forum Diskusi Tokoh) di bawah asuhan Sekprodi saat itu Bapak Syamsul Kurniawan. Singkat cerita, kelompok diskusi kami ini aktif mendiskusikan berbagai permasalahan, baik politik, sosial, maupun pendidikan. Tak jarang juga kami mengundang para pemateri dari kampus-kampus luar, dan para dosen.
Begitulah Para calon sarjana PAI, hemat saya jangan sampai malas bergelut dengan dunia literasi, dan apalagi apatis berdiskusi. Apalagi, di zaman perkembangan teknologi yang sangat pesat sekarang ini, perpustakaan sudah berada dalam genggaman kita, sangat mempermudah mahasiswa, tinggal kemauannya saja, menelusuri informasi sebagai bahan diskusi. Tetapi satu hal pula, seringkali saya rasa bahwa tradisi diskusi menjadi stagnan itu tak lain oleh karena toxic dari teman-teman juga. Sebab itu support dan komitmen bersama (teman-teman mahasiswa) ini sangat penting dalam menumbuhkan semangat berdiskusi, membaca dan bahkan menulis. Dan, dari hasil diskusi tersebut, sebutlah makalah kelas, bisa lo dibukukan. Kami membuktikannya!. Di mata kuliah filsafat pendidikan Islam, kami berhasil membukukan sebuah buku hasil diskusi kelas kami, berjudul “Diskursus Pendidikan Islam: Suatu Tinjauan Filosofis Pendidikan Islam”, yang diterbitkan oleh penerbit nasional, yaitu Samudra Biru Yogyakarta.
Dengan berdiskusi dan ditambah lagi tradisi literasinya juga matang mestinya tidak ada masalah untuk menyelesaikan studinya. Menulis skripsi misalnya, jadi mudah. Sebab apa?!, kunci menyelesaikan skripsi dalam pengelaman saya: pertama, banyak baca. Membaca sudah menjadi syarat wajib apabila ingin menulis karya tulis apalagi karya tulis ilmiah, termasuk skripsi; dua, rajin mendiskusikannya. Betul, diskusi inilah yang sering dianggap tidak penting oleh sebagian mahasiswa hari ini, padahal diskusi sangat membantu dalam menyelesaikan penulisan karya tulis/skripsi. Dengan berdiskusi kita tahu apa yang harus disempurnakan dari kerja-kerja penelitian dan penyusunan skripsi kita. Ketiga, rajin konsultasi dengan dosen. Kecuali banyak baca dan rajib berdiskusi, konsultasi ini juga penting, Sebab terkadang yang membuat statisnya penyelesaian skripsi mahasiswa adalah malasnya konsultasi baik dengan dosen pembimbing dan/ atau dosen lain yang relevan meski bukan pembimbingnya. Keempat, carilah waktu luang menulis yang kondusif. Cari waktu yang paling tenang untuk merenungkan hasil bacaan, hasil diskusi, dan hasil konsultasi, dan kemudian waktu untuk menuliskannya. Setiap orang bisa jadi tidak sama dalam soal waktu luang yang kondusif ini.
Dengan banyak baca dan rajin berdiskusi saat menyandang status mahasiswa mestinya ketika kelak menjadi alumni dan terjun ke dunia sosial kemasyarakatan, adik-adik mahasiswa tidak lagi mengalami masalah. Sebab, adik-adik mahasiswa sudah matang sebagian, tinggal menyempurnakan ketika bersentuhan riil dengan kehidupan sosial nyata kelak. Jangan lupa, sebagai alumni PAI dari satu-satunya kampus PTKI Negeri di Kalimantan Barat, ekspektasi masyarakat pasti tinggi. Pengalaman saya, lulusan PAI IAIN Pontianak, merupakan lulusan yang dianggap masyarakat sebagai seorang sarjana yang bisa segalanya apalagi ketika tempat pengabdianmu di daerah perdesaan/kampung, mesti siap ketika diminta untuk imam, khatib, mengisi pengajian majelis-majelis ta’lim, bahkan mengurusi jenazah. Dan pada kesempatan itulah, bacaan yang banyak itu dan pengalaman berdiskusi jadi penting. Semoga manfaat.***