Oleh: Ma’ruf Zahran
TAUHID bermakna esa, esa bermuatan iman. Secara sederhana, iman diartikan percaya. Padahal, pengertian iman sangat luas yang mencakup niat (qalbiyah), perbuatan (fi’liyah), perkataan (qauliyah), dan cita-cita (hammiyah). Seluruh iman adalah tauhid (esa) yang berdampak pada tauhidiyah (keesaan). Bahwa iman mempersyaratkan muatan tauhid dalam pandangan, pemikiran dan perasaan. Tidak terlepas dari sumber dari segala sumber. Bila kala seseorang sudah terlepas dari tauhid, kitab suci memberi ibarat seperti seseorang yang naik ke langit pada ruang hampa tanpa bantuan oksigen, sesak dadanya, demikian visual manusia syirik atau mempersekutukan Allah walau dalam persekutuan ibadah yang berjubah dan berkhutbah. Sebab, manusia syirik (musyrik) diumpama pula pada surah Al- Haj ayat 31: “Bertuluslah untuk Allah, jangan menjadi orang-orang musyrik yang membuat persekutuan dengan-Nya. Dan siapa yang mempersekutukan dengan Allah, maka seakan-akan dia (ruh) terlempar dari langit, kemudian disambar oleh burung, atau diterbangkan angin pada tempat yang asing (neraka).” Demikian pula, perbuatan syirik dapat membuat hati sakit, pertemanan yang sarat dengan intrik, dan kepentingan sesaat duniawi yang saling tarik-menarik. Ilustrasi masyarakat yang sulit untuk berdamai, sebab ketiadaan tauhid.
Motivasi dan sugesti tauhid hanya untuk Tuhan yang esa, esa orientasi. Meskipun dalam aplikasi praktik beragam coraknya. Tidak mampu menggoyahkan pandangan (kesaksian) keesaan. Misal satu keping uang emas pada dua lempeng gambaran. Namun dituang dalam satu cetakan. Kerja kemudian diberi cap yang berbeda, bersebelahan dalam satu kesatuan. Science Islam menyebut dengan rumus: “Pandanglah yang banyak untuk yang esa. Pandanglah yang esa untuk yang banyak.”
Diluar pandangan ini adalah syirik, artinya wujud keakuan dan kedirian merasa kuat karena berharta, kuat karena berilmu, kuat karena berkuasa lalu semena-mena. Mereka sangat berpotensi untuk melabrak aturan menjadi kejahatan terstruktur, bila meledak menjadi icon dan top brand dikalangan agamawan, ilmuwan dan pemerintahan. Akibatnya, efek negatif berhulu-ledak dalam skala yang lebih besar pada rakyat keseluruhan.
Induk kebaikan adalah tauhid, sedang induk keburukan adalah syirik. Malah ibadah-pun dicegah bila tidak berasas tauhid. Dalam firman Tuhan: “Dan Aku tidak memerintahkan kepada kamu, kecuali beribadah kepada Allah dengan ikhlas dalam beragama. Hendaklah, murni dalam mendirikan salat. (murni) dalam membayar zakat. Dan demikian itulah agama yang tegak lurus.” (Al-Bayyinah:5).
Maksudnya, beribadah tulus dari-Nya, kepada-Nya, untuk-Nya, Ahad. Dia tidak butuh kepada semua malaikat, nabi, wali dan guru pembimbing rohani. Sebab Dia maha kuasa, maha hidup, maha berdiri sendiri (qiyamuhu binafsih). Dia hidup tidak dihidupkan. Dia berdiri bukan didirikan, tanpa bantuan siapa-pun, tanpa materi, tanpa energi, tanpa bantuan waktu dan ruang (ihtiyaju ilal mahalli awil muhassisi). Tidak ada yang berhak untuk disembah kecuali Allah. Tidak ada yang berhak untuk diminta bantuan kecuali Allah. Tidak ada yang berhak untuk dicintai kecuali Allah. Dia esa, Dia berhak memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki, dan Dia berhak menyesatkan kepada siapa yang Dia kehendaki. Surah Al-Kahfi ayat 17 memberi isyarat: ” … Dan siapa yang dikehendaki sesat, maka selamanya tidak didapati untuk-nya seorang penolong yang bisa membimbing (walan tajida lahu waliyyam-mursyida).”
Makna tauhid terhimpun pada kalimah tahlil. Sangat akrab di hati umat bahwa ikrar kalimahnya yaitu “Asyhadu alla-ilaha illallah, wa asyhadu anna Muhammadarrasulullah.” Aku bersaksi bahwa tiada tuhan kecuali Allah. Dan Aku bersaksi sesungguhnya Muhammad adalah utusan Allah. Syahadat pertama disebut syahadat tauhid, syahadat kedua disebut syahadat rasul.
Pertama, syahadat tauhid.
Syahadat tauhid terbagi atas dua bagian yang berbeda, nafi (meniadakan) dan isbat (meneguhkan). Keduanya dibaca dalam satu rangkai, tidak boleh dipisah, atau tidak boleh dibaca lailah, atau lailaha yang artinya tidak ada Tuhan. Tidak ada Tuhan sama dengan atheis, tidak bertuhan meskipun masih beragama formal. Kesalahan umum penyebutan yang kerap terjadi, namun dianggap sepele. Ditinjau dari aspek manapun ucapan la-ilah (tiada Tuhan) dan terhenti berakibat fatal dalam tauhid. Sama artinya nafi atau meniadakan Tuhan. Kecuali diikuti illallah. Isbat Allah sebagai satu-satunya Tuhan. Tiada tuhan kecuali Allah sempurna sudah penyerahan diri secara total. Penyaksian (syahadah) adalah pintu gerbang memasuki rumah Islam. Sangat bermakna sebab kalimah tahlil yang berisi tauhid adalah seorang hamba menyaksikan tidak ada Tuhan yang berhak dipandang, dikenal kecuali Allah. Selain Allah adalah makhluk. Tidak ada kekuatan kecuali dengan Allah (la quwwata illa billah). Makna tauhid tersebut merupakan buah dari pandangan rabbani (ketuhanan) yang berdampak ketaatan yang terus-menerus (mudawwamah). Pandangan rabbani tidak lain kecuali merasa selalu dipandang-Nya (muraqabah), atau perasaan yang senantiasa memandang-Nya. Sekali menyaksikan selamanya menyaksikan (musyahadah). Artinya sadar berketerusan setelah lupa, merupakan daya pemantik bagi husnul-khatimah. Taubat berketetapan nasuha setelah durhaka merupakan jalan pengantar bagi kondisi husnul-khatimah. Bukan sebaliknya!
Maksud bukan sebaliknya adalah “baddalu ni’matallahi kufra” (mereka mengganti nikmat Allah dengan keingkaran).Bermaksiat setelah taat, riya’ setelah ikhlas, kafir setelah beriman, kondisi yang sangat berbahaya di ujung napas kehidupan dan dikhawatirkan su-ul khatimah (buruk di penghujung kematiannya). Sungguh hari ini banyak orang yang bisa mengawali karier dan profesi dengan baik.
Namun terkadang gagal mengakhirinya dengan baik sebagaimana awalnya. Diperlukan cermat sebelum bertindak, menimbang akibat sebelum memulai sebab. Dipahamkan sebelum dikerjakan. Jangan sampai ibarat pepatah: nasi sudah menjadi bubur dan bubur tidak bisa menjadi nasi. Kondisi akhirat tempat-nya. Selama hidup di dunia, masih terbuka pintu taubat, tetapi jangan lalai.
Makna pemahaman tauhid yang diperluas juga jangan menjadikan amal sebagai tandingan bagi Allah. Ketika berharap dengan pahala, pahala adalah makhluk. Bagaimanakah pahala si-pamrih dapat berbuat dihadapan Tuhan. Sedari awal sudah diingatkan: ” … Siapakah yang dapat memberi pertolongan tanpa izin dari-Nya… ” (Al-Baqarah:255). Oleh karena agama sudah jelas membuat garis demarkasi bahwa Tuhan berbeda dengan apa dan siapa yang dibayangkan, bahkan Dia tidak terbetik dalam karantina pemikiran dan perasaan manusia. Surah Asy- Syura ayat 11 menandaskan Tuhan bukan wujud materi, bukan energi, bukan informasi, meniadakan (nafi) adalah simpul surah Al-Ikhlas ayat 1-4. “Katakan, Dia Allah esa. Allah tempat bergantung semua makhluk (tempat meminta). Tidak beranak dan tidak diperanakkan. Tidak ada satu-pun yang sama dengan-Nya.”
Syahadat tauhid bukan menyerupakan Tuhan dengan nama, sebab Dia bukan nama. Dia tidak terlahir dari derivat nama apapun. Dia tidak bisa dibagi-bagi, sebab bukan komponen dan bukan elemen. Terjebak dengan aksara, angka dan nama artinya masuk ke dalam kelompok mujassimah. Padahal Dia berbeda dengan segala sesuatu yang bersifat baharu (muhaddats). Dengan firman: “Dia berbeda dengan segala sesuatu yang diserupakan.” (Asy-Syura:11).
Kedua, syahadat rasul.
Rasulullah Muhammad adalah insan kamil mukammil, dengan menyebut Rasulullah SAW sebagai wakil Tuhan (the apostle) peran (function) sebagai pengajar (mudarris) bagi nama Tuhan dan tauladan dari nama Tuhan (the role model, uswah hasanah). Sebagai yang dikalamkan Tuhan: “Sungguh pada diri Rasulullah terdapat suri tauladan yang baik, bagi mereka yang mengharap (rahmat) Allah, dan (beriman) kepada hari akhir, serta banyak mengingat Allah.” (Al- Ahzab:21). Maksudnya, pada diri Rasulullah SAW terdapat rahasia Allah (sirrullah). Rahasia itulah rasa, dan rasa adalah rahasia. Sehingga Allah SWT sebut dalam surah Al-Hujurat ayat 7: “Dan ketahuilah olehmu, sesungguhnya pada dirimu terdapat (nur) Rasulullah.”
Meski agung kedudukan Muhammad SAW disisi Tuhan, namun Muhammad sebagai pengajar dengan materi berupa ayat-ayat Tuhan. Muhammad berawal merangsang keinginan-tahuan seseorang dengan ilmu yang berakhir kepada iman, Tuhan kalamkan: “Maka tidakkah mereka memerhatikan unta, bagaimana diciptakan? Dan langit, bagaimana ditinggikan? Dan gunung-gunung, bagaimana ditegakkan? Dan bumi, bagaimana dihamparkan? Maka berilah peringatan, karena sesungguhnya engkau (Muhammad) hanyalah pemberi peringatan. Engkau (Muhammad) bukanlah orang yang berkuasa atas mereka.” (Al-Ghasiyah:17-22). Dalam sebaran ayat juga disebut: “wama anta ‘alaihim bijabbar” (dan engkau bukan pemaksa atas mereka), “wama anta ‘alaihim biwakil” (dan engkau bukan mewakili mereka), “wama anta ‘alaihim bihafidz” (dan engkau bukan penjaga bagi mereka). Tiga pernyataan teologis tersebut teruntuk orang yang ingkar sunnah, ingkar rasul, ingkar nabi. Sedang bagi orang-orang mukmin, Muhammad Rasulullah SAW disuruh berlaku lemah-lembut, sayang dan penyayang, bahkan Muhammad wajib rendah-hati dihadapan orang-orang yang mengikutinya (umat). Dalam firman Tuhan: ” … Dan janganlah engkau (Muhammad) bersedih, dan berendah hatilah engkau terhadap orang-orang yang beriman.” (Al-Hijir:88). Menyata dalam dua sifat beliau sehari-hari, yaitu rauf(penyantun) dan rahim (penyayang). Kalam Tuhan menyatakan: “Sungguh telah datang kepadamu rasul dari kaum-mu sendiri, sangat berat beban ditanggung oleh-nya (Muhammad). Dia (Muhammad) menginginkan semua kamu (untuk beriman dan berislam). Dia (Muhammad) sangat penyantun dan penyayang kepada kaum beriman.” (At- Taubah:128). Wallahu a’lam.