Oleh: Maimunah
Pada Jumat (31/5), Program Studi Pendidikan Agama Islam Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan (FTIK) IAIN Pontianak menghadirkan guest lecturer asal Bangladesh dalam perkuliahan semester genap tahun ajar 2023/2024. Dosen tamu tersebut yaitu Md. Mahdi Hasan, MA. dari Program Master Studi Islam, Universitas Rajshashi, Bangladesh. Mahdi menjadi dosen tamu bagi mahasiswa Prodi PAI semester IV dalam mata kuliah “Telaah Materi al-Qur’an dan Hadits,” dengan dipandu oleh moderator Egi Tanadi Taufik, dosen prodi PAI dan peneliti Institute of Southeast Asian Islam (ISAIs).
Dosen tamu asal Bangladesh tersebut membawakan materi berjudul “Qawmī Madrasas Education in Bangladesh: Safeguarding Islamic Tradition and Navigating Modern Challenges.” Topik ini, menurut Mahdi, menjadi relevan bagi pembelajaran mahasiswa PAI IAIN Pontianak sebab format institusi, arah kebijakan, metode pengajaran, dan materi ajar Madrasah Qawmī di Bangladesh memiliki irisan dengan pondok, surau, langgar, dayah, dan pesantren tradisional di Indonesia dan beberapa wilayah Muslim di Asia Tenggara semisal Trengganu, Patani, Mindanao, dan Kelantan.
Modernisasi dan sekularisasi adalah dua dari sekian banyak tantangan perubahan yang dihadapi oleh institusi pendidikan Islam belakangan. Ratusan Madrasah Qawmī turut merasakan dampak langsung dari kemajuan teknologi informasi serta meningkatnya kebutuhan tenaga kerja bidang STEM dalam dunia industri modern. Madrasah Qawmī adalah arketipe Pendidikan Islam tradisional di Bangladesh yang mencontoh Darul Uloom Deoband (India) serta berusia lebih tua dari negara Bangladesh sendiri.
Mengingat Madrasah Qawmī merupakan institusi pendidikan Islam konservatif yang berusia lebih dari satu abad, para pengampu kebijakannya mengalami kesulitan dalam melawan arus modernisasi serta intervensi dari pemerintah negara Bangladesh yang ingin memodernkan Madrasah Qawmī. Problemnya, imajinasi dan standar yang diterapkan dalam menentukan model “modern” didasarkan pada sistem pendidikan Islam yang diterapkan dalam Madrasa-i-Aliya, institusi pendidikan yang digawangi oleh kelompok muslim revivalis Jamaat-e Islami.
Para ulama Qawmī lantas melakukan berbagai upaya untuk menolak segala proses modernisasi dan reformasi institusi Pendidikan yang diusung oleh pemerintah Bangladesh. Dalam sikap ekstremnya, mayoritas madrasah Qawmī bahkan kompak menolak seluruh dana hibah dari pemerintah negara Bangladesh. Sikap resisten dan antipati pada negara merupakan bentuk respon kolektif yang diinisasi para ulama otoritatif Qawmī sebab mereka meyakini bahwa pemerintah negara Bangladesh―kendati secara formal-administratif merupakan negara sekuler―telah terafiliasi dengan ideologi modernis-fundamentalis dari Syed Abū al-A’lā al-Mawdūdī dan kelompok Jamaat-e Islami.
Terdapat beberapa perbedaan mendasar dari Madrasah Qawmī dan Madrasa-i-Aliya, antara lain; Pertama, secara ideologi Madrasah Qawmī terdiri dari kelompok konservatif Hanafi sayap kanan yang disokong oleh kelompok Hafezat-e-Islam, sedangkan Madrasa-i-Aliya adalah kelompok reformis yang dimotori Jamaat-e Islami; Kedua, secara institusi Madrasah Qawmī mengambil bentuk pendidikan tradisional, formal maupun non-formal, sedangkan Madrasa-i-Aliya mengambil bentuk pendidikan modern-formal; Ketiga, Madrasah Qawmī merujuk pada kurikulum tradisional dars-i-nizami sedangkan Madrasa-i-Aliya mengandalkan desain kurikulum terpadu dari pemerintah; Keempat, Madrasah Qawmī tidak mengenal dan mempelajari ilmu-ilmu umum termasuk sains, teknologi, humaniora, dan matematika, berkebalikan dengan Madrasa-i-Aliya; Kelima, Madrasah Qawmī menggunakan rujukan pembelajaran berbahasa Arab, Urdu, dan Farsi sedangkan Madrasa-i-Aliya menggunakan rujukan berbahasa Inggris, Bengali, dan Arab; Keenam, Madrasa-i-Aliya selalu mendapatkan pengawasan dan bantuan dana hibah pendidikan dari pemerintah Bangladesh, sedangkan Madrasah Qawmī melepas diri dari intervensi negara.
Mahdi menyoroti tantangan-tantangan sosial-keagamaan dan politik-ekonomi yang dihadapi Madrasah Qawmī serta faktor-faktor yang melatarbelakangi warga Bangladesh untuk menyekolahkan anaknya di sana. Ia menyebut bahwa para orangtua yang menyekolahkan anaknya ke Madrasah Qawmī berlatarbelakang ekonomi menengah ke bawah serta berasal dari kelas pekerja (working class). Para keluarga tersebut mengharapkan anak-anak mereka dapat belajar agama dan menjadi guru, ustaz, imam, dan muazin di daerah mereka, tanpa sedikitpun memikirkan tentang tingginya jumlah pengangguran dan angka kemiskinan serta minimnya literasi digital di komunitas kelas pekerja.
Berangkat dari penelitiannya, Mahdi menyampaikan sejumlah kesimpulan dan rekomendasi, antara lain; Pertama, pentingnya reformasi sistem pendidikan Islam di Madrasah Qawmī serta peningkatan kualitas peserta didik lewat program sertifikasi dan pelatihan; Kedua, perlunya asesmen pelaksanaan pendidikan dan sarana prasarana di berbagai institusi Madrasah Qawmī; Ketiga, mencegah potensi perubahan dan penghapusan kurikulum dars-i-nizami dalam berbagai model pendidikan Islam reformis di Bangladesh; Keempat, mengakomodir pandangan para ulama tradisional Qawmī serta memberikan bantuan dana hibah pendidikan pada institusi-institusi pendidikan yang otoritatif.
Presentasi hasil penelitian Md. Mahdi Hasan mengundang banyak pertanyaan dari para mahasiswa Prodi PAI. Beberapa di antaranya semisal Karsih Amalia, mahasiswi PAI 4C, yang bertanya tentang konsistensi dari sikap oposisi para ulama Qawmī atas pemberian dana hibah dari pemerintah Bangladesh dan ciri khas dari model pendidikan dars-i-nizami di Madrasah Qawmī. Ada pula Cahaya Azkiya, mahasiswi PAI 4C, yang bertanya tentang bagaimana para alumni Madrasah Qawmī yang notaben merupakan ahli ilmu agama dapat meningkatkan peluang penerimaan di dunia kerja modern-industrial dengan skillset dan kompetensi yang terbatas. Setelah pertanyaan-pertanyaan terjawab, perkuliahan ditutup dengan sesi dokumentasi dan evaluasi pembelajaran.