MENANTI PERTOLONGAN KETIKA DI PADANG MAHSYAR

Oleh:  Ma’ruf Zahran Sabran

Padang mahsyar, nama suatu tempat penantian setelah semua makhluk dibangkitkan dari kubur mereka masing-masing. Satu kali teriakan terompet (sangkakala), segera mereka bangkit dari kubur-nya. Menuju Tuhan, mereka bergegas. Banyak yang menyesal pada hari itu, kenapa aku dahulu di dunia, tidak beriman dan tidak beramal saleh?

Beragama bukan sekadar seremonial-ritualistik saja, tanpa nilai. Nilai bisa disebut hakekat beragama. Meskipun seremonial penting, atau syariat penting. Sama pentingnya dengan hakekat. Perdebatan syariat dan hakekat sejak dahulu kala sudah dihelat. Kini, masih diperdebatkan di kalangan pengamal syariat dan pengamal hakekat. Kitab suci berbicara keduanya. Di dalam syariat ada hakekat, di dalam hakekat ada syariat.

Perdebatan syekh Siti Jenar dengan para wali songo, bukti nyata keberpihakan yang menyebabkan terbelah-nya dua jalan tersebut. Bila terjadi perdebatan sampai kepada eksekusi, pasti kaum hakekat dikalahkan. Dikalahkan dalam rangka menjaga rambu-rambu syariat. Kemudian, jalan lurus itu menjadi kabur. Dikaburkan oleh asesoris blok kanan, dan asesoris blok kiri.

Jalan lurus berserah-diri (submit) yang ingin dibengkokkan dan ingin dibelokkan oleh iblis beserta persekutuan-nya. Mereka mengatakan sesuatu yang tidak layak bagi Allah, sedang kamu tidak mengetahui (an taqulu ‘alallahi mala ta’lamun). Menghalangi manusia dari jalan Allah (wayasudduna ‘an sabilillah), dan mereka mencari-cari kesalahan agama, supaya agama menjadi bengkok (wa yabghunaha ‘iwaja). Larangan keras mempersekutukan Allah terdapat dalam surah Alkahfi. Surah Alkahfi yang saban malam dan siang jumat disunnahkan untuk dibaca. Sepuluh ayat yang pertama dan sepuluh ayat yang terakhir dari surah Alkahfi (18).

Sulit untuk membedakan yang benar dan yang salah. Sebab kelompok benar dan salah bermain pada simbol. Saat umat terhipno oleh simbol. Terjebak umat pada bungkus (kulit luar), kamuflase. Perdebatan gelar, sanad, nasab adalah perdebatan simbol. Sedari awal, pepatah pribumi Nusantara menyatakan bahwa simbol tanpa isi adalah jasad tanpa roh. Atau setidaknya menjadi manusia pandir. Pribahasa bertulis, “tong kosong nyaring bunyinya.” Gendangkan tong, bila dia kosong, pasti nyaring bunyinya, nyaring kedengarannya. Bila tong penuh berisi, padat berisi, niscaya pelan kedengarannya. “Air beriak tanda tak dalam.” Antonim pribahasa ini adalah, “air tenang menghanyutkan,” atau hati-hati, ada buayanya.

Sudah tiba masanya, saat umat fokus kepada takwa yang sebenarnya (murni). Ranah takwa di sini, di hati (at-taqwa hahuna). Bukan lagi tampilan luar yang selama ini (asesoris takwa) sangat kita jaga, simbol. Terhanyut pada lingkungan, lupa memerhatikan kualitas taat,karena terdepak oleh kuantitas materi taat. Sehingga seruan Tuhan menjadi pelan, malah tidak terdengar sama sekali (mati hati). Padahal, Dia maha dekat. Jangan ditanya, karena yang bertanya adalah Dia. Jangan dijawab, karena yang menjawab adalah Dia. “Dan jika hamba-Ku bertanya kepadamu (Muhammad) tentang Aku, maka sesungguhnya Aku dekat. Aku mengabulkan doa, ketika mereka berdoa. Hendaklah mereka memenuhi seruan-Ku, dan beriman kepada-Ku. Mudahan mereka mendapat bimbingan.” (Albaqarah:186).

Juga, dalam surah Yasin yang berulang kali dibaca setiap momen selamatan pindah rumah, selamatan kelahiran bayi, syukuran wisuda, menurunkan penganten, sampai acara haul. Namun, ayat-ayat suci yang dibaca sangat jarang dikaji, dikupas, diulas arti, makna dan maksudnya. Sudahkah kitab suci sanggup memberi petunjuk (hidayah), bimbingan (irsyadah) kepada para pembacanya?

Problem beragama dan berbangsa adalah banyak diantara umat muslim yang tidak mengerti bahasa Alquran. Bahasa Alquran menggunakan bahasa Arab sebagai bahasa kaum-nya (saat dia diturunkan). Data ini mengisyaratkan sejak dini, anak Indonesia wajib dikenalkan dengan bahasa Alquran, tidak cukup hanya sekadar mengaji (mendaras). Sebenarnya, kata mendaras adalah belajar berulang-ulang. Mencakup belajar tajwid dan lughah (bahasa). Pintu masuk untuk memahami Alquran adalah melalui bahasa Alquran. Bahasa, sangat berguna untuk cerdas dalam mendengar, memahami, mengamalkan, dan menyiarkan-nya sesuai bimbingan kalamullah. Untuk taat-pun dengan bahasa sebagai media (tools) penyampaian isi pesan dan pemahaman maksud dari sang Pembicara.

Sungguh, yang sanggup menangkap dan memenuhi panggilan Tuhan adalah ulul albab (cendekia). Ulul albab adalah mereka yang memenuhi perjanjian dengan Allah dan tidak melanggarnya (komitmen). Dan menyiarkan, memasyarakatkan, mempublikasikan perintah Allah, karena tuntutan ulul albab secara lisan dan tulisan. Publikasi mereka lakukan karena takut terhadap amanah cendekia dari Tuhan, dan takut kepada neraca yang buruk. Lalu, mereka adalah orang-orang yang sabar dalam mencari ridha Tuhan-nya, mereka mendirikan salat, dan menafkahkan sebagian rezeki secara sembunyi, maupun terang-terangan. Ulul albab (cendikia) berciri, mereka yang menolak kejahatan dengan cara kebaikan. Mereka mendapat tempat kesudahan yang baik (baca Arra’du:19-22). Jelas, tugas seorang cendekiawan yang cendekia adalah mengikuti tugas kenabian (misi profetik). Berdakwah melalui aktivitas zikir, pikir, amal saleh.

Kembali kepada kajian Mahsyar, ketika di sana tidak terdapat perlindungan, kecuali perlindungan Allah. Ketika tidak ada naungan kecuali naungan-Nya. Tiada lagi pertalian nasab, susuan dan pernikahan, kecuali nafsi-nafsi. Betapa bahagia manusia yang memperoleh-nya, tujuh golongan saja.

Narasi pertama, imam yang adil. Diikuti pemuda yang tekun beribadah. Seorang yang hatinya terpaut dengan masjid. Seorang yang bersedekah, dengan sedekahnya sehingga tangan kirinya tidak mengetahui apa yang diberikan oleh tangan kanannya. Dua orang yang saling mencintai karena Allah, mereka berjumpa dan berpisah karena-Nya. Seorang laki-laki yang diajak oleh seorang perempuan yang memiliki kekayaan dan kecantikan untuk berbuat dosa. (zina), laki-laki itu mengatakan, sungguh aku benar-benar takut kepada Allah Tuhan pemelihara alam semesta. Terakhir, seorang yang beribadah di dalam kesendirian, menitik air matanya. Ada dua mata yang tidak tersentuh oleh api neraka. Pertama, mata yang menangis karena takut kepada Allah (‘ainun bakat min khasyyiyatillah). Kedua, mata yang berjaga malam karena berjuang di jalan Allah (‘ainun batat fi sabilillah). Hadis tersebut sangat populer di kalangan umat, sehingga menjadi salah satu tonggak bagi bangunan keimanan kepada hari akhir. Bahwa setiap orang, pasti melewati masa kebangkitan, tidak terkecuali nabi dan wali. Tanpa keraguan sedikitpun. Oleh sebab itu, surah Yasin yang dibaca, terutama untuk peringatan bagi orang yang masih hidup, bukan untuk peringatan bagi orang yang sudah mati. Kalamullah berfirman: “Supaya dia (Muhammad) memberi peringatan kepada orang-orang yang masih hidup (hatinya). Dan pastilah ketetapan (siksa) untuk orang-orang yang ingkar.” (Yasin:70). Lalu, tanyakan kepada setiap diri. “Mengapa aku tidak menyembah Allah yang telah menciptakan-ku, dan yang kepada-Nya, mereka semua dikembalikan? Mengapa aku menjadikan-Nya sebagai Tuhan selain Allah? Jika yang maha pengasih menghendaki kemudaratan bagi-ku, pertolongan mereka tidak ada gunanya, dan mereka tidak sanggup menolong-ku. Sungguh, jika aku durhaka, tentu aku berada dalam kesesatan yang nyata. Sungguh, aku beriman kepada Tuhan-mu. Maka dengarkan kesaksian iman-ku.” (Yasin:22-25).

Benar, tidak ada seorangpun yang dapat selamat dari siksa-Nya (inna ‘adzaba rabbihim ghairu makmun), kecuali rahmat (kasih-sayang) dari-Nya. “Hanya satu kali teriakan, lalu mereka bangkit dari kubur dan kepada Tuhan mereka menghadap. Mereka berkata, aduh, celakalah kami. Siapakah yang membangkitkan kami dari kubur? Ini adalah yang dijanjikan oleh firman yangmaha pengasih, dan benarlah (sabda) para utusan.” (Yasin:51-52). Jadi, Rasul-Nya telah mewartakan dan jangan lagi didustakan. Tugas kita hari ini, adalah mempersiapkan bekal untuk hari esok (perintah tauhid dan larangan syirik). Wallahua’lam.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *