(HUMASPAI, 24/10/2022) ISLAM telah memainkan peranan yang penting dalam pembentukan masyarakat Kalimantan. Kehadiran telah mengubah sistem kehidupan sebagian masyarakatnya. Di antara perubah tersebut adalah sistem kehidupan menetap. Sebagaimana umum diketahui zaman dahulu di Kalimantan ada tradisi pengayauan yang membuat penduduk setempat selalu merasa khawatir dan karenanya berpindah-pindah dari satu daerah ke daerah lain. Selain kehidupan mereka yang tergantung sepenuhnya dari hasil alam liar menjadi sebab lain tidak bertahan lama di satu kawasan. Hal ini disampaikan oleh Dr. H. Hermansyah, M.Ag (Dekan FTIK IAIN Pontianak) saat menjadi narasumber pada TV Sarawak pada program bertajuk Salam Nusantara, 24 Oktober 2022.
Ditambahkan pada penjelasannya oleh Dr. Hermansyah bahwa penyebaran Islam telah membentuk satu tatanan kehidupan baru yang menetap, dimulai sistem pemerintahan dengan membuat keteraturan di masyarakat. Bersamaan dengan itu memungkinkan membangun sistem pertanian untuk menopang kehidupan yang menetap tersebut. Islam yang datang dan membawa perubahan itu telah berpengaruh pula pada identitas. Bukan saja peralihan dari agama lokal kepada Islam tetapi juga pada etnisitas.
Masuk Islam menjadi identik dengan menjadi Melayu. Pada masa awal Melayu menjadi simbol peradaban yang maju. Mengaku Melayu menjadi kebanggaan. Terlebih keislaman yang identik dengan kemelayuan itu juga membawa tradisi lain yakni literasi dalam hal ini tradisi tulis. Adanya pemerintahan telah memungkinkan pula adanya sistem hukum, yang dikenal dengan hukum adat. Sebagai bentuk kesadaran akan asal usul lokal mereka dalam sistem kehidupannya unsur-unsur lokal yang baik tetap dipertahankan sambil mengoreksi kekurangannya terutama yang bertentangan dengan nilai-nilai Islam. Demikian tuturnya.
Kecuali mengundang Dr. Hermansyah sebagai narasumber, TV Sarawak juga mengundang Dr. Syamsul Kurniawan, S.Th.I, M.S.I, Kaprodi Pendidikan Agama Islam di IAIN Pontianak. Melengkapi pemaparan Dr. Hermansyah seputar sejarah Islam di Borneo, Dr. Syamsul menjelaskan tentang bagaimana peran dari tokoh-tokoh muslim yang baru pulang haji dalam upaya pengajaran agama Islam di tengah-tengah masyarakat Islam di Borneo, baik di Indonesia maupun Malaysia.
Demikianlah, kejayaan seseorang “naik Ḥaji” telah melayakkan beliau untuk memakai gelar “Ḥaji” bagi lelaki dan “Ḥajjah” bagi perempuan. Malah, golongan “Ḥaji” ini juga dikenali menerusi pakaian mereka berupa kopiah dan serban, serta jubah panjang yang diperoleh dari Makkah. Foto-foto para tokoh-tokoh penyebar agama Islam di Indonesia dan Malaysia seringkali dilihat memperagakan pakaian “Ḥaji”, menandakan mereka adalah golongan “Ḥaji”, meningkatkan status sosial mereka dalam masyarakat, yang kesemuanya juga membuat mulus usaha menyebarkan ajaran agama Islam di tengah-tengah masyarakatnya.
Di Sarawak misalnya, sebutlah Datuk Hakim Haji Abdul Rahman atau lebih dikenal dengan Datuk Hakim Keramat yang saat berumur 12 tahun sudah berangkat ke tanah suci untuk mempelajari ushuluddin, fikih, nahwu, dan sebagainya. Kemudian sekitar tahun 1850 kemudian kembali ke tanah air untuk mengabdikan dan mengamalkan ilmunya. Kecuali Datuk Hakim Keramat ini, masyarakat muslim Melayu Sarawak juga mengenal Datuk Haji Abdul Kadir bin Hassan yang berkontribusi serupa dalam pengajaran agama Islam di Sarawak.
Dr. Syamsul kemudian membandingkan dengan kiprah dari tokoh-tokoh yang ada di Indonesia yang juga bergelar haji, sebutlah KH. Ahmad Dahlan yang mendirikan organisasi sosial keagamaan Muhammadiyah, Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari yang mendirikan Nahdathul Ulama, Haji Omar Said Tjokroaminoto yang kecuali mendirikan Sarikat Islam juga menjadikan rumahnya sebagai tempat belajar seputar Islam dan nasionalisme sehingga lahirlah tokoh-tokoh kebangsaan yang salah satunya adalah Sukarno. Sementara di Kalimantan Barat sendiri, tokoh-tokoh yang bergelar haji juga banyak yang berperan. Sebutlah Syaikh Ahmad Khatib Sambas yang mendirikan tarikat qadariyah wa naqsyabandiah, Maharaja H. Muhammad Basiuni Imran yang memodernisasi Madrasah al-Sulthaniyah milik kerajaan Sambas, dan/ atau KH. Yusuf Saigon yang mendirikan Pesantren Saigoniyah di Pontianak.(SK)