MEMAKNAI MUSIBAH

Oleh: Ma’ruf Zahran Sabran

SESAR Lembang bisa terjadi, bisa tidak. Semuanya berada dalam kuasa dan kehendak-Nya. Bukan Dia yang tergantung pada alam semesta, namun alam semesta yang bergantung kepada-Nya. “Katakan (Muhammad), Dia Allah esa, Allah tempat bergantung, tidak beranak dan tidak diperanakkan, dan tidak ada satupun yang semisal dengan-Nya.” (Al-Ikhlas:1-4). Tidak rugi dan tidak untung bagi-Nya, kehadiran bumi dan langit, tidak terpuji dan tidak tercela Dia, walau berapa banyak yang memuji-Nya, meski berapa banyak yang mencela-Nya. NamaNya yang dihinakan makhluk, Dia tidak terhina. Nama-Nya yang dicaci, Dia tidak tercaci. Orang yang menghina-Nya, menjadi musuh seluruh lapisan alam. Sebab alam adalah ciptaan-Nya.

Namun Dia tidak bergantung kepada alam. Bila semua makhluk bersujud kepada-Nya, tidak menambah sedikitpun kemuliaan-Nya. Bila semua makhluk membenci-Nya, tidak mengurangi seujung kuku-pun kebesaran-Nya. Salat, zakat, puasa, haji dan umrah kepentingan dan keuntungan adalah untuk manusia, bukan untuk Allah SWT. Berhubung syariat yang disyariatkan, hakikat yang dihakikatkan, dua wilayah teori dan praktik yang berbeda. Maksudnya dalam penerapan ibadah dapat dibedakan area kajian, namun tidak bisa dipisahkan antara lahir perbuatan dan batin perbuatan.

Seperti musibah yang mendera, ada tujuan. Diantara tujuan itu adalah mengimani Allah SWT dengan nama-Nya, Adh-dhar. Adh-dhar artinya pemberi bencana, kecuali Dia menghendaki yang lain. Boleh jadi dalam Adh-dhar mengandung Albar. Hikmah mengatakan Albar (maha baik), sungguh Dia simpan dalam balutan nikmat dan bala’, kecuali Dia menghendaki yang lain. Makna batinnya adalah musibah menjadi media taat atau maksiat. Musibah mendekatkan atau menjauhkan diri seseorang kepada-Nya, bersyukur atau kufur? Tauhid (mengesakan Allah) atau syirik (mempersekutukan Allah)?

Banyak manusia yang lari dari Tuhannya saat mendapat musibah bencana alam. Setengah dari mereka menjauh dari-Nya (tidak beriman), setengah dari mereka semakin mendekat kepada-Nya (bertambah iman di hati mereka). Hari musibah adalah hari pemisahan iman dan tidak beriman. Hari pembeda antara yang benar dan salah. Sebagian pelarian mereka kepada para dukun (kahin), sedang ancaman Rasul terhadap para pengguna jasa dukun adalah: “Siapa yang datang kepada dukun (tukang ramal), lantas menanyakan sesuatu kepada dukun, tertutup untuk-nya pintu taubat selama empat puluh malam. Jika dia memercayai ucapan dukun tersebut, sungguh dia telah kafir.” (Riwayat Muslim).

Iblis menjanjikan kekayaan, namun kekayaan yang tidak kekal (imitasi). Iblis membujuk dengan tawaran jabatan, jabatan tipuan (imitasi). Transaksi (jual-beli) jin, semakin marak dilakukan saat akhir zaman seperti ini. Memang, sebagian jin ada yang beriman kepada kerasulan Muhammad, dan sebagian jin ada yang tidak beriman kepada kerasulan Muhammad. Pada literasi musibah disini, setiap orang selayaknya sanggup memaknai-nya.

Jenis musibah memiliki tiga makna pesan, yaitu ujian, peringatan, siksa (adzab). Sasaran musibah sebagai ujian menimpa orang-orang yang beriman, beramal saleh lagi merendahkan diri kehadapan Tuhan-nya (wa akhbatu ila rabbihim). Sasaran musibah sebagai peringatan mendera orang-orang yang beriman, namun masih banyak berbuat dosa. Sasaran musibah sebagai siksa (adzab) mencambuk orang-orang yang durhaka, tidak beriman lagi sombong.

Pertama, musibah sebagai ujian.

