Oleh : Ma’ruf Zahran
JUMAT, 9 Februari 2024 M merupakan salat jumat terakhir di bulan Rajab. Bersamaan dengan 28 Rajab 1445 H. Tidak berlebihan jika Rajab disebut syahrullah (bulan Allah). Syakban adalah bulan Nabi Muhammad, bulan-ku (syahri). Adapun Ramadan adalah bulan umat-ku (syahru ummati). Sah penyebutan Rajab yang mulia, sebab termaktub dalam kitab suci surah At-Taubah (9) ayat 36: “Sesungguhnya jumlah bulan menurut Allah yaitu dua belas bulan. Ketetapan yang Dia tulis saat menciptakan langit dan bumi. Diantaranya terdapat empat bulan yang
disucikan. Itulah ketetapan agama yang lurus.”
Narasi teologi yang dipresentasikan Nabi Muhammad tentang dua belas bulan (Muharram, Safar, Rabi’ul Awal, Rabi’il Akhir, Jumadil Awal Jumadil Akhir, Rajab, Syakban, Ramadan, Syawal Zulqaidah, Zulhijjah), petunjuk kebenaran menurut kitab suci sejak masa azali. Dan empat diantaranya merupakan bulan yang disucikan (minha arba’atun hurum). Disucikan artinya dilarang berperang, kecuali diperangi (membalas) dengan tujuan membela diri. Empat bulan tersebut adalah Zulqaidah, Zulhijjah, Muharram, Rajab.
Khusus Rajab, bulan yang mengandung peristiwa agung sebagai mukjizat kedua bagi kaum beriman, setelah mukjizat kitab suci (Al-Quran). Peristiwa kolosal yang agung adalah isra miraj. Isra dan miraj merupakan dua sesi perjalanan mulia Muhammad Rasulullah SAW yang terjadi pada sebagian malam. Dalam rangka menerima perintah salat, perintah yang paling tinggi nilainya, berdasarkan surah Al-Ankabut ayat 45: “Bacakan oleh-mu (Muhammad) apa yang telah Kami wahyukan dalam Al-Kitab (Al-Quran). Dan dirikanlah salat, sungguh salat dapat mencegah perbuatan keji dan mungkar. Dan mengingat Allah (salat) adalah seutama-utama (ibadah). Dan Allah maha mengetahui apa-apa yang kamu kerjakan.”
Tidak hanya salat yang wajib miraj (naik) kehadirat yang maha qudus di tempat yang qudus. Arasy, rafraf, sampai ke Al-Mustawa. Artinya, perjalanan ibadah tidak sekedar isra’ yang berdimensi perjalanan di bumi, dari Mekah ke Palestina, namun ibadah seseorang wajib menembus langit yang dinamai miraj. Maksudnya, salat yang miraj, zakat dan puasa yang miraj, serta seluruh ketaatan dan kepatuhan tersampaikan kepada-Nya (wushul ilallah).
Merinci dua peristiwa luhur tersebut, ada baiknya mempertanyakan, bagaimanakah perjalanan isra? Bukan untuk menguji, melainkan memperkuat keimanan kepada Rabbi. Auto memantik semangat beribadah tulus sampai akhir hayat (husnul-khatimah).
Subhanalladzi asra bi ‘abdihi laila, juga menjadi ayat pertama surat Al-Isra’ yang menanda bahwa mukjizat ini, diawali dengan kalimah tasbih. Diakhiri dengan kalimah tahmid (hamdalah). Mengindikasikan sebaran ayat yang banyak memperbincangkan kemahasucian Allah (subhanallah). Tuhan yang bebas dari memiliki derivat zuriat dan Tuhan yang merdeka dari keterikatan persekutuan (corporation). Adapun diakhiri dengan kalimah tahmid (ayat 111) menandaskan kembali bahwa Tuhan tidak memiliki mata rantai nasab dan tidak mempunyai dampak sanad. Segala puji bagi Allah yang tidak ada persekutuan di dalam kerajaan. Segala puji bagi Allah yang tidak mengambil penolong, segala puji bagi Allah dari segala kekurangan, kelemahan, kehinaan. Dan agungkan-lah Dia dengan segala keagungan. Berpadu antara awal ayat dengan akhir ayat pada surah Al-Isra’.
