SAAT MULUT TERKUNCI (TANGAN BICARA DAN KAKI SEBAGAI SAKSI)

Oleh: Ma’ruf Zahran Sabran

Judul pernyataan di atas berdasarkan surah Yasin:65. “Pada hari, Kami menutup (mengunci rapat) mulut-mulut mereka, tangan mereka yang berbicara, dan kaki mereka memberikan kesaksian terhadap apa yang mereka kerjakan.” Ayat berdimensi eskatologis (keakhiratan) ini, sangat berhubungan dengan dimensi keduniaan. Baik dimensi ruang maupun dimensi waktu. Maksudnya, sebelum berbicara, berpikir-lah dulu. Itulah makna dimana Tuhan menciptakan satu lidah yang dikunci oleh dua bibir. Sebelum berbicara, gunakan indera dua mata, dua telinga, dua lubang hidung. Artinya, lebih banyak melihat daripada bicara, lebih banyak mendengar daripada bicara, lebih banyak merasa daripada bicara. Sebab, bila pembicaraan sudah meluncur dari lisan, niscaya pembicaraan tersebut bukan lagi rahasia. Dan, sudah menjadi milik publik, atau konsumsi orang lain. Menarik pembicaraan lebih sulit, daripada menarik kaki yang sedang terperosok.

Pelajaran menjaga lisan telah Tuhan tunjuk-ajar dalam salat. Dalam salat, tiga rukun wajib dijaga, jaga pembicaraan (rukun qauliyah), jaga perbuatan (rukun fi’liyah), jaga perasaan, jaga hati (rukun qalbiyah). Ