Oleh: Ma’ruf Zahran Sabran
Beragama dengan mendaki merupakan suruhan Tuhan. “Sungguh, kamu akan menjalani tingkat demi tingkat. Mengapa mereka tidak beriman.” (Al-Insyiqaq:19-20). Jangan berhenti di tempat yang sekarang, kecuali sudah sampai menemukan, tatap muka (TM). Keadaan orang- orang yang beriman adalah dinamis, bukan statis. Sebab itu, dalam Alquran banyak sekali ditemukan kata jalan (sabil, jamak subul). Statis dalam beragama sangat dikecam Tuhan. Kerap
kali ditemukan pada lembar ayat suci, apakah kamu tidak memikirkan? Berpikir merupakan proses mencari. Dalam hal ini mencari kebenaran yang yakin (haqqul-yaqin). Tidak goyah, tidak susah, tidak ragu, tidak bimbang.
Arti syariat diantaranya beragama dimaknai sebagai jalan menuju Tuhan, demikian pula thariqat, hakikat, makrifat. Mereka adalah jalan, jalan yang berbeda namun tujuan-nya esa, bila mau secara bertahap ditempuh. Tangga-tangga beragama namanya.
Tangga umat beragama kebanyakan mulai dari syariat (hukum lahiriah), lalu menuju hakikat (hukum batiniah). Mayoritas umat beragama terhenti pada jalan syariat, karena merasa nyaman. Padahal sangat terhukum (kaku) untuk menghukum diri. Terhenti di syariat tidak salah. Namun, belum sempurna. Resikonya, bersiap dengan banyak soal-jawab, perhitungan, kalah (dosa), menang (pahala), surga, neraka.
Kalau tangga diri beragama masih syariat, pasti suka menyalahkan orang lain, dan membenarkan diri sendiri. Pola kesombongan sudah menjadi indikator diri. Tidak ada satu-pun orang di dunia ini yang benar, kecuali diri-nya. Presiden salah, menteri salah, gubernur salah, bupati salah, camat salah, lurah salah, suami salah, istri salah, anak salah. Diri-nya paling benar. Manusia seperti ini, jangan-kan masuk surga, mencium bau surga saja tidak! Meski banyak salat dan puasanya.
Perlu dikenali, arti syariat diantaranya beragama dimaknai sebagai jalan menuju Tuhan, bukan tujuan. Demikian pula thariqat, hakikat, makrifat. Mereka adalah jalan, jalan yang berbeda namun tujuan-nya esa, bila mau secara bertahap ditempuh. Tangga-tangga beragama, baru sekadar nama.
Ketika semua tangga ini dilalui (tarqiyah), sampai manusia kepada Ahad. Empat tangga dibawahnya masih menghidupkan akal (‘aqil). Bila sudah sampai di Ahad, akal akan mati yang disebut gila (majnun). Muhammad disebut gila oleh Abu Jahal (anta majnun). Namun Muhammad yang telah sampai pada derajat Ahad, tidak sebut gila oleh Allah. Allah menyanggah dengan firman (At-Takwir:22-23). “Sahabat-mu itu bukan gila” (wama shahibukum bimajnun). “Tetapi dia telah melihat (Jibril) di ufuk yang terang” (walaqad ra-a hu bil ufukil mubin). Pernyataan guru bahwa Jibril dan ufuk yang terang ada di dalam diri, bukan unsur (elemen) yang di luar diri. Sejak roh Tuhan dihembuskan kepada semua Adam (wanafakhtu fihi min ruhiy) beserta paket ketuhanan. Paket itu adalah Rukun Iman yang enam, Rukun Islam yang lima, Rukun Ihsan yang satu. Semuanya berjumlah dua belas. Ditambah seluruh alam semesta (makrokosmos, alam kabir), kemudian paket tadi dimasukkan ke dalam alam diri (mikrokosmos, alam shaghir) pada roh Adam. Sehingga Hadis Qudsi berfirman: “Aku menciptakan Adam yang mirip dengan diri-Ku.” Maksudnya, Jibril, Mikail, Israfil, bukan unsur di luar diri Muhammad, melainkan di dalam diri Muhammad (in-sider bukan out-sider).
Hari ini banyak kajian yang mengulas ketuhanan dan kenabian di luar diri, sehingga kerap salah kaprah. Terkontaminasi (teracuni) oleh madzhab yang dianut, aliran (firqah) keagamaan yang majemuk. Labirin-labirin itu justru menutup pintu Ahadiyah. Professor Fazlurrahman (lahir Pakistan, 1919, wafat Amerika, 1988), seorang ulama Pakistan yang diusir dari tanah kelahirannya, lalu beliau menyeberang ke Amerika, dan menjadi guru besar Agama Islam di UCLA (University of California Los Angeles) menerangkan tentang Jibril. Jibril bukan unsur luar dari diri Muhammad, melainkan di dalam diri Muhammad yang bekerja. Jangan dipahami Jibril seperti “tukang pos yang mengantar surat.” Dalam bukunya, Islamic Methodology in History ” selain Jibril, demikian juga Mikail yang bekerja, jangan dipahami Mikail membagikan rezeki seperti seorang ibu memberi anaknya makan. Israfil, Izrail, Malik. Malik adalah elemen diri hukuman (neraka). Dan Ridwan adalah elemen diri hadiah (surga). Sebagai dampak (efek) diri dari perilaku baik adalah surga diri. Dampak (efek) diri dari perilaku jahat adalah neraka diri. Bukan-kah sang Pencipta hanya satu (esa).
Tuhan pernyatakan ungkapan ruhul-qudus ada di dalam diri, bukan di luar diri (baca An- Nahl:102). Jadi, ruh-qudus (Jibril) menjadi potensi setiap orang. Wallahua’lam.