Subhanallah justru Dia akan menampakkan, menyatakan bahwa semua yang dilihat, didengar dan dikalam merupakan ayat-ayatNya. Secara sederhana, ayat dapat dimaknai tanda atau sinyal. Sesungguhnya hakikat yang datang kepada makhluk adalah ayat (sinyal), hatta kekasih-Nya, Muhammad Rasulullah SAW. Muhammad Rasulullah SAW adalah ayat atau tanda bagi firman Tuhan yang diwahyukan. Sehingga Al-Quran adalah firman, atau kitab suci yang tertulis (kitabiyah). Dan alam semesta termasuk diri insan merupakan kitab suci yang
terbentang, tercipta (kauniyah).
Kedua relasi ayat tersebut harus berjalan simultan. Ilham qudsiyah selalu Tuhan sampaikan kepada utusan-Nya (nabi), dari masa ke masa. Hikmah rusydiyah sebagai capaian tertinggi para wali yang telah mencapainya. Kalau boleh dipahami isra’ berkelana pada dimensi jasmani, miraj berpetualang pada dimensi rohani. Sedang ahad pada dimensi rabbani (rahasia).
Sedang miraj dalam surah An-Najmi ayat 13-18: “Muhammad melihat Jibril dalam bentuk yang asli pada waktu lain. Di Sidratul-muntaha, jannah Makwa disisinya. Ketika Sidrah diliputi oleh sesuatu yang meliputi-nya. Penglihatan
(Muhammad) tidak menyimpang dan tidak melampaui (tepat). Sungguh, dia (Muhammad) telah melihat sebagian tanda-tanda kebesaran Tuhan-nya.”
Miraj seharusnya menjadi kendaraan untuk menuju Allah bagi para penuju-Nya. Miraj sepantasnya jembatan langit untuk mencari Allah bagi para pencari-Nya. Semua ibadah mengharapkan-Nya dengan sifat kelembutan dari-Ny.
Sikap hidup dipenghujung masa saat ini (2024), disarankan berserah sajalah kepada Allah Jalla wa ‘Ala (tawakal). Sebab, semakin manusia (insan) bersikukuh dengan kemampuan yang dimilikinya, disitulah letak awal ketidakmampuan, karena sudah menihilkan Allah Jalla wa Akram dalam banyak agenda kegiatan. Selayaknya, tidak memberikan alasan apapun untuk sebuah taat yang dilakukan, kecuali lillah. Lillah (untuk Allah) dalam salat, puasa, zakat, haji dan umrah, serta seluruh lapangan kehidupan yang dijalani. Sempurnalah salat karena Allah, zakat, puasa, haji dan umrah serta mu’asyarah (pergaulan) karena Tuhan, Allah yang maha agung. Allah yang tidak ada Tuhan selain Dia. Jangan membangun menara kesombongan sebagai tandingan bagi Tuhan. Lalu, atribut yang disembah. Menara ilmu, harta, pangkat, jabatan dan popularitas yang diangkuhkan, hanya akan menyisakan kesedihan berkepanjangan di dunia dan di akhirat.
Bila tidak, kesombongan ibadah hanya akan habis tertinggal di bumi, tidak pernah naik ke langit (miraj), apalagi menemui sang Pencipta. Al-Khaliq menciptakan manusia, tetapi sesama manusia saling kagum. Lupa untuk kagum
kepada Pencipta. Al-Khaliq menciptakan bumi, namun manusia larut dengan permainan di bumi, lupa untuk mengkaji diri. Al-Khaliq menjadikan langit tujuh tingkat, manusia kagum kepada langit dan lupa bersyukur kepada penguasa langit, sang maha tunggal. Wallahu a’lam.