Oleh: Nopita Sari
Ketua Program Studi Pendidikan Agama Islam (PAI) IAIN Pontianak, Dr. Syamsul Kurniawan, S.Th.I, M.S.I mengikuti rangkaian kegiatan the 23rd Annual International Conference on Islamic Studies (AICIS) Tahun 2024 di Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo, Semarang, Jawa Tengah selama 5 hari dari Tanggal 31 Januari 2023 hingga 4 Februari 2024.
Kegiatan the 23rd Annual International Conference on Islamic Studies (AICIS) 2024 ini mengangkat tema: “Redefining The Roles of Religion in Addressing Human Crisis: Encountering Peace, Justice, and Human Rights Issues” atau “Mendefinisikan Ulang Peran Agama dalam Mengatasi Krisis Kemanusiaan: Menghadapi Isu Perdamaian, Keadilan, dan Hak Asasi Manusia”.
Dalam kegiatan AICIS tersebut, Dr. Syamsul Kurniawan, S.Th.I, M.S.I juga dipercaya oleh penyelenggara AICIS sebagai Chair pada Panel Parallel Session 3 Tentang DEGLOBALIZED ISLAM, QUO VADIS: Revisiting the Grassroots Understanding of Moderate-Most (Awsat) Islam in the Indo-Malay World, tanggal 3 Pebruari 2024. Beliau mengungkapkan bahwa “Umat beragama harus mampu menerjemahkan konsep moderasi beragama yang betul-betul fungsional tujuannya untuk kemaslahatan kemanusiaan dan bahkan semesta (rahmatan lil ‘alamin) karena dengan begitu kehidupan beragama di tengah-tengah kita akan lebih damai serta sejahtera dengan adanya kesadaran serta pemahaman seluruh umat beragama terhadap konsep moderasi beragama yang benar”. Ungkap Dr. Syamsul.
Kaprodi PAI IAIN Pontianak Dipercaya Sebagai Chair Pada AICIS 23 di Semarang.(Dok)
Ia melanjutkan, “namun tren yang berkembang saat ini, banyak yang mengaku moderat dan mengklaim paling moderat, sementara dalam pembenaran klaimnya berlaku hegemonik dan intoleran terhadap kelompok-kelompok lain (the others) yang dipetakan mereka tidak moderat. Bahkan, terhadap saudaranya seagama, yang karena berbeda selera Mazhab atau politik dianggap lain dan tidak moderat.”
“Di Indonesia, di alam Melayu, sudah selayaknya, kita bisa belajar banyak dari Gus Dur, Buya Syafi’i Ma’arif, Cak Nur dan lain-lain tentang bagaimana rumusan moderasi beragama mereka yang santun dan beradab serta inklusif, dan bukannya malah menjadikan suatu diskursus sebagai cara menyingkirkan kelompok-kelompok lain (the others) yang tidak disukai.”
“Konsep moderasi beragama mesti digali dari akar kultural kita, dari grassroots, namun jangan sampai terjebak pada politik identitas. Jika tidak, yang terjadi adalah politisasi konsep moderasi beragama. Tidak selayaknya semua kelompok beragama, masing-masing mengklaim paling moderat (awsat) dan mengecilkan kemungkinan peluang kelompok lain dianggap moderat. Tidak selayaknya bersikap hegemonik,” demikian tutur Doktor muda yang di bawah kepemimpinannya berhasil membawa Prodinya mencapai nilai akreditasi Unggul dari Lamdik.