Oleh: Ma’ruf Zahran Sabran
Bagaimana agama dibangun saat sang pemilik agama tidak dikenal. Agama secara harfiah disebut din. Din artinya keadaan berhutang. Orang yang berhutang pasti terjerat dengan hutang-nya sendiri. Hutang wajib dibayar, janji wajib ditepati. Pepatah mengatakan: “ada ubi, ada talas. Ada budi, ada balas. Konsep dan pepatah di atas menandakan seseorang masih terpenjara. Penjara syariat dan penjara hakikat. Lalu, bagaimana cara membayar hutang supaya lunas, menepati janji agar lunas. Menjadi budi berbalas dan berbalas budi? Puluhan tahun hidup seseorang mencari jalan untuk sanggup melunasi hutang kepada Tuhan. Seumur hidup ingin menepati janji dan membalas budi baik. Ternyata, waktu yang panjang tidak mampu ditebus dengan salat yang berketerusan (salatu da’im). Seperti umur umat Nabi Nuh yang rata-rata mencapai 950-1.000 tahun. Umur umat Nabi Ibrahim dan Musa yang rata-rata menempuh 800-900 tahun. Namun kebanyakan mereka belum menemukan Tuhan yang sebenarnya. “Apakah belum datang saatnya kepada orang-orang yang beriman, hati mereka khusyuk dengan zikir kepada Allah dan apa-apa yang diturunkan Allah dengan kebenaran? Dan jangan kamu menjadi seperti orang-orang yang telah Kami berikan Alkitab sebelum mereka. Maka Kami panjangkan umur yang membuat hati mereka keras. Dan kebanyakan dari mereka adalah para pendosa.” (Alhadid:16).
Semua harus dijalani dengan kerelaan, bukan keterpaksaan. Supaya agama berfungsi maksimal, bukan separuh. Ibadah mahdah maupun ghairu mahdah wajib didirikan atas asas kecintaan, bukan kebencian. Agar manfaat agama terasa sebagai pembebas bukan penjajah. Seterusnya, agama semestinya melapangkan bukan menyempitkan. Saat beragama sempit, artinya pesan Tuhan dan pesan kenabian belum tersampaikan. Bila cara beragama belum membuat seseorang bebas dari neraka dunia dan neraka akhirat, artinya agama telah gagal dalam memerankan dirinya.
Intinya, semua ajaran tauhid yang diajarkan para utusan adalah Tuhan yang tidak nampak (ghaib). Tidak hanya secara jasmani, namun juga secara rohani. Kemudian bisakah Dia disembah. Jika jawabannya Dia bisa disembah, disinilah letak sebenar-benarnya syirik. Sebab telah menjadi terpisah akibat terdapat dua kuasa, dua Tuhan. Kuasa menyembah dan kuasa disembah. Perbedaan inilah yang membuat Dia, Aku, Engkau, Kami menjadi jamak (banyak). Tuhan hanya satu, kenapa kemudian ada banyak Tuhan. Padahal, sifat Dia yang jamak hanya menunjuk kepada yang satu (esa).
Setiap yang bernama dan bersifat, mutlak bukan Tuhan. Terus, menyembah siapa selama ini? Nama dan sifat adalah bayang-bayang. Syariat dan hakikat sama-sama mengklaim sebagai ajaran agama yang paling sahih. Jebakan ini sudah banyak membuat manusia lupa kepada Tuhan. Namun bertuhankan pahala dan bertuhankan dosa. Sejati, selain Dia adalah kaunuhu ajizan (zat yang lemah). Bisakah yang lemah menyembah yang lemah?
Tuhan yang kamu sembah selain Allah, tidak sanggup menciptakan seekor lalat, meski seluruh manusia berkumpul. Dan jika lalat mengambil sesuatu darimu, bisakah kamu mempertahankan? Sangat lemah yang menyembah dan yang disembah (baca Alhaj:73). Ikuti jalan-Ku (Tuhan), Aku mengajak kepada-Ku. Aku adalah esa, esa adalah Aku. Ingatlah kepada-Ku, Aku akan ingat kepada-Mu. Siapa Aku dan siapa Kamu. Kamu dan Aku bukan siapa-siapa, dan bukan apa-apa. Surah Al-A’raf ayat 37 menyerukan jangan lagi membuat berhala-berhala disamping Tuhan yang esa. Sebab Tuhan tidak bersama Allah, dan Allah tidak bersama-Nya. Berserah-diri, mengaca diri, tahu diri, pahami diri, jaga diri. Lillahita’ala.