MELESTARIKAN NILAI JUANG KEMERDEKAAN UNTUK GENERASI MILENIAL

Oleh: Ma’ruf Zahran Sabran

Cerdas tapi ikhlas, beradab. Prototype yang seperti apakah tawaran untuk generasi milenial, dalam menghadapi tantangan, hambatan, peluang, kesempatan (analisis SWOT). Tuhan selalu memberi solusi, didalam tantangan terdapat peluang, di sela-sela hambatan, muncul kesempatan. Ujungnya, menjadi pemenang. Justru rahmat-Nya berada di alam kemerdekaan.

Kemerdekaan adalah tonggak kelahiran bangsa yang memantik banyak kebaikan. Ibarat lokomotif, dia menarik gerbong pengantar ke tempat tujuan. Generasi sekarang adalah penikmat kesempurnaan agama yang dijanjikan, sejalan dengan berkat kemerdekaan RI yang kita jalani. Tidak ada kata lain, kecuali bersyukur. “Jika kamu bersyukur, pasti Aku tambah (nikmat). Dan jika kamu kufur, sesungguhnya siksa-Ku sangat pedih.” (Ibrahim:7).

Dan, jika kamu menghitung nikmat Allah, maka kamu tidak akan mampu untuk menghitungnya. Bersyukurlah, cara mensyukuri nikmat Allah adalah dengan mengesakan-Nya. Jangan memperserikatkan Dia dengan seseorang dan dengan sesuatu. Sebab, Dia bukan seseorang dan Dia bukan sesuatu. “Tuhan kamu adalah Tuhan yang esa. Justru orang-orang yang tidak beriman kepada akhirat, hati mereka mengingkari keesaan, dan mereka orang-orang yang menyombongkan diri.” (Annahl:22). Artinya, karakter generasi milenial adalah mereka yang beriman kepada Allah, beriman kepada hari akhir, mentauhidkan Allah, dan rendah hati (tawadhu’). Mereka mencontoh Musa, Isa, Muhammad. Ketiga para utusan itu, banyak dikisahkan oleh Alquran sebagai pelajaran hidup yang berharga. Musa-musa milenial, Isa-isa milenial, Muhammad-muhammad milenial, wajib hadir dan memberikan kiprah ilmu dan amal. Ilmu dan amal mereka bagi kemaslahatan nusa, bangsa, agama. Bumi Indonesia adalah yang subur bagi benih pemikiran yang cerdas, bagi amal yang ikhlas. Dalam semboyannya: “Hubbul wathan minal iman” (cinta tanah air bagian dari iman). Mengapa gerangan?

Muhammad kelahiran Mekah, 571 Masehi. Diusia 53 tahun beliau diperintah berhijrah. Sebenarnya, di hati kecil beliau, berat nian meninggalkan tanah air, tanah tumpah darah. Mekah tempat kelahiran, tempat aku dilahirkan, dibesarkan, tanahnya adalah tempat aku bermain. Oh Mekah, udaramu, airmu, apimu, tanahmu, dikau menjadi sebab, tempat Tuhan mengasuhku..Andai penduduk Mekah tidak mengusirku, aku tidak akan pernah meninggalkanmu, wahai negeri Mekah yang diberkati, ujar baginda. Beginilah seyogyanya, kecintaan generasi milenial terhadap NKRI. Menjadi garda depan dalam merawat, mencintai, menyayangi, menjaga Indonesia. Bukan merusaknya dengan paham radikalisme, aksi teror, tindak kejahatan korupsi. Namun, jadilah anak negeri yang berintegritas, berkomitmen, beretos kerja, berbudaya Indonesia yang santun, damai, ramah-tamah.

Begitu Rasul mencontohkan cara mencintai tanah air, tumpah darah kelahiran. Kalau bukan karena penduduk Mekah mengusir-ku, dan kalau bukan sebab perintah hijrah setelah aku dizalimi, tidaklah aku pernah meninggalkan-mu, Mekah. Jejak inilah yang diikuti sahabat dan umat. Sehingga menjadi tradisi kehidupan mereka. Keluar dari kampung asal, untuk berhijrah.

Hijrah milenial dalam rangka menuntut ilmu, hijrah milenial dalam rangka mencari karunia Tuhan dan keridhaan-Nya. Hijrah dalam upaya menemukan lingkungan yang lebih baik. Hijrah dalam menjemput dan menyambut pertolongan Allah. Sungguh pertolongan Allah sangat dekat. Sekejap mata atau lebih cepat lagi (kalamhil basar au huwa aqrab).

Madinah merupakan tempat yang dituju. Walau sebelumnya, sudah melewati daerah- daerah hijrah, seperti hijrah ke Habasyah (Ethiopia), lalu ke Taif, terakhir ke Madinah. Lika-liku hijrah yang ditempuh, membuat Nabi dan para sahabat semakin kokoh, kuat dan tegar jiwa mereka.

Nabi di Madinah, meski sebagai pendatang, beliau tetap mencari negeri Madinah. “Berilah kecintaan-ku kepada Madinah dan penduduk-nya, sebagaimana aku mencintai Mekah, tempat kelahiran-ku,” sabda baginda. Mekah negeri yang diberkahi, sehingga disebut dalam surah Attin ayat 3. “Dan demi negeri ini yang aman (Mekah).”

Madinah-pun dimuliakan oleh Nabi, sebaik-baik tanah di muka bumi adalah Madinah, sebab menyimpan tubuh beliau yang mulia. Terkhusus bagi generasi milenial Indonesia, jangan pernah lelah mencintai Indonesia, jangan pernah berhenti merawat-nya. Bangun pemuda-pemudi, Indonesia, dengan iman, ilmu dan amal.

Bagaimana cara merawat Indonesia kita? Perkuat persatuan dan kesatuan bangsa. Berprinsip bahwa semua kita adalah bersaudara. Jagalah persaudaraan tersebut. Tidak sekadar mampu mengucapkan akhi, tetapi realisasi ukhuwah (persaudaraan) abai. Tidak sebatas sanggup mengatakan ukhti, namun dalam kenyataan bercerai-berai. Jelas, hijrah (pindah) bukan semata hijrah jasadi. Namun yang paling penting adalah hijrah ruhiyah (rohani). Hijrah rohani seperti yang dipernyatakan oleh-Nya, suruhan-Nya. Dia sangat menyukai orang-orang yang berhijrah, bukankah kamu dahulu, berada ditepi jurang neraka, lalu Dia menyelamatkan kamu. Membawa kamu pindah dari syirik kepada tauhid, dari permusuhan kepada persaudaraan, dari ingkar kepada syukur, dari mungkar kepada ma’ruf. Terakhir, dari neraka kepada surga.

Tidak dapat disangkal, bahwa semua kita memiliki saudara se-iman. Ikatannya adalah ukhuwah islamiyah, serahim dalam iman. Kenyataan memang kita sama dalam hal kitab suci, dan ritus-ritus yang sudah diajarkan oleh utusan Tuhan untuk mengenal-Nya. Walau demikian, sisi perbedaan sesama umat beragama, pasti kita temukan. Faktor yang membuat kita bersatu justru kita berbeda. Faktanya, keistimewaan orang lain adalah kelebihan bagi kita, kelebihan kita adalah keistimewaan bagi orang lain. Dalam rangka menajamkan ukhuwah (persaudaraan), asahlah mata pisau persamaan. Jangan mengasah mata pisau perbedaan. Perbedaan pasti ada,namun jangan diasah. Kalau-pun menang berdebat, niscaya yang menang jadi arang, yang kalah jadi abu.

Ternyata, sebagai anak bangsa, kita mendiami wilayah NKRI. Para pendahulu yang bijak, menawarkan konsep ukhuwah wathaniyah (persaudaraan setanah-air). Wujudnya, berdiri Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang berdaulat, dari Sabang (barat) ke Merauke (timur). Sepanjang itu, dengan tiga pembagian waktu wilayah. WIT (waktu Indonesia bagian timur). WITA (waktu Indonesia bagian tengah). WIBA (waktu Indonesia bagian barat).

Tidak sekedar perbedaan waktu wilayah. Perbedaan tradisi dan adat-istiadat setempat, tujuh belas ribu pulau, sehingga disebut negara kepulauan. Agama, agama yang resmi diakui negara dan tercatat pada lembar negara terdapat enam agama. Namun terdapat 136 aliran agama, aliran kepercayaan dan kebatinan, beserta sekte dan sub-sekte keagamaan dan kepercayaan. Suku, dan sub-sekte kesukuan dengan bahasa yang berbeda, dialek, aksen serta idiom mereka.

Perbedaan diatas wajib diikat dengan ukhuwah wathaniyah atau ukhuwah Indunisiyah (persaudaraan kebangsaan atau persaudaraan keindonesiaan). Pancasila merupakan konsensus (kesepakatan bersama) atau kalimah sawa’ (kalimat perjanjian persamaan), sebagai asas tunggal. Kalimah sawa’ pada segmen kebangsaan, komitmen keindonesiaan yang berintegritas, beretika, dan berbhinneka tunggal ika.

Pewarisan yang termulia dan penugasan yang terhormat untuk generasi milenial adalah terwujudnya cita-cita kemerdekaan atau tujuan luhur proklamasi. Melindungi seluruh tumpah.darah bangsa Indonesia. Memajukan kesejahteraan umum. Mencerdaskan kehidupan bangsa. Ikut-serta dalam upaya perdamaian dunia, berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Bukan dengan mewariskan hutan-hutan yang gundul. Padahal hutan adalah jantung dunia. Bukan mewariskan mental koruptor dan bukan mental diktator. Bukan laut dan sungai yang tercemar limbah.

Ukhuwah yang terakhir adalah ukhuwah basariyah atau ukhuwah insaniyah. Persaudaraan kemanusiaan sejagat (universal bukan parsial). Keniscayaan, bahwa kita mendiami bumi yang sama. Bahkan, pikiran dan perasaan yang sama. Sebab, kita berasal dari Tuhan yang esa. Kehidupan dunia sudah banyak menghijab (mendinding) persaudaraan se-bumi ini. Alquran selalu mengingatkan, wahai manusia, ingatlah, bahwa kamu diciptakan dari jiwa yang satu (min nafsin wahidah). Dan Dia menjadikan kamu berpasangan, dari jenis laki-laki dan perempuan yang banyak. Bertakwalah kepada Allah, yang dengan nama-Nya, kamu saling meminta. Bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah maha mengawasi-mu (baca Annisa’:1). Wallahua’lam.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *