QIYAMUHU BINAFSIH

Oleh: Ma’ruf Zahran Sabran

Qiyamuhu binafsih artinya berdiri Dia dengan diri-Nya. Tuhan sebatang kara, tidak beranak dan tidak diperanakan. Tidak melahirkan dan tidak dilahirkan. Sebab itu, Tuhan tidak makan dan tidak minum. Apa yang mereka persembahkan untuk Tuhan, sebenarnya bukan untuk Tuhan. Namun untuk jin yang menyesatkan manusia dari jalan Tauhid. Pemberian sesajen, ancak dan sejenisnya adalah keyakinan keesaan yang menyimpang, mempersekutukan Allah (syirik). Tuhan tidak butuh persembahan, karena Tuhan tidak makan dan tidak minum. Makan dan minum merupakan bentuk kelemahan sifat alam dan sifat manusia (‘aradh). Termasuk dalam kajian Tauhid, salat bukan untuk Allah, sebab Tuhan tidak memerlukan salat manusia. Sifat memerlukan adalah sifat kemiskinan dan kefakiran, sedang Tuhan maha kaya dari segala yang ada (istighna-ul muthlaq). Tuhan tidak membutuhkan puasa, zakat, haji dan umrah manusia. Dia tidak mengambil manfaat dan tidak berharap untung dari amal ibadah manusia. Dia tidak merasa rugi, bila manusia mendurhakai-Nya. Untung atau rugi kembali kepada manusia sebagai akibat perbuatan mereka.

Wujud (ada-Nya) zat Allah bersifat berdiri sendiri. Zat Allah tidak memerlukan tempat, Dia tidak berkehendak kepada alam (iftiqar), Dia tidak menginginkan baik dan tidak menginginkan buruk kepada ciptaan-Nya. Menginginkan sesuatu merupakan gambaran kelemahan sesuatu. Sebab zat Tuhan tidak perlu ditopang dengan taat, dan tidak perlu diroboh dengan maksiat. Zat Tuhan tidak terpuji karena Dia memberi nikmat. Zat Tuhan tidak terhina karena Dia melempar musibah (derita). Mulia dan hina, bukan sifat Tuhan. Kajian Tauhid dalam lingkup sifat salbiyah adalah menolak sifat kekurangan bagi-Nya. Sifat salbiyah terdiri dari qidam (dahulu), baqa’ (kekal), mukhalafatuhu lil hawadis (berbeda dengan makhluk), qiyamuhu binafsih (berdiri sendiri), wahdaniyah (esa).

Segala yang berpasangan artinya bukan esa, maksudnya belum bisa berdiri sendiri. Zat Tuhan tidak perlu kepada nabi dan wali. Misal, suami memerlukan istri, istri memerlukan suami. Karena pada dua diri tersebut terdapat kelebihan dan kekurangan. Maksudnya, setiap yang berkelebihan pasti memerlukan yang berkekurangan. Guna unjuk kompetensi bagi yang berkelebihan. Zat Tuhan tidak memerlukan mimbar kehormatan. Zat Tuhan tidak tunduk kepada alam. Oleh sebab itu, sungguh Allah berbuat apa yang Dia kehendaki (innallaha yaf’aluma yasya’), sungguh Allah berbuat sesuai yang Dia tuntut (innallaha yaf’aluma yurid).

Artinya, zat Tuhan berdiri tanpa memerlukan tubuh dan roh. Zat Tuhan hidup tanpa memerlukan napas. Zat Tuhan bisa menang tanpa memerlukan pasukan perang. Walau sebenarnya, Dia tidak berdiri, sebab bila berdiri, Dia butuh duduk. Sebab lawan berdiri adalah duduk, lawan hidup adalah mati, lawan menang adalah kalah.

Mustahil bagi zat Tuhan meminta bantuan makhluk, mustahil bagi zat Tuhan memerlukan tempat. Kaedah Tauhid menyebut, ihtiyaju ilal mahalli awil muhassisi. (Mustahil zat Tuhan) berharap kepada tempat atau kepada ciptaan-Nya. Zat Tuhan tidak butuh kepada tempat yang mulia. Sejati zat Tuhan maha meliputi, memenuhi, memadati.

Disebut dalam kitab suci, zat Tuhan selalu dalam keadaan maha menyaksikan (syahid) tanpa bantuan makhluk. Zat Tuhan selalu dalam keadaan maha meliputi (muhith) tanpa bantuan ciptaan-Nya. Kemudian kenapa manusia masih ragu tentang perjumpaan dengan Tuhan-nya? Padahal, wallahu bikulli syai’in ‘alim (dan Allah pada tiap-tiap sesuatu adalah maha mengetahui). Sebenarnya, wallahu bikulli syai’in qadir (dan Allah pada tiap-tiap sesuatu adalah maha berkuasa).

Zat Tuhan berdiri sendiri tanpa pertolongan nama, tanpa bantuan sifat, tanpa bertopang pada sikap perbuatan. Lebih tegas, Dia sebutkan: “Allah, tidak ada Tuhan selain Dia. Maha hidup sendiri, maha berdiri sendiri. Terus-menerus mengurus makhluk-Nya. Tidak mengantuk dan tidak tidur. Milik-Nya apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. Tidak ada yang dapat memberi syafaat (pertolongan) di sisi-Nya, tanpa izin-Nya. Dia mengetahui apa yang di hadapan mereka, dan di belakang mereka. Dan mereka tidak mengetahui sesuatu apapun tentang ilmu-Nya (Allah), kecuali apa yang Dia kehendaki. Kursi-Nya meliputi langit dan bumi. Dan Dia tidak merasa berat memelihara keduanya, dan Dia maha tinggi, maha besar.” (Albaqarah:255). Wallahua’lam.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *