Oleh: Ma’ruf Zahran Sabran
Materi agama yang manusia perbincang dan perdebatkan masih masuk dalam wilayah kultur (budaya) agama, bukan agama itu sendiri. Pranata agama yang telah dibacakan, dituliskan dan dikaji, niscaya menjadi bagian dari sub sistem sosial, sama dengan pranata ideologi, ekonomi, politik, pertahanan dan keamanan negara. Meski diskusi lewat media sosial (medsos) antara pro dan kontra. Misal tentang peringatan maulid, isra’ miraj, tahun baru hijriyah, semua berkedudukan pada ranah budaya (custom). Maksudnya, hasil lapisan kebiasaan yang mentradisi. Baik kelompok yang membenarkan peringatan maulid maupun yang melarang. Keduanya merupakan produk sejarah masa lampau. Artinya, keduanya adalah bid’ah, tinggal mencari landasan teologis sebagai pembenaran (claims of truth).
Betapa banyak esensi bertuhan yang maha esa, telah menjadi ritual formal agama yang dibungkus. Ibarat pribahasa, “lebih cantik bungkus daripada isi.” Pernyataan di atas menandakan bahwa konsentrasi beragama seseorang disorot dari aspek luar (eksotik). Seperti melebatkan dan memanjangkan jenggot, menyebarkan agama dengan memilih jalan hidup sebagai musafir fi sabilillah. Bagi sebagian orang, hal ini memayahkan diri. Apalagi bila DNA-nya bukan Asia Tengah Barat Daya, misal DNA Asia Timur atau Asia Tenggara, dalam masalah jenggot dan janggut.
Atau perbuatan sebaliknya. Dalam pribahasa, “lebih indah isi daripada bungkus.” Pernyataan yang menandai seseorang fokus pada aspek hakikat (dalam) diri. Aspek dalam diri (esoterik) seperti memantapkan ikhlas, tawakal, syukur, sabar, ridha, khauf, raja’, mahabbah. Beserta makam-makam (kedudukan) batin lainnya. Ketahuilah, isi dan bungkus (hakikat dan syariat), bungkus dan isi (syariat dan hakikat) adalah tipuan. Maksudnya, bungkus merupakan tipuan syariat, isi merupakan tipuan hakikat. Untuk melintasi keduanya diperlukan kajian dengan berguru mursyid billah. Rajin dan tekun mengasah akal dan rasa bersama guru mursyid billah. Hidayah akan turun menyirami hati yang sudah bening, bersih, bercahaya dan mencahayai sekitar.
Inilah kebenaran sejati, inilah jalan kebaikan tulus, inilah manhaji Nabi yang baginda tuturkan kepada Ali bin Abi Thalib. Jika belum sampai paham terhadap nasehat, carilah guru yang beliau tidak lagi menuhankan syariat dan tidak pula menuhankan hakikat. Namun telah berada pada tataran diatasnya. “Dan orang-orang yang berjuang di jalan Kami, niscaya Kami beri hidayah (petunjuk) pada jalan-jalan Kami. Dan sungguh Allah pasti bersama orang-orang yang berbuat baik.” (Al-Ankabut:69).
Perbuatan baik yang paling tinggi adalah mentauhidkan Allah (tauhidullah), kemudian bersama Allah (ma’iyyatullah), dan menyatu dengan Allah (ahadiyyatullah). Mukmin haqqa, bukan orang yang menyembah nama. Maksudnya, Tuhan adalah wujud realitas di atas nama. Mukmin haqqa bukan orang yang menyembah makna. Tujuannya, Tuhan ialah wujud absolut di atas makna. Mukmin haqqa bukan orang yang menyembah sifat. Sebab Tuhan bukan sifat. Orang yang tidak menyembah zat, mereka ialah mukmin haqqa. Sebab Tuhan bukan sifat, dan Allah bukan zat. Lihatlah kisah Nabi Yusuf dengan cinta Zulaiha. Penuh dengan simbol dan makna. Namun Nabi Yusuf sudah menolak keduanya, menolak simbol dan makna. Simbolnya adalah jika gamis Yusuf koyak didepan, makna yang benar adalah Zulaiha, dan Yusuf terdakwa salah. Bila gamis Yusuf koyak dibelakang, bermakna Yusuf benar, sedang Zulaiha adalah seorang pendusta. Ternyata, fakta persidangan membuktikan bahwa gamis Yusuf koyak dibelakang. Hakim memutuskan, Yusuf benar dan Zulaiha salah. Secara syariat, Yusuf menang, demikian juga secara hakikat. Lantas, sikap apa yang akan diambil Yusuf?
Surah Yusuf penuh dengan simbol yang bermakna. Mulai dari kisah Yusuf dibuang ke sumur. Istana Zulaiha, lalu ke penjara Mesir. Di penjara, Yusuf mendapat wahyu dan disampaikan olehnya kepada sahabat penghuni penjara: “Wahai saudaraku penghuni penjara. Apakah tuhan-tuhan yang beragam-macam itu lebih baik daripada Allah yang maha esa lagi gagah perkasa? Apa-apa yang kamu sembah selain Dia, kecuali hanya nama-nama yang kamu sebut saja. Kamu, dan leluhurmu tidak pernah diturunkan Allah tentang keterangan (tauhid). Tidak ada hukum kecuali bagi Allah. Hukum perintahnya adalah: Jangan kamu menyembah, kecuali kepada-Nya. Itulah agama yang lurus. Namun kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (Yusuf:38-40). Demikian hikmah sikap dia (Yusuf) ambil setelah putusan pengadilan membebaskan Yusuf dari seluruh tuduhan kriminal (zina dan pemerkosaan). Meskipun benar, Yusuf memilih penjara. “Yusuf berkata, duhai Tuhan-ku. Penjara lebih aku sukai daripada memenuhi ajakan (napsu) mereka. Jika Engkau tidak hindarkan aku dari tipu daya mereka, niscaya aku akan cenderung memenuhi ajakan syahwat mereka, dan tentu aku termasuk orang-orang yang bodoh. Maka Tuhan memperkenan doa Yusuf. Dia menghindarkan Yusuf dari tipu daya mereka. Dia maha mendengar lagi maha maha mengetahui.” (Yusuf:33-34).
Yusuf mendobrak kultur syariat dan mendobrak kultur hakikat. Buktinya, Yusuf memilih penjara. Namun dengan penjara, Yusuf melepaskan diri dari penjara syahwat, penjara syariat, penjara hakikat, penjara makrifat. Kisah Yusuf mungkin kisah tentang kita atau bukan. Tetapi Tuhan ingin menyampaikan pesan (transmission of God) bahwa Yusuf merupakan hamba-Nya yang memiliki seluruh ketampanan nomor satu (one) di dunia, mampu menampik syahwat seorang ratu cantik di istana negeri Mesir. Atas kemenangan iman Yusuf dalam kancah peperangan cinta terlarang Zulaiha, Tuhan memuji Yusuf. Namun pujian tersebut, Yusuf kembalikan kepada Allah. Tuhan yang telah memelihara kehormatan dan kesucian diri dan agamanya. Yusuf menyatakan: “Dan aku tidak menyatakan diriku bebas (dari kesalahan).” (Yusuf:53).
Artinya, Yusuf mengakui kesalahan di hadapan Tuhan. Secara hakikat dan syariat adalah Yusuf berdiri di atas kebenaran. Tetapi hak pemilik kebenaran bukan Yusuf. Lanjutannya: ” … Sungguh diri (napsu) mendorong kepada kejahatan, kecuali diri (napsu) yang diberi rahmat oleh Tuhan-ku. Sungguh Tuhan-ku, maha pengampun lagi maha penyayang.” (Yusuf:53). Wallahua’lam.