Bersabar adalah sikap bagi musibah yang bersifat ujian, dan cara orang-orang beriman mendekati Tuhan, Allah SWT. Berikan kabar gembira kepada orang-orang yang sabar. Ciri mereka adalah meyakini bahwa semua datang dari Allah, dan semua akan kembali kepada-Nya.

Karena mereka beriman kepada Tuhan yang tidak nampak (ghaib). Mutlak kegaiban-Nya, berdasarkan firman: “Sesungguhnya engkau (Muhammad) hanya pemberi peringatan kepada orang yang mau mengikuti Alquran dan takut kepada yang maha pengasih, meski tidak melihat-Nya (ghaib). Maka berikan kabar gembira dengan ampunan dan pahala yang mulia.” (Yasin:11). Bila beriman kepada Tuhan yang maha ghaib dalam ujian taat, ujian maksiat, ujian nikmat, ujian bala’ (bencana), niscaya Tuhan anugerahkan tiga lencana kemenangan, salawat, rahmat, hidayat (hidayah). Salawat Tuhan artinya hamba yang sabar menerima derita adalah Tuhan akan menyebut nama hamba-Nya di hadapan majelis malaikat, majelis para nabi, dan majelis para wali.

Salawat juga berarti rahmat dan hidayat. Rahmat artinya kasih sayang, hidayat artinya petunjuk. Hidayat tidak cukup, seorang hamba beriman sangat butuh kepada taufik. Taufik adalah sikap berketetapan dalam taat, istikamah dan istimrariyah (taat berkelanjutan selamanya).

Jadi, ujian bagi kaum beriman untuk meningkatkan kelas mereka di hadapan Tuhan. Jangan mengaku beriman kalau belum diuji. Surah Al-Ankabut ayat 2 dan 3 mengabarkan, “Apakah manusia mengira bahwa mereka akan dibiarkan dengan mengatakan; kami telah beriman, padahal mereka belum diuji. Dan sungguh, Kami telah menguji orang-orang sebelum mereka, maka Allah pasti mengetahui orangorang yang benar (dalam iman), dan Allah pasti mengetahui orang-orang yang dusta (dalam iman).” Pahala kesabaran telah Dia janjikan kepada jiwa yang tenang, artinya jiwa yang sabar. “Wahai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhan-mu dengan ridha dan diridhai. Maka masuklah ke dalam golongan hamba-hambaKu. Masuklah ke dalam surga-Ku.” (Alfajar:27-30).

Dua, musibah sebagai peringatan.

Pilihan sikap taubat merupakan jalan sasaran musibah yang berjenis peringatan bagi pendosa. Kemudian, Allah SWT menyerukan, bahwa ayat-Nya adalah adz-dzikru (warning). Bandung, Sukabumi, Subang, Lumajang, Garut diguncang gempa, bisa dimaknai ujian dan peringatan. Peringatan dini untuk sedini, sebanyak mungkin memohon ampun kepada-Nya. Sungguh, kewafatan orangorang beriman dinilai syahid (jamak syuhada).

Tiga, musibah sebagai siksa (adzab).

Pilihan hidup beriman adalah jalan bagi musibah yang berupa hukuman. Qarun dan pengikutnya dihukum di dunia dengan penenggelaman bumi (likuivaksi), di akhirat menunggu siksa yang lebih keras dan kekal. Fir’aun dan tentaranya ditenggelamkan air laut (tsunami). Kaum durhaka dari umat Nabi Nuh adalah dibenamkan banjir besar. Umat Nabi Hud dengan gempa bumi. Umat Luth yang durhaka, Kami utus siksa dengan meteor yang membakar, dan Kami hujani mereka dengan hujan meteor (wa-amtharna ‘alaihim mathara).

Ketiga jenis musibah (ujian) hendaklah setiap diri untuk senantiasa mawas diri. Mawas diri dalam arti berada dalam lingkup hati sabar, hati taubat, hati beriman. Lalu berlanjut pada bicara iman, bicara taubat, bicara beriman. Kemudian bersikap sabar, bersikap taubat, bersikap beriman. Akhirnya kepada Allah SWT jua tempat kembali. “Mengapa kamu ingkar kepada Allah, padahal kamu dahulu mati, maka kamu dihidupkan oleh-Nya. Kemudian kamu dimatikan oleh-Nya, kemudian kamu dihidupkan oleh-Nya. Kemudian kepada-Nya kamu dikembalikan.”
(Albaqarah:28).

Wallahua’lam.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *