Oleh: Ma’ruf Zahran Sabran
Meski terdapat perdebatan apakah Albert Einstein bertuhan secara eksplisit atau implisit, masih menjadi rumus pertanyaan. Namun dia sangat respected terhadap agama. Dia katakan agama tanpa ilmu adalah pincang. Ilmu tanpa agama adalah buta. Sebagai seorang ilmuwan, fisikawan yang paham rumus, matematikawan kelas satu dunia, dengan teori konstanta, dia berani menyatakan ada wujud yang mengatur alam semesta. Buktinya, ada kehidupan dan kematian, malah Einstein meyakini adanya akhir total kehidupan yang disebut kiamat. Maha pengatur itu dia namakan Shi. Bagaimana fisika Einstein menjelaskan ada Tuhan di alam ini?
Apa yang disebut Einstein tentang kalam suci adalah pesan kiamat (kemusnahan) alam. Maksudnya, energi alam semesta akan menurun. Massa (volume) di alam suatu saat akan mengalami masa kemunduran. Dan, akhirnya kemusnahan (ketiadaan). Dia contohkan, bintang-bintang generasi lama akan redup, mati, dan berjatuhan. Sedang bintang-bintang generasi baru, tumbuh-kembang, serta memainkan peran pencahayaan sebagai kompas di langit dan di bumi. Maksudnya, tabiat menikah (kawin) adalah nature of law (sunnatullah) untuk menjalankan fungsi berpasangan dan fungsi perkembang-biakan. Artinya, pergantian dan kepemimpinan telah menjadi tabiat alam sejak awal.
Sebenarnya, Shi adalah akhir pencapaian kebertuhanan “ala Einstein.” Sebab dia melihat terdapat keteraturan yang rapi di alam semesta ini. Jagad kosmik yang tetap (konstanta), indah, seperti langit, bumi, matahari, bulan, siang, malam, daratan, lautan berjalan pada garis keteraturan, tidak saling mendahului (fi falakiyyasbahun). Sebanyak empat ayat dalam surah Yasin (37, 38, 39, 40) membentang malam, siang, matahari, bulan. Keempat benda di alam tersebut Tuhan jelaskan. Dalam pengaturan-Nya, kepemimpinan Tuhan yang maha perkasa lagi maha mengetahui. Keteraturan alam nabati, hewani, adalah paparan ayat dan isyarat ilmiah dalam surah Yasin. Sampai akhirnya, bahwa alam semesta akan musnah, bila tiba masanya. “Kecuali rahmat dari Kami, dan untuk kesenangan-mu, sampai tiba waktunya (ajal).” (Yasin:44).
Sejati, banyak hal yang tidak sanggup dijelaskan ilmu pengetahuan (sains dan teknologi) saat berhadapan dengan fenomena alam. Banyak anomali yang muncul saat penciptaan Adam tanpa bapak dan tanpa ibu, penciptaan Hawa, dan kelahiran Isa putera Maryam tanpa bapak. Sehingga sesuai saat Tuhan memerintahkan kepada Isa untuk berbakti kepada seorang ibu. Sebab proses kelahiran Isa tanpa seorang bapak. “Dan berbaktilah kepada ibumu.” (Maryam:32). Demikian pula anomali tongkat menjadi ular, sains yang berbasis logika, memang tidak mampu untuk menjelaskan. Atau, ketika Tuhan memerintah kepada Ibrahim. Masuklah ke dalam api, lalu api menjadi dingin dan menjadi keselamatan untuk Ibrahim. Dan lagi, ketika Tuhan memerintah Musa, pukulkan tongkat-mu ke batu! Pukulkan tongkat-mu ke laut!
Bila beragama berdasarkan logika, banyak doktrin (postulat) agama yang didebat oleh logika. Contoh penciptaan Adam tanpa bapak dan tanpa ibu, serta penciptaan Isa tanpa bapak. Tentang rezeki dan keselamatan, bagaimana bayi Musa hidup dan tumbuh sampai dewasa di kalangan istana Fir’aun. Bagaimana hukum konstanta api yang panas menjadi dingin pada saat menyentuh tubuh Ibrahim. Bagaimana besi yang keras menjadi lunak di tangan Daud. Bagaimana laut bisa terbelah dan membentang jalan raya untuk Musa dan kaumnya dari kejaran Fir’aun dan tentara-nya. Bagaimana Zakaria bisa membuka pohon, dan bagaimana Muhammad dapat memanggil dan mengundang bulan. Lalu bulan datang, bersyahadat dihadapan Nabi Muhammad. Bulan terbelah dua dan menyatu kembali mengikuti perintah Muhammad.
Apakah karena para utusan memiliki mukjizat (kejadian di luar kebiasaan) lalu mereka dijadikan Tuhan yang disembah? Pantaskah menyembah Adam, Idris, Nuh, Ibrahim, Musa, Zakaria, Yahya, Isa, Muhammad. Mereka memang manusia yang dipilih Tuhan-nya (fajtabahurabbuhu), dan mereka adalah kaum salihin. Tentu, posisi mereka sebagai hamba yang diutus Tuhan (‘abduhu wa rasuluhu).
Posisi absolutisme agama (di atas langit), jika saat turun ke permukaan bumi, maka nilai absolutisme agama menjadi relatif dan temporer. Maksudnya, sudah bersentuhan, kontak dengan budaya lokal setempat. Agama menjadi subsistem sosial, sama dengan ranah politik, budaya, pendidikan dan kehidupan. Atau sebaliknya, bagaimana yang relatif mendoa kepada absolut, menjadi diskursus tersendiri yang saling tarik-menarik antara absolutisme dan relativisme.
Tetapi keduanya bisa dikomunikasikan sejalan dengan nilai luhur yang disepakati. Vertikal dan horizontal hakikatnya satu juga (humanity of one). Kemanusiaan itu satu (min nafsiwwahidah). Bagaimana sanggup dicerai dan diberai? Tatkala ketuhanan satu dan kesatuan tuhan. Lalu bisakah memisahkan nilai rasa vertikal dan horizontal. Atau menjauhkan alam pikiran ketakterhinggaan dan keterhinggaan? Wallahua’lam.