ASMAUL-HUSNA SEBAGAI HAMPARAN JALAN SPIRITUAL

Oleh: Ma’ruf Zahran Sabran

Wasiat kitab suci Alquran senantiasa mengedepankan suruhan beriman dengan akal sehat, hati yang bersih, jiwa yang lapang. Bukan paksaan! Agama Islam, sejak dahulu sampai hari ini, siap untuk diuji secara terbuka. Tantangan ini, banyak (kita) temukan dalam ayat-ayat suci. Siapa yang telah melewati tantangan iman, Ibrahim sang Nabi. Juga, sang utusan Tuhan yang lain. Saat Ibrahim mencari Dia (Tuhan), mungkin bintang, mungkin bulan, mungkin matahari. Namun, semua nama-nama itu, jelas bukan Dia yang esa. Ibrahim bertanya, Tuhan, bagaimana caranya Engkau menghidupkan orang yang telah mati?

Bukan kepada iman, namun kepada yang maha esa, iman menjadi kuat sebagai landasan. Esa yang kepada-Nya, akal sehat mampu berpikir. Esa yang kepada-Nya, hati menjadi pandai merasa. Dengan esa, ego diri terkalahkan. Namun bila belum masuk, tidak menyatu (la ittihad), belum lebur (la hulul). Belum saling menghalalkan.

Satu-satunya fungsi akad, ahad (mengesakan), ittihad (manunggaling), hulul (melebur,menghalalkan). Bisa dicapai,  bila telah masuk (Albaqarah:208) dan tercelup (Albaqarah:138).Tempuh kedua manhajun-nubuwwah (cara kenabian), jika telah masuk dan tercelup, menyatulah (Al-Anfal:17). Siapa yang tidak mau masuk, kitab suci Alquran mengisahkan kaum Yahudi, mereka tidak mau masuk sesuai perintah Nabi Musa kalamullah. Sejak dahulu, demikian ajaran penyerahan diri, kesaksian syahadat tauhid dan syahadat rasul (Nur) Muhammad. Tiada Tuhan kecuali Allah, Adam Shafiyullah, Nur Muhammad Rasulullah. Tiada Tuhan kecuali Allah, Nuh Najiyullah, Nur Muhammad Rasulullah. Tiada Tuhan kecuali Allah, Idris Kalimatullah, Ibrahim Khalilullah, Musa Kalamullah, Isa Ruhullah. Pasti, ditutup dengan syahadat Nur Muhammad Rasulullah.

Asmaul-husna, inilah jalan-Ku. Namun, bukan Aku. Tegas, mengingat, melihat tandatandaNya saja, sudah sanggup menenangkan perasaan yang resah, pikiran yang gelisah (baca Arra’du:28-29). Tetapi, jangan berhenti di sini (stagnansi). Jamak yang mengira sudah sampai kepada Tuhan (tujuan). Padahal, baru di jalan. Maksudnya, jalan Tuhan harus sanggup mengantar kepada-Nya. Asma’ dan sifat Allah SWT merupakan bentuk jalan (sabil, jamak subul) menuju Dia. Dia yang tidak berbatas, Dia yang sebenarnya. Sudah semakin Dia perjelas dengan firman: “Katakan (Muhammad). Inilah jalan-Ku. Aku menyeru kepada Allah.” (Yusuf:108).

Malah, semua utusan Tuhan telah menempuh ujian iman. Berbagai reaksi pertentanganiman, hati, napsu, akal. Keempat pasukan jiwa berkancah saling mengalahkan untuk mendapat status kemenangan ego, ego iman, ego hati, ego napsu, ego akal. Mereka harus dipahami sebatas wadah (wahana) bagi keyakinan kepada yang maha tunggal (monotheis). Monotheis (iman-tauhid) merupakan capaian tertinggi dalam beragama. Pada-Nya-lah (esa), sebagai pondasi semua amal dikerjakan.

Tuntutan nama indah-Nya, bertujuan agar tidak keliru dalam bermunajat pada-Nya. Berbaik dan bermulia tutur bahasa menjadi adab yang diutamakan. Sebab, isi adab adalah din (agama), dan isi din (agama) adalah adab. Keduanya tidak bisa dipisahkan, meski dapat dibedakan. Berpegang teguhlah kamu kepada agama Allah, dan jangan bercerai-berai. Diutusnya manusia sebagai khalifah di muka bumi, sebab manusia satu-satunya makhluk (ciptaan) yang sanggup meniru semua sifat Tuhan. Meniru dalam kadar keterbatasan, kelemahan sebagai insan.

Allah, nama-Nya yang tunggal, masih sanggup dinamai. Rabb, nama Tuhan yang tunggal masih dapat disebut. Arrahman, Arrahim sampai Assabur masih bisa disifati, sifat Tuhan. Lalu, mana yang laisa kamislihi syai’ (Dia berbeda dengan sesuatu). Ternyata, namaNya adalah jalan spiritualitas, menuju Dia yang tiada serupa dengan apapun! Artinya, penamaan bukan Dia (Allah) yang sebenar-Nya, kecuali nama. Bagi manusia durhaka, mereka mendustakan nama Tuhan yang dipatuhi. Mereka membuat persamaan dan perbedaan Tuhan dengan alam. Mereka mencatut nama Tuhan, dan berdusta atas nama-Nya. Boleh-kah ini terjadi? Sebab, mereka memahami Tuhan hanya sekadar nama, hanya sebatas isim. Dugaan karena Allah itu nama, niscaya mereka namai dengan nama yang banyak. Anggapan sebab Tuhan adalah sifat, mereka sifati dengan sifat yang jamak. Maha suci Tuhan-mu, Tuhan yang maha tinggi dari apa yang mereka sifatkan.

Logika tentang sifat Tuhan adalah lahir ketika terjadi persinggungan antara konsep tauhid yang diajarkan para utusan-Nya dengan filsafat Yunani. Filusuf Plato, Socrates, Tales, Anaximenes, Anaximandros juga ikut berbicara tentang Tuhan, di abad-abad Sebelum Masehi (SM). Kontak timur-barat tersebut adalah simbiosis mutuals, bermetamorfosis ikut menyertai logika tasawuf yang terbangun sampai kini.

Perumusan 20 sifat Tuhan adalah dapat menjadi alat tes keabsolutan Tuhan versus kenisbian alam. Bukti Allah bersifat wujud (ada), sedang alam semesta bersifat ‘adam (tiada). Dampak ikutan dari perbedaan tersebut (different) Tuhan dan insan (alam), semakin menjauhkan jarak antara Tuhan dengan manusia. Mungkin akibatnya, belum banyak disadari. Muhammad, Nur Muhammad, Rasulullah Muhammad adalah jalan, ikutilah jalan-ku (Muhammad), engkau akan menemukan Tuhan yang sebenarnya. “Katakan (Muhammad). Inilah jalan-ku (dengan pendirian lurus), aku dan orang-orang yang mengikuti-ku (Muhammad), mengajak menyembah Allah dengan yakin. Maha suci Allah, dan aku tidak termasuk orang-orang yang musyrik.” (Yusuf:108).

Baik istilah utusan (rasul, jamak rusul) maupun istilah pintu (bab, jamak abwab) adalah rasul Muhammad. Dan pintu Allah (babullah) adalah Muhammad Rasulullah. “Muhammad, dialah utusan Allah. Dan orang-orang yang bersamanya (umat) bersifat tegas terhadap kekafiran (kedurhakaan), dan kasih sayang sesama mereka.” (Alfath:29). Wallahu a’lam.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *