MENINGKATKAN AMAL KEBAIKAN PASCA HAJI

Oleh: Ma’ruf Zahran Sabran

Jangan berpikiran keliru, sewaktu membaca judul seakan sepulang jamaah haji lalu banyak-banyak beramal (kuantitas). Bukan, melainkan perbaiki dan tingkatkan kualitas (mutu) ibadah. Surah Al-Haj dalam kitab suci, banyak sekali berkalam tentang kualitas iman, islam, ihsan, amal.

Isi surah Al-Haj banyak membicarakan tentang tauhid dan syirik, tepatnya peperangan tauhid melawan syirik. Semua isi kitab suci adalah perlawanan keduanya, tauhid versus syirik. Baik dalam bentuk kisah, narasi, berita, janji dan ancaman, maupun surga dan neraka. Pangkal dan muara beragama adalah tauhid, sedang pangkal dan muara tidak beragama adalah syirik.

Isi tauhid adalah amal batin yang paling baik. Sebab, hati yang tidak menduakan Allah, tidak ada sekutu bagi-Nya. Bahkan, sebutan esa-pun tidak ada (Dia berbeda dengan ciptaan-Nya). Karena, Tuhan yang esa, bukan sebutan. Bukan esa, bukan dua, bukan tiga. Tanpa sebutan (ghaibul-muthlaq), atau pasti tidak terbayang lagi. Sedang isi syirik adalah amal batin yang paling buruk. Hati yang bercokol banyak tuhan (jamak Tuhan).

Fungsi kitab suci sebagai furqan (pembeda), sangat terang-benderang dalam ayat tauhid dengan balasan surga. Kemudian disusul dengan ayat larangan syirik. Namun bila syirik, sudah jelas, neraka tempat-nya. Perbuatan syirik adalah sejahatjahat dosa kezaliman (baca Lukman:13). Syirik merupakan dosa besar yang tidak terampuni, bila syirik sampai terbawa ke akhirat. Tuhan tidak mau dipersekutukan dengan siapapun dan dengan apapun.

Ucapan talbiyah bukan sekedar simbol (lambang).Talbiyah mengandung makna keesaan. Labbaikallah, kami datang memenuhi panggilan-Mu, panggilan tidak ada sekutu bagi-Mu. Sesungguhnya semua pujian, kenikmatan, kerajaan adalah milik-Mu. Tidak ada sekutu bagi-Mu. Sepanjang jalan, talbiyah digemakan. Takbir, tahmid, tasbih, tahlil nyaring digaungkan, memenuhi angkasa raya JedahMekah-Madinah. Memecah kesunyian Arafah, Muzdalifah. Mengumandang di bumi perkemahan Mina, siang, malam, subuh dan senja. Sekarang, pasca haji, sudahkah talbiyah dan takbir bergema di hati para hajji dan hajjah di tanah air? Bahwa, tidak ada yang ditakuti, kecuali Allah. Tidak ada yang berilmu, kecuali Allah. Tidak ada yang hidup, kecuali Allah. Tidak ada yang berkuasa, kecuali Allah. Tidak ada yang berkehendak, kecuali Allah. Tidak ada yang melihat, kecuali Allah. Tidak ada yang mendengar, kecuali Allah. Tidak ada yang berkalam, kecuali Allah. Sudahkah mengesakan-Nya, Dia yang maha berbicara, dan Dia yang maha mendengar pembicaraan. Bila tidak, sifat kelemahan yang melekat pada diri yang menyembah. Dan, sifat kelemahan pada diri yang disembah. Lemah yang dipersekutukan, dan lemah yang mempersekutukan (baca Al-Haj:73). Lemah, keduanya adalah berhala yang tidak diingini Ibrahim, Ismail, Ishak, Ya’kub dan generasi sesudah mereka. Moyang mereka telah mentauhidkan-Nya, pewasiatan dan pewarisan ajaran tauhid dari generasi ke generasi sampai hari ini. Ajaran tauhid yang terdapat di dalam suhuf (lembaran wahyu) kenabian, Zabur, Taurat, Injil dan Al-Quran, wajib selalu disyiar-kajikan.

