NURIYAH KE AHADIYAH (REALITAS MENUJU NON REALITAS)

Oleh: Ma’ruf Zahran Sabran

Toko Al-Usmaniyah, beralamat di jalan Komyos Sudarso, sebelum jembatan Nipah Kuning adalah google map keberadaan kami dalam membedah  kitab dan kajian diri. Bersama guru, Pontianak, Senin, 14 Oktober 2024 tertulis almanak di dinding. Kajian ahadiyah ilahiyah dan nuriyah muhammadiyah adalah jalan yang paling sah untuk memeluk dan masuk dalam keselamatan secara total. Islam merupakan kitab realitas menuju non realitas. Realitas berkode, realitas bernama, realitas berkarakter, realitas bermateri. Non realitas artinya tidak berkode, tidak bernama, tidak berkarakter, tidak bermateri. Maksudnya, nuriyah (nora) menyampaikan pesan kehidupan (nova). Nova adalah napas yang membuat alam (kosmik) beredar pada porosnya seperti gerakan dalam perjalanan tawaf (mengelilingi rumah Tuhan). Kemudian realitas hilang, lenyap, padam (mahiyah), musnah (faniyah). Menuju non realitas, bermakna masuk kedalam totalitas kekekalan (baqiyah), kesatuan dari hamba kepada Tuhan (ittihadiyah), kesatuan dari Tuhan kepada hamba (hululiyah). Berkesimpulan di awal bahwa ahadiyah menjadi puncak dari kedua landscape tadi. Ingat, diluar daripada nuriyah adalah jalan-jalan kegelapan (dzulumat). Jika jalan keselamatan adalah jalan wali Allah (esa), maka jalan kesengsaraan adalah jalan yang selain Allah. Jalan selain Dia sangat jamak, jalan thaghut (berhala) dan jalan para syaitan. “Wahai orang-orang yang beriman, masuklah kamu kedalam keselamatan secara total (udkhulu fis silmi kaffah). Dan jangan engkau mengikuti langkah-langkah syyaitan. Sungguh syaitan merupakan musuh yang nyata bagimu.” (Albaqarah:208).

Proses menuju adalah sedang berjalan (be coming). Orang yang sedang berjalan perlu dalil (penunjuk jalan). Dalil bisa guru, bisa buku. Namun buku hanya referensi hurufiah. Sementara guru adalah referensi yang hidup, guru adalah perpustakaan yang berjalan (hayatiah). Dengan buku mungkin sampai kepada Tuhan, tetapi belum sempurna. Sebaiknya, berguru dan berbuku. Maknanya, buku dan guru bersepadan dalam mendaki gunung-gunung ketuhanan. Lebih penting, diri ikut terlibat dalam pergelutan ini. Bila sudah sampai (be ing) kepada-Nya, berjalan sendiri adalah diri yang esa. Tidak kembar, tidak berbatas, tidak berbayang. Kemerdekaan menjadi indikator di awal dan di akhir.

Isyarat surah Al-Isra’ ayat 70 menggambarkan manusia adalah karya (kreasi) Tuhan yang maha agung. Niscaya manusia adalah agung dari wujud jasmaniah, rohaniah, rububiyah. Albert Einstein (fisikawan nomor satu kelas dunia) sangat percaya bahwa alam (kosmik) akan berakhir. Dibuktikan secara ilmiah tentang kematian bintang-bintang dalam kosmologi. Mati dalam arti tidak lagi bersinar, mati dalam arti tidak lagi berotasi, tidak bermutasi dan tidak beroperasi. Kematian benda-benda langit dan bumi benar-benar kematian jasmani dan rohani. Berbeda dengan manusia, mereka mati bukan berarti habis menjadi tanah. Melainkan berpindah ke alam lain, alam yang lebih tinggi. Jasmani dan rohani manusia mengalami ketuaan, kemunduran dan kematian. Namun unsur-rabbaniyah, unsur ubudiyah, unsur uluhiyah tidak akan mati. Oleh sebab ketiga unsur tadi, manusia lebih tinggi derajatnya daripada bintang dalam kosmik struktur penciptaan. Sebab, manusia diciptakan dari roh Tuhan (rububiyah, ubudiyah, uluhiyah, ahadiyah). Adapun unsur ahadiyah, unsur yang tidak mampu dijelaskan oleh seorang matematikawan, kimiawan dan fisikawan manapun di dunia ini. Mereka menyebut dengan rumus shi. Shi adalah entitas yang tidak terbatas. Mengenai kemuliaan manusia, literasi ketuhanan berdasarkan situs dalam surah Al-Isra’ ayat 70: “Dan sesungguhnya Kami telah memuliakan (menghormati) keturunan Adam. Kami mengangkut mereka di darat dan di laut. Kami memberi rezeki kepada mereka dari yang baik-baik. Dan Kami utamakan mereka daripada makhluk yang Kami ciptakan dengan keutamaan yang banyak.” Sikap beragama sangat beragam (multi variat). Dari hukum syariat yang memenjara jiwa, sampai hukum hakikat yang menuntut. Jiwa awalnya merdeka, bebas tidak terikat. Di dunia ini, kita terikat dengan bahasa, kata, kalimat, ungkapan, ucapan, tradisi, adat, istiadat, ilmu, pengetahuan, pengalaman, teori, praktik. Mereka semua itu adalah penjara (kurungan jiwa). Kapan jiwa baru bahagia? Saat merdeka beragama, saat bebas dari ilmu pengetahuan. Apapun yang bersifat duniawi pasti mengikat.

Bagaimana diri sanggup membebaskan pikiran yang memenjara jiwa seperti benar-salah, tinggi-rendah, besar-kecil, perintah-larangan, sunah-bid’ah. Atau memerdekakan perasaan dari suka-duka, untung-rugi. Perasaan tadi, kalau diikuti akan memantik waktu yang bersifat kesementaraan. Karena “inna ma’al ‘usri yusra” (sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan). Dua kondisi faktual yang selalu membersamai, mudah-susah, lapang-sempit. Kapan manusia mampu mengatakan segala puji bagi Allah dalam semua keadaan pikiran dan perasaan. Sewaktu mampu melepaskan hukum yang dibuat diri untuk memberatkan diri. Lillahita’ala.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *