Oleh: Ma’ruf Zahran Sabran
Umumnya, beragama hari ini berdasarkan indikator kuantitatif, terukur dan terjadual, sehingga menjadi formalitas. Agama formalitas bercirikan keras dan tegas dalam aturan dengan disiplin ketat. Ketat dalam memberlakukan diri dan orang lain, bahkan cenderung memaksakan kehendak. Terkadang memberlakukan hukum tajam kepada orang lain, namun tumpul kepada diri dan kelompoknya. Menjadikan dalil sebagai alasan untuk memuaskan egonya. Egonya menjadi Tuhan yang menetapkan masa depan diri dan orang lain. Sempat ada ajaran yang mengatakan “jual beli” surga. Agama diperdagangkan, dengan sosok atau materi tertentu, seperti nikah mut’ah (kawin kontrak), jual-beli “sajadah surga, muk (cangkir) surga, kopiah surga, kapling tanah surga.” Pada tataran ini, tidak sulit membedakan agama bisnis dan bisnis agama. Aksi berbisnis dalam agama, lebih besar dosanya, sebagai watak orang-orang Yahudi. Jual beli hukum agama dan praktik kotor lainnya.
Agama buatan manusia telah terbalik. Seakan-akan Tuhan sangat berhajat kepada makhluk (ciptaan) Nya. Formulasi agama yang dibuat manusia, menjadi hukum yang dikebiri sebatas wajib dan haram. Kalau tidak wajib, pasti haram. Wajib berdampak untung, haram berdampak rugi. Lalu mengapa ada hukum halal dan haram? Manusia yang belum tuntas dengan dirinya, pasti memuja Tuhan saat untung. Namun menghina Tuhan saat rugi. Bukan! Bukan cara beragama yang benar!
Camkan! Tidak berlebihan saat Nabi Muhammad SAW bersabda: “Addinu huwal ‘aqal, la dina liman la ‘aqlalah.” (Agama, dia adalah akal, tidak beragama bagi orang yang tidak berakal). Sekarang, akal manusia tidak sampai kepada Tuhan, hanya baru sampai kepada aturan syariat dan aturan hakikat. Sebenarnya, orang syariat dan orang hakikat hanya menyembah ego (pribadi). Betapa tidak, mereka menyelamatkan diri di akhirat dengan cara menunaikan perintah dan meninggalkan larangan. Bukan-kah ini ego yang berselubung syariat. Atau, supaya mampu meraih surga harus dengan ikhlas. Bukan-kah ini ego yang berselubung hakikat. Camuk akibatnya (tidak ada kedamaian).
Bila belum menembus batas ahad, pasti seseorang masih berada dalam jeratan-jerat syariat. Tidak mampu melepas nama, sifat, af’al dan zat Tuhan sebagai penghalang (hijab). Hijabah bagi ketuhanan yang maha esa. Hakikat, hakikat juga penjara. Bila belum terbuka, belum tertembus pagar takdir, tidak akan ada kebahagiaan sejati. Kecuali palsu dan semu, masih diikat oleh ikatan hakikat. Oleh sebab itu, kenapa Nabi Yusuf menerima wahyu di penjara? Untuk membebaskan Tuhan dari penjara nama (baca Yusuf:39-41).
Hari ini, banyak orang yang tidak bahagia. Sebab penilaian syariat dan penilaian hakikat masih menjebak. Standar penilaian syariat adalah lahiriyah. Semua yang bersifat lahir (luar) adalah tipuan, boleh disebut tipuan materialisme. Sedang standar penilaian hakikat adalah batiniyah. Semua yang bersifat batin (dalam) adalah tipuan. Tipuan hakikat dapat dijuluki dengan istilah tipuan spiritualisme. Keduanya adalah bayang-bayang. Mengapa hari ini, banyak orang-orang yang menyembah bayang-bayang. Bayangan menjadi Tuhan yang disembah dalam penyembahyangan. Karena ide, mindset, pikiran yang disembah. Akibat kurang akal, kitab suci menyebut mereka dengan sebutan safih (jamak sufaha’). Sufaha’ artinya adalah kelompok orang-orang yang kurang akal. Mereka terperangkap pada agama semu (pseudo religion).
Artinya, mereka ciptakan Tuhan sendiri, kemudian mereka sembah sendiri. Untuk memuaskan napsu lahir dan napsu batin. Kreasi nama dan sifat dalam rangka menyelamatkan tubuh mereka dari ancaman neraka yang diancamkan, bukankah ini bid’ah dhallah? Beribadah pada tingkat dhan atau sangkaan (dugaan). Mereka tidak ragu (syak), namun salah yang menyembah dan salah yang disembah. Keduanya sangat lemah (baca Alhaj:73-78).
Lalu, kreasi sembah nama adalah kreasi sembah bayangan bumi (ard). Imam kabir Ahmad Ibnu Athaillah (wafat: Mesir, 709 H), mengatakan bahwa langit dan bumi merupakan percikan dari dampak nama Allah (atsar min asmaillah). Ritual sembah sifat Tuhan adalah ritual agama langit (samawat). Mereka sedang menyembah benda-benda langit yang bernama, semua hanya lambang (simbol). Kemudian, mengapa manusia menyembah simbol (bayang-bayang). Padahal bayang-bayang kita sendiri menyembah Tuhan-nya (baca Annahl:48-52). Lillahita’ala.