Oleh: Ma’ruf Zahran Sabran
Rajab tahun ini, 1446 Hijriah terasa istimewa, sebagai bangsa Indonesia dan sebagai umat manusia. Sebagai warga negara Indonesia, kita memiliki pemimpin baru, harapan baru. Sebagai warga dunia, ada harapan memasuki masa depan yang cerah meski menempuh jalan berliku. Namun literasi yang hadir kali ini, bukan untuk mengelaborasi dua hal tersebut, adalah ingin memadahkan bahwa kehebatan isra’ miraj diluar nalar. Dalam rangka mengajari diri untuk memahami diri kepastian, bukan diri keraguan. Diri keberuntungan, bukan diri kerugian. “Demi masa, sungguh manusia dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman dan beramal saleh. Saling menasehati untuk kebenaran, saling menasehati dengan kesabaran.” (Al Ashr:1-4).
Bila menengok Hadis tentang nabi bermalam di rumah Umi Hani, bertepatan pada malam isra’ dan miraj. Sebagian pendapat mengatakan bahwa perjalanan malam suci tersebut adalah rangkaian mimpi nabi. Sebuah durasi perjalanan melebihi kecepatan cahaya. Artinya diluar sigma kimia dan fisika kosmik. Dalam mimpi jelas (rukyah shadiqah), bahwa apa yang disaksikan sekarang adalah kenyataan penampang (fenomena) kosmik saja. Bukan kenyataan kesejatian kosmik (esensia-realita). Bila ini dipaksakan, isra’ miraj fenomenal yang sudah melegenda, akan ada dua kelompok besar dalam bersikap. Sikap pertama diambil oleh Abu Bakar Ash-Shiddiq dengan membenarkan. Sikap kedua diambil oleh Abu Jahal dengan mendustakan.
Peristiwa isra’ miraj sudah minimal melahirkan tiga sikap beragama dan tiga konsep keagamaan. Posisi sikap pertama membenarkan isra’ miraj, mereka kaum beriman dan semakin bertambah iman mereka. Media isra’ miraj menjadi bahan pengungkit (materi pemantik) bagi penambahan iman. Artinya, kaum beriman telah tuntas dengan diri sejati. Beriman tanpa tanda tanya, beriman tanpa komentar. Sebuah kondisi spiritual yang dihadapkan dengan kondisi faktual, mereka memilih percaya dan membuang keraguan tentang semua risalah Tuhan. Namun orang-orang yang beriman sanggup menyikapinya dengan benar. “Dialah yang telah menurunkan ketenangan ke dalam hati orang-orang mukmin. Untuk menambah keimanan mereka yang telah ada. Milik Allah tentara langit dan bumi. Dan Allah maha mengetahui, maha bijaksana.” (Alfath:4).
Karakter orang-orang yang beriman memandang semua nama, sifat, perbuatan adalah baik (qalu khaira). Timur-barat, utara-selatan adalah baik. Mereka bukan menilai materi yang datang. Tetapi siapa yang mampu mendatangkan, tentu yang serba maha. Konsep diri baik dan memandang bahwa Tuhan dan seluruh ciptaan kosmik adalah baik. Termasuk malaikat yang ada di dalam diri, bukan di luar diri. Bagaimana diri memberi salam (rahmat) kepada diri. Dan bagaimana diri memberi siksa (azab) kenapa diri. Maka dalam jiwa setiap orang pasti menyimpan dua unsur utusan. Utusan itu bermacam-macam, diantaranya malaikat. Pada setiap diri, ada malaikat yang tidak berpasangan, Jibril, Mikail, Israfil, Izrail. Dan ada malaikat berpasangan, Rakib-Atit, Munkar-Nakir, Malik-Ridwan. Atau elemen lain seperti unsur nabati, hewan dan jin. Rasulullah Muhammad berisra’ miraj dalam rangka pelepasan unsur-unsur utusan tersebut untuk menuju alam (kosmik) ketuhanan. Kosmik ketuhanan di atas miraj.
Novelty orang-orang beriman berawal dari percaya, bahkan kesaksian mendahului sebelum risalah kenabian terbit. Kesaksian (syahadat) alam roh yang pertama adalah mengenal Nya di awal, lanjut mengenal-Nya di akhir. Syekh Ahmad Ibnu Athaillah (wafat Mesir, 709 H) mengatakan: “Asyraqat bidayatuhu-asyraqat nihayatuhu” (terbit terang dipermulaan-terbit terang dipenghabisan). “Tengahnya” adalah pencarian terhadap diri di awal, kemudian mendapat cahaya (nur). Terus berkekalan dengan-Nya sampai akhir hayat. Akhir hayat (mati) merupakan pelepasan hukum syariat dan pelepasan hukum hakikat. Bagaimana dengan suruhan: “Mutu qabla an tamutu” (matilah kamu sebelum mati)? Mimpi benar Muhammad adalah perjalanan (pemusnahan) roh yang diyakini. Sebab roh juga bagian dari unsur materi. Isra’ miraj berwaktu lebih cepat daripada cahaya, bukan berarti di luar diri. Kelompok ini membenarkan isra’ miraj tanpa sanggah. Bukankah umat nabi Sulaiman (the king Solomon) pernah memindahkan singgasana ratu Balkis dari Yaman ke Palestina lebih cepat daripada sekali kedipan mata. Zabur dan Alquran memfakta dengan novelty kesalehan hamba Tuhan dengan mengatakan: “Ini adalah karunia Tuhan-ku, untuk menguji aku bersyukur atau kufur.” (Annaml:40).
Posisi sikap kedua dalam menyikapi isra’ miraj adalah ragu. Ragu artinya antara percaya dan tidak. Sikap ragu-ragu dalam beragama sangat berbahaya, karena dapat menyebabkan pelakunya ingkar (kafir), minimal munafik (bermuka dua). Ambigu (ragu) dapat ditebak dari perbedaan antara perkataan dan perbuatan. “Dan diantara manusia ada yang mengatakan kami beriman kepada Allah dan hari akhir. Padahal mereka tidak beriman.” (Albaqarah:8). Terakhir, posisi orang-orang yang jelas keingkaran (kekafirannya). Mereka adalah orang-orang yang telah terkunci mati hatinya dari menerima petunjuk Allah (hidayah). Dapat diurai berlandaskan dalil: “Sesungguhnya orang-orang kafir sama saja bagi kamu, engkau beri peringatan atau tidak, mereka tetap tidak beriman. Allah telah mengunci hati, pendengaran dan penglihatan mereka tertutup (ada tembok). Dan bagi mereka siksa yang pedih.” (Albaqarah:6-7).
Peristiwa isra’ miraj sudah mengusung tiga konsep keagamaan. Pertama meyakini isra’ miraj dengan roh saja. Pendapat (qaul) ini adalah pendapat yang paling tua dan pendapat terdahulu (qaul qadim). Namun pemahaman isra’ miraj dengan roh (mimpi), kurang popular (tidak merakyat) di kalangan umat Islam. Demikian pula gambaran dari masjidil-haram ke masjidil-aqsa adalah dimensi roh. Dari aqsa (jauh) naik ke sidratul-muntaha, al-mustawa langsung bertemu dengan Allah (berdimensi roh).
Pendapat kedua, memahami peristiwa isra’ miraj berdimensi jasad dan roh. Konon, genre ini (sedikit banyak) datang kemudian, setelah dunia Islam kontak dengan filsafat Yunani (Skolastik) dan terpengaruh. Ikut mewarisi ajaran bahwa Tuhan, malaikat, jin wajib tampak (realitas profan). Wahai Musa, tunjukkan kepada kami, Tuhan yang tampak (Tuhan material). Namun Musa tidak sanggup mendatangkan sosok Tuhan yang diminta kaum Yahudi. Sebenarnya, filsafat materialisme telah diutarakan oleh umat Musa. “Dan ingatlah, ketika kamu (umat Musa) berkata, wahai Musa! Kami tidak akan beriman kepada-mu sebelum kami melihat Allah dengan jelas. Maka halilintar menyambar-mu, sedang kamu menyaksikan.” (Albaqarah:55). Dahaga spiritual kaum-nya dituruti oleh Samiri dengan membuat patung anak sapi yang sanggup berbicara. Teknologi intelegensi buatan telah ada sejak Musa, bahkan Ibrahim. Terbukti di masa Musa terdapat Samiri (ilmuwan), Haman (teknokrat), Fir’aun (penguasa). Oligarki Mesir yang telah berkuasa selama ratusan tahun. Demikian pula pada masa Ibrahim telah hadir Namrud dengan istana berhala sebagai pusat persembahyangan di Babilonia.
Pendapat terakhir bahwa perjalanan isra’ miraj adalah peristiwa yang sepenuh keyakinan diserahkan kepada Pemiliknya, Rabb. Tidak lagi berkomentar dari A sampai Z. Dari segi jumlah, mereka sangat sedikit (minoritas).
Teori mereka tentang peristiwa isra’ miraj hampir tidak ada. Sebab, mereka berserah-diri kepada-Nya. Tiada tanda tanya, tiada tanda petik. Bahkan tiada isyarat, tiada ibarat. Kecuali pengenalan yang sempurna, ‘arif kamil. ‘Arif kamil berada di tingkat akhir (nihayah) pengenalan kepada Tuhan (ahadiyah). Nihayah tiada memandang kepada isyarat taat yang datang dan pulang. Tiada memandang kepada isyarat maksiat, bala’ dan nikmat. Mereka hanya mengatakan (Ali Imran:7): ” … Kami percaya dengan apa saja yang didatangkan Allah. Tiap tiap sesuatu ada di sisi Tuhan kami …” Jalan pelepasan. Wallahua’lam.