REFORMULASI MAKNA FITRAH BERAGAMA

Oleh: Ma’ruf Zahran Sabran

Fitrah (kesucian semula jadi) adalah potensi bertuhan yang diberikan-Nya kepada semua makhluk. Dalam hal ini, bagaimana sangat ingkar seseorang kepada-Nya, pasti ada keinginan untuk bertaubat. Betapa seseorang berusaha menjauh dari-Nya, suara hati (fuadi) semakin menyuruh mendekat, merapat, mendekap kepada yang maha penyayang. Taubat, mendekat, merapat, mendekap-Nya adalah suluh bagi fitrah. Benar, fitrah bukan untuk dijauhi, namun butuh untuk dipahami. Artinya, melawan fitrah sama dengan menabuh genderang perang dengan diri sendiri. Sebab, wadah diri merupakan tempat titipan fitrah.

Hari ini, sains berusaha mengurai fitrah, terkadang sains pula bertolak-belakang dengannya. Tentu, menyalah-gunaan sains dari koridor yang semestinya. Sebenarnya, sains bersifat netral sejak dahulu. Misal, obat penggugur kandungan telah ada sejak manusia ada. Karena dia antitesa terhadap obat penguat dan penyubur kandungan. Kedua obat tersebut tersedia. Lalu, mana yang ingin digunakan?

Sebab itu, mereformasi pahala dan dosa adalah upaya pembaharuan terhadap makna fitrah. Maksudnya, fitrah yang abstrak ingin dijelaskan oleh ilmuan secara kognitif dan faktual. Guna memberi definisi tentang fitrah. Pahala dan dosa bisa dipahami sebagai eksistensi (kedirian) yang melekat pada diri fitrah, tidak menempel. Maksudnya, seseorang yang berbuat baik, pasti merasa senang (fitrah). Seseorang yang berbuat jahat, pasti merasa gelisah (fitrah). Meski tidak ada manusia yang melihat. Kedua perasaan yang berbeda tadi, niscaya dimiliki oleh semua orang. Jadi, beragama adalah upaya menenangkan diri sendiri. Bukan menenangkan orang lain. Contoh, oknum koruptor merasa takut karena dikejar oleh diri sendiri, hukuman terberat pada saat yang menjadi hakim adalah diri. Sehingga, Alquran menanyakan, dimana engkau akan lari (fa aina tadzhabun).

Filosofi “tabur-tuai” mungkin upaya yang paling dekat untuk memberi pemahaman diksi terhadap pengertian pahala dan dosa. Mengingat, konsep pahala merupakan dampak positif dari perbuatan baik. Dan, konsep dosa merupakan dampak negatif dari perbuatan jahat. Artinya, fitrah diri selalu memberi dampak penyerta. Maksudnya, “berbahagialah orang yang menyucikan diri-nya, dan merugilah orang yang mengotorinya.” (Asy-syams:9-10). Betapa di akhirat nanti, setiap diri membela dirinya di hadapan Tuhan. Ini menandakan diri yang belum tuntas mengenal diri, sehingga terjadi konflik. “Pada hari setiap orang datang untuk membela dirinya sendiri. Pasti, setiap orang akan dibalas sesuai dengan apa yang dikerjakan-nya. Dan mereka tidak dirugikan.” (An-nahl:111).

Tampak dari dua wajah mereka, antara wajah berseri yang sudah beres dengan dirinya (menyelarasi fitrah), dengan wajah muram yang bermasalah dengan dirinya (menyalahi fitrah). Sebab wajah merupakan penampang yang paling jelas untuk memvisualisasi suasana hati. “Adakah sampai kepadamu berita hari kiamat? Banyak wajah yang tertunduk hina.” (Al-Ghasiyah:1-2). Prototipe diri yang kembali kepada Tuhan dengan membawa dosa. Mereka kepayahan dan kelelahan. Dapat dimengerti ayat tersebut, bahwa ketika seseorang di dunia, memanaskan kehidupan orang lain, di akhirat berbalas dengan memasuki api neraka yang panas. Diberi minum dari sumber mata air yang sangat panas. Bila seseorang membuat sempit kehidupan orang lain, dia akan memasuki ruang neraka yang sempit (karma). Metafor yang digambarkan kitab suci Alquran, jika memberi duri, maka akan mendapat duri. Berduri makanan penduduk neraka, makanan yang tidak menggemukkan dan tidak menghilangkan rasa lapar.

Sebaliknya, bila akhirat sebagai akibat baik, sebab baik sudah dilakukan di dunia. Dua negeri ini saling berhubungan dan berkelanjutan. Bila sanggup membuat wajah orang lain berseri. Pasti Allah balas: “Pada hari itu, banyak wajah yang berseri, merasa senang dengan usahanya sendiri. Di dalam surga yang tinggi. Di sana, kamu tidak mendengar perkataan yang sia-sia.” (Al-Ghasiyah:8-11).

Semua diksi surga adalah ganjaran untuk orang yang rendah hati, takwa lagi berbudi. Konsekuensi logis dari memberi minuman akan mendapat minuman dari mata air surga yang mengalir. Dan memberi kemudahan rumah rakyat, akan mendapat istana beserta dipan-dipan yang ditinggikan, piala kristal yang didekatkan, bantal-bantal sandaran yang disusunkan, dan aneka permadani yang dihamparkan. Sehingga paparan surah ini (Al-Ghasiyah), sunnah dibaca oleh imam pada rakaat kedua dalam salat jumat, setelah surah Al-A’la pada rakaat pertama.

Reformulasi fitrah dapat pula memaknai kembali arti ajal. Bahwa ajal (waktu) bagian dari catatan diri yang awal dituliskan. Fitrah hidup adalah mati yang sejalan dengan banyak firman-Nya. Pemberlakuan tindakan manusia kepada fitrah menjadi bagian status kematian mereka, husnul-khatimah atau su-ul khatimah.

Mengingini husnul-khatimah berproses menuju, bukan sekali jadi. Kitab suci Alquran menyatakan bahwa orang yang selalu berprasangka-baik kepada Allah adalah mereka yang bertakwa, dan mengatakan semua yang datang dari- Nya adalah baik (qalu khaira). Tidak peduli apapun namanya, bagaimanapun sifatnya. Bagi mereka kebaikan hidup di dunia ini. Dan sungguh negeri akhirat lebih baik, surga untuk orang-orang yang bertakwa (baca An-nahl:30). Adapun orang-orang yang kematian dengan su-ul khatimah adalah menjelang kematian dia berbuat dosa kepada Allah, merugikan diri sendiri. Mereka berbohong, tidak pernah melakukan kejahatan. Tidak, sesungguhnya Allah maha mengetahui apa- apa yang kamu kerjakan. Masukilah pintu-pintu Jahannam, kekal didalamnya. Demikian siksa bagi orang-orang yang sombong (baca An-nahl:28-29).

Ternyata, iman dan takwa adalah fitrah. Melawan keduanya merupakan bentuk perilaku yang menyimpang (disorder). Ketika agama telah beralih dari fitrah yang murni dan menjadi institusi, bersentuhan dengan kultur lokal dan global, serta banyak kepentingan. Niscaya agama akan memantik rekayasa dan konstruk politik, sosial, budaya dan finansial. Agama mengalami transformasi dari yang sederhana menjadi kompleks. Kompleksitas yang tidak sanggup dihindari. Namun, bagi ulul albab, fitrah tetap fitrah, meski terbungkus atas nama agama, atas nama pendidikan, atau atas nama Tuhan.

Rasulullah SAW tidak salah, umat yang memecah-belah agama, sehingga terkotak-kotak. Dan mereka bangga dengan kelompok-nya (kullu hizbin bima ladaihim farihun), ini yang salah. Terkotak, terpecah, terbelah, tercerai, terberai, puing-puing yang tiada arti, akhirnya lenyap. Ketika Rasulullah SAW wafat, baginda telah mewasiatkan dua perkara. Bila engkau berpegang kepada keduanya, engkau tidak akan sesat selamanya, kitabullah dan sunah. Kemudian, baginda meninggalkan ahli waris yang diikuti, al-‘ulama’ waratsatiy, al-‘ulama’ waratsatul anbiya’ (ulama adalah ahli waris-ku, ulama adalah ahli waris para nabi). Terakhir, baginda menunjuk ajar untuk memintalah fatwa kepada hati-mu (fitrah). Wallahu a’lam.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *