TRADISI MUSLIM BORNEO: TASWIR SENI ISLAM YANG TERLUPA

Oleh: Maruf Zahran Sabran

Karya seni indah tentu lukisan dari sang pelukis yang berjiwa lembut, rasa peka (sens), kasih (mercy) dan suka melindungi (protect) secara wajar. Taswir, keindahan bentuk, kesempurnaan kreasi, royal kemurahan, kemahaan sifat santun, sapaan lembut, dan akumulasi keluhuran milik siapa? Bila ada taswir, pertanda ada musawwir. Al-Musawwir (maha dan ahli lukis) adalah Tuhan yang dikenal oleh semua makhluk. Al-Musawwir adalah isim ma’rifah (nama yang dikenal). Potensi untuk mengenal Dia, sudah Dia tiupkan (nafkhiyyah) kesemua lukisan-Nya (maswir).

Untuk menyempitkan arti taswir (keindahan seni) dengan ucapan berhikmah dan bestari. Pemangkat, kota kecil kecamatan melalui corong masjid besar At-Taqwa, menjelang azan Jumat telah disampaikan taswir. Taswir disini, bukan kaligrafi, atau sulaman kain emas bertulis ayat. Namun masyarakat muslim Pemangkat sudah mafhum bahwa taswir adalah ceramah singkat menanti azan di hari Jumat. Boleh dikata tausiah atau kuliah ringkas (kulkas). Durasi waktu bisa 7 sampai 15 menit. Meski singkat, namun kalam-kalam mutiara yang disampaikan. Penggagas, pensyarah, penceramah sekeliling Kabupaten Sambas, terutama masjid yang beliau singgahi. Inilah, sosok pribadi H. Zuhdi Imran (tokoh legendaris) yang sering berpenampilan seperti Buya Hamka (Haji Abdul Malik Karim Amrullah). Nama beliau sangat dikenal masyarakat Kabupaten Sambas, sebagai seorang ‘alim, imam, khatib, penghulu, dan pernah menjabat Kepala Kantor Departemen Agama Kabupaten Sambas yang berkedudukan di Singkawang.

Pernah mengajar bahasa Arab diberbagai madrasah, termasuk madrasah Tarbiyah Sultaniyah Sambas. Pada masa itu, guru-guru yang mengajar adalah dari Mesir, Arab, Yaman. Sehingga alumni madrasah Tarbiyah Sultaniyah Sambas sangat fasih berbahasa Arab dan mumpuni membaca Alquran, menerjemah dan menafsir. Namun hari ini, alumninya telah banyak yang wafat. Mungkin tidak ada lagi. Kita belum sempat mewariskan ilmu dan karakter yang dapat diturunkan (turats) bagi kegemilangan Islam, pendidikan, dakwah dan syiar.

Bagi alumni, mayoritas penguasaan nahwu (grammar), balaghah (sastra), bayan, burhan, mantik, irfan mereka kuasai. Dari situ, terbangun karakter disiplin, sebab ciri ilmiah disiplin. Jujur, sebab ciri ilmiah jujur. Berurutan (sistematis), sebab karakter ilmiah sistematis. Tidak lompat (jump) dan tidak lari (run). Alumni mereka sabar, sebab science harus sabar dalam observasi dan wawancara secara teliti (research).

Ilmu dan adab (karakter) mereka dapat, alumni sangat banyak. Nursiah, Wahdah, Sarah, Jubah Hanum adalah sebagian kecil alumni Tarbiyah Sultaniyah Sambas. Kealiman dan kearifan mereka tidak usah diragukan lagi. Apa yang dapat kita warisi dari mereka adalah memutik permata emas, intan, dan mutiara berlian dari sudut kehidupan mereka yang bercahaya.

Ciri karakter mereka adalah tegas, pemberani, pintar (excellent), tetapi sopan dan santun. Ilmu dan adab, ciri paling mengemuka saat mereka berkomunikasi dengan sesama. Bersikap menghormati kepada yang lebih tua, berperilaku wajar kepada sebaya, menyayangi dan mengasihi kepada yang lebih muda. Karakter lain, mereka adalah motivator spiritual atau agen agama. Sebab, Tarbiyah Sultaniyah Sambas, berdiri di atas  negeri berdaulat dan berkesultanan yang bergelar “Sambas Serambi Mekah.” Misi dakwah dan militansi menjadi identitas pembelajar kala itu.

Bahkan, ada yang menamakan, kualitas pembelajaran di Tarbiyah Sultaniyah Sambas sama dengan kualitas pembelajaran di Sumatera Tawalib, madrasah tempat Buya Hamka menuntut ilmu dan kearifan. Lalu, setara dengan proses pendidikan di Mu’allimin dan Mu’allimat Yogyakarta, dalam penguasaan bahasa Arab. Itu, “tempo doeloe.” Sebab, bahasa Arab adalah miftah (kunci) untuk membuka khazanah Islam dan keislaman. Meretas arif dan kearifan, menyikap santun dan kesantunan.

Kembali kepada taswir, boleh dikata sebagai seni berpidato. Penciri seni adalah indah, indah kalam, indah cara penyampaian, indah maddah (materi dakwah), indah sebab dan indah akibat. Tercapai maksud dan hajat, bahwa taswir menunggu azan adalah indah, bukan gelisah. Jamaah diajak bukan diinjak, jamaah dimuliakan bukan dihinakan, jamaah dididik bukan dihardik, jamaah diayomi bukan dipecundangi di depan jamaah lain. Perilaku kyai, tuan guru, gus, ayib, habib, mereka wajib mencontoh tauladan mulai nan luhur dari Kanjeng Nabi Rasulullah SAW. Dauh yang disampaikan adalah dauh yang mendamaikan, bukan membuat keresahan di tengah masyarakat! Semoga.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *