CIPTAKAN TATA DUNIA DAMAI

Oleh: Ma’ruf Zahran Sabran

Bumi yang kita tempati terhampar sebagai karunia Tuhan, dan langit menjulang tinggi seperti atap besar tanpa tiang, serta pergantian malam dan siang. Menanda pada peredaran bulan sebagai patokan perhitungan tahun hijri. Peredaran matahari sebagai perhitungan tahun masehi. Keduanya adalah untuk manusia. Bila malam melulu, maka manusia akan beku. Bila siang melulu, maka manusia akan kering, lalu terbakar.

Berbagai konflik yang terjadi di muka bumi, bukan berasal dari ajaran agama yang suci. Melainkan banyak disebabkan oleh politik kekuasaan (rakus). Dengan demikian, musuh bersama agama-agama adalah penjajahan, penindasan, ketidak-adilan (perbuatan aniaya). Tugas agama diantaranya membuat orang kaya jangan terlalu kaya, dan yang miskin bagaimana supaya sedikit kaya. Sikap filantropi berasal dari ajaran sedekah yang terdapat pada semua agama. Bahwa tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah. Tidak sekedar menjadi pemurah ketika hari-hari besar keagamaan. Melainkan harus setiap hari menjadi hamba Tuhan yang peduli, ramah dan pemurah.

Bagaimana hutan Sambas, Sanggau, Sekadau, Sintang, Kapuas Hulu yang disulap menjadi perkebunan sawit. Menguntungkan hanya bagi segelintir orang, dan hanya dalam waktu singkat. Pewarisan selamanya adalah hutan lindung menjadi hutan gundul. Ancaman bagi generasi adalah suhu bumi yang tidak bersahabat dengan penghuni. Hutan adalah jantung bumi, namun hutan yang dibabat. Tidak kalah pentingnya, hutan Kalimantan yang tidak “angker” lagi. Harimau Kalimantan, gajah, rusa, monyet, beruang, burung, habitatnya telah dirusak oleh manusia tamak.

Untuk wilayah Indonesia, jantung bumi terletak di hutan Kalimantan, bukan Jawa, Sumatera dan Sulawesi. Sepuluh tahun terakhir, praktik penjarahan habis-habisan, terjadi pada ordinat hutan Kalimantan. Kolusi jahat, oknum penguasa dan pengusaha dengan mesin oligarki yang bekerja. Tentu, “aman-aman” saja. Regulasi memprotek aksi jarah yang dimainkan, by sistem. Tentu, pasti rakyat kecil yang merasakan langsung dampak dari kerusakan hutan.

Rakyat ibarat berhadapan dengan stombal, buldoser, berlapis-lapis pasal hukum, guna membenarkan pengrusakan hutan. Anehnya, kaum agamawan sudah membisu (bungkam). Mereka asik dengan kitab-kitab klasik yang kontennya tidak lagi relevan untuk abad ini. Mereka saling berdebat dengan tujuan mengejar pahala kesalehan individual. Umat beragama, berhitung amal ibadah, guna penyelamatan di akhirat. Sedang sistem gurita oligarki, selalu bekerja untuk memiskinkan rakyat. Ilmuwan sibuk dengan penelitian dan laboratorium, mahasiswa disibukkan dengan SKS. Mereka adalah oknum yang tidak bertanggung-jawab dengan amanah ilmu dan amanah jabatan. Miris, ibarat “anak ayam, mati di lumbung padi.”

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *