Oleh: Ma’ruf Zahran
Menyimak kajian guru, intinya telah tersampaikan, Allah ingin dikenali. Allah ingin dikenali bukan sekedar basa-basi. Terkadang perkenalan yang sederhana-pun, Dia balas dengan anugerah yang berlimpah, misal dalam perdagangan, keilmuan, kesehatan, kekeluargaan dan sebagainya. Bahkan bagi yang ingkar kepada-Nya telah Dia cukupkan fasilitas kehidupan, berupa kesanggupan bekerja, berdagang, bertani, berkebun. Namun, orang-orang yang Aku (Allah) beri materi, belum tentu Aku cintai. Boleh jadi, dalam pemberian-Ku adalah bentuk murka-Ku, atau kemurkaan dalam gelombang nikmat. Dengan kata lain tertampak nikmat, namun yang tersembunyi adalah hakikat kemurkaan. Istilah tauhid menyebutnya istidraj. Istidraj pernah diberlakukan Tuhan kepada Firaun dalam hegemoni politik kekuasaan, tanpa dia sadari.
Tindakan kejahatan memecat, menjatuhkan sampai membunuh merupakan efek buruk dari istidraj. Sebab, apabila istidraj sudah menjadi penyakit akut bagi seseorang, istidraj dapat dipahami sebagai pembiaran manusia saat durhaka. Akibatnya, dia bisa melakukan apa saja, aneka jenis kriminal. Seperti penculikan, pembunuhan sampai penyaliban dan mutilasi yang dilakukan Fir’aun dan pengikutnya terhadap mantan tukang sihir-nya, setelah mereka beriman kepada Tuhan Musa dan Harun, Tuhan semesta alam. Penyaliban merupakan hukuman terkeji dalam sejarah dunia masa klasik. Tuhan menceritakan hukuman tersebut dalam surah Al-A’raf ayat 103-126.
Tuhan membiarkan Fir’aun untuk berbuat sekehendak hatinya, sampai dia mengaku Tuhan. Puncak kesombongan, dalam deklarasi Fir’aun: Aku adalah Tuhan-mu yang maha tinggi (ana rabbukumul-a’la). Lalu, Fir’aun-pun memanah Tuhan Musa dari menara yang tinggi. “Matilah Tuhan yang selama ini diyakini Musa, Harun dan umat-nya. Sungguh anak panah-ku sudah berlumuran darah, sebagai bukti Tuhan sudah mati, dan Akulah Tuhan yang agung.” Unjuk kekuasaan adalah tradisi Fir’aun, pamer kekuatan, pamer kekayaan (fleksing). Betapa bodohnya Fir’aun, kekuasaan telah mematikan akal sehat, disamping penguasaan terhadap kekayaan negeri Mesir dan sungai Nil. Artinya, hegemoni ekonomi yang telah menumpulkan bahkan mematikan rasa. Sebab, kekuatan politik kadang berkolusi dengan kekuatan ekonomi.
Misal, Tuhan membiarkan Haman, arsitek dan ilmuwan terpercaya, bahkan penasehat Fir’aun untuk merekayasa keilmuan bagi memapankan politik kekuasaan dan ketuhanan Fir’aun. Dalam sejarah sepanjang kemanusiaan, Haman adalah ilmuwan yang terkutuk, sebab mengabdi kepada kejahatan yang terstruktur. Korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) mereka merupakan tiga serangkai kejahatan dunia yang luar biasa, beserta manusia yang se-watak
dengan mereka. Padahal, mereka adalah orang-orang cerdas yang berpandangan luas, namun tanpa berbasis tauhid (Fir’aun wa Haman wa Qarun, wahum yubshirun).
Maksudnya, hegemoni kekuasaan bersinergi dengan supremasi keilmuan dan konglomerasi kekayaan. Fleksing kekuasaan politik oleh Fir’aun, keilmuan oleh Haman dan kekayaan oleh Qarun. Ketiganya sama bejat, hanya konsentrasi kajian mereka yang berbeda. Ketiganya memusuhi Musa, Musa sebagai utusan Tuhan.
Firaun versus Musa, Qarun versus Musa, Haman versus Musa, infiltrasi-nya sangat terasa sampai sekarang. Malah di akhir zaman akan menguat, nubuwwat ujung masa banyak kita saksikan. Kalau dulu hanya teori, sekarang sedang praktik. Pemahaman tentang akhir zaman, kematian, kebangkitan dan alam akhirat (eskatologis) sering didiskusikan pada fiqih tahawwulat. Hari ini, tanda-tanda akhir masa sudah cukup terhimpun, tinggal menunggu tandabesar (‘alamatul kubra) yang pertama, yaitu turun Dajjal, diikuti dukhan (meteor jatuh ke bumi), disusul dabbah (binatang melata yang sanggup berbicara) kepada manusia. Peristiwa demi peristiwa dalam waktu yang tidak berselang lama (innassa’ah baghtah). Firman itu mengatakan: “Sesungguhnya kiamat terjadi dengan tiba-tiba.” (Baca: Yusuf ayat 107). Tiba-tiba pandemi, tiba-tiba mati, tiba-tiba kiamat. Nabi melukiskan durasi waktu mereka (10 tanda besar kiamat) seperti butiran tasbih yang jatuh dari ikatannya, hampir tidak berjeda.
Surah Al-Qasas membongkar kepura-puraan mereka menjadi kesombongan yang nyata, Al-Quran menyifati Qarun dengan istilah bagha. Bagha artinya kesombongan karena ekonomi, dengan konglomerasi ekonomi, dia menguasai dunia (baca: Al-Qasas:76). Adapun Fir’aun diberi gelar thagha, artinya kesombongan politik dinasti. Cirinya mengabaikan rekrutmen secara legal dan prosedural, kecuali kedekatan hubungan keluarga seperti istri, anak dan kolegial organisasi. Al-Quran menyebut keluarga, pengikut atau konsorsium yang bekerja sama dengan Fir’aun dalam sebutan ala Fir’aun.
Kejahatan mereka yang terbuka di depan publik, dipupuk dan disuburkan oleh para pengikut. Sehingga menjadi icon kejahatan yang dibanggakan dan sangat terang-terangan. Untuk kita hari ini, sudah Tuhan peringatkan (warning) sejak lama dalam Al-Quran: “Dan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami, akan Kami biarkan mereka berangsur-angsur (kearah kebinasaan), dengan cara yang tidak mereka ketahui. Dan Aku akan memberikan
tengat waktu kepada mereka. Sungguh, rencana-Ku sangat kokoh.” (Al-A’raf:182-183).
Demikian istidraj yang dapat dimaknai berangsur-angsur dalam kehinaan saat Tuhan membiarkan manusia durhaka tanpa kesadaran. Istidraj juga berarti murka-Nya yang tersembunyi dalam penampakan nikmat dan kesenangan hidup. Istidraj telah dirasakan oleh Fir’aun, Haman, Qarun, Abu Jahal, Abu Lahab. Antagonis istidraj adalah karamah (kemuliaan). Namun tetap mawas diri, bahwa karamah bisa berbalik arah menjadi istidraj. Pemahaman lain, waspada pada ujian taat, sebab dia dapat menjadi iblis yang sombong. Waspada pada ujian maksiat, sebab dia bisa menjadi iblis yang berputus-asa dari rahmat Allah. Waspada pada ujian bala’, sebab dia menjadi alat untuk mengecam Allah. Waspada terhadap ujian nikmat, sebab dapat menyebabkan seseorang berwatak Qarun. Wallahu a’lam.