Setelah bacaan talbiyah yang dimaknai esa, niat haji, wukuf di Arafah, tawaf, sai, tahallul adalah pesona tauhid, berada di pusaran tauhid, juga bermuatan tauhid. Bawalah nilai ketauhidan itu saat sekarang sudah berada di desa, tempat tinggal. Jadilah para haji dan hajah sebagai teladan umat dan masyarakat. Apa yang diteladani adalah menebar keindahan rahmat, guna dirasakan manfaatnya, dengan kepulangan para jamaah haji. Dengan kata lain, menghadirkan surga (kedamaian, keamanan, kenyamanan) ditengah masyarakatnya. Karena, ganjaran haji yang mabrur dan hajah yang mabrurah adalah jannah (surga). Ditambah nikmat berjumpa dengan Tuhan-Nya, sebagai tambahan nikmat dari sisi Kami (waladaina mazid).

Selain bacaan talbiyah (labbaikallah), wukuf di Arafah mengandung makna penting. Secara harfiah memiliki dua kata, wukuf dan arafah. Wukuf artinya berhenti, arafah artinya mengenal. Maksudnya, berhentilah bila telah dapat mengenal-Nya. Jika sudah mengenal-Nya, jangan lagi mencari tuhan-tuhan selain Dia. Jangan lagi menyembah nama, sifat dan zat. Berhenti dan katakan: hasbiyallah (cukuplah Allah bagi-ku). Dengan demikian, kemandirian dan kemerdekaan jamaah haji akan diperoleh setelah kepulangan mereka, bukan pada saat keberangkatan dan bukan pada saat di sana (Mekah). Ziarah ke Madinah, momen cinta yang paling rindu dengan sang kekasih, Muhammad Rasulullah. Sungguh, siapa yang berziarah sama dengan bertamu ke rumah beliau, saat beliau masih hidup. Rasulullah menunggu, walau ke Madinah bukan rukun haji. Namun, bagi orang yang memiliki hati, ucapan terimakasih kepada beliau adalah pertanda umat yang memiliki hati kasih, sayang, dan cinta, getarannya sangat halus dan terasa.

Nama, sifat, zat adalah tangga untuk mengenal-Nya, sejati-Nya, bukan Dia. Bila ditulis nama adalah huruf, Tuhan firman-kan dalam surah Al-Haj:11. “Dan diantara manusia ada yang menyembah Allah hanya ditepian huruf. Maka, jika dia memperoleh kebaikan, dia merasa puas. Dan jika dia ditimpa cobaan, dia berbalik ke belakang (ingkar). Dia merugi di dunia dan di akhirat. Dia itulah orang-orang yang merugi dengan kerugian yang nyata.”

Capaian pembelajaran haji secara langsung (Mekah), adalah keberanian yang tidak takut kepada kezaliman, kejahatan dan angkara-murka. Para haji adalah mujahid (jamak mujahidin) pada jalan-Nya. Para haji adalah mujtahid (jamak mujtahidin) pada kancah ilmu pengetahuan. Para haji adalah salihin (orang-orang yang membangun). Para haji adalah muhsinin (orang-orang yang berbuat baik). Nilai kebaikan menjadi akumulasi pada diri haji yang mabrur dan hajah mabrurah. Keseluruhan, keserasian, kemurnian ibadah telah mereka temukan (komprehensif), amalan di bumi yang membumbung ke langit (holistik), serta menebarkan kebaikan (muslihun).

Jamaah haji, pada tahap demi tahap, mengerjakan amal di bumi (dari wukuf sampai tahallul), semakin melambungkan kebaikan mereka pada junjung-junjung langit kemuliaan, sampai kepada maqam (posisi) Ibrahim tertinggi. Sebagaimana jaran tauhid yang disampaikan Ya’kub, Yusuf, Ayub, Syuaib, Musa, Harun. “(Yusuf berkata), wahai kedua penghuni penjara, manakah yang lebih baik, tuhan-tuhan yang bermacam-macam itu, atau Allah yang maha esa, maha perkasa? Apa yang kamu sembah, hanya nama-nama yang kamu buat.” (Yusuf:39-40).

Jadi, sepulang haji, mereka adalah pionir ketauhidan, ujung tombak cahaya kebenaran, teladan kebaikan. Meringankan beban derita, maslahat untuk masyarakat, peduli lingkungan. Semua nilai tersebut, bertumpu pada tauhid yang disaksikan dan tauhid yang menyaksikan. Wallahua’lam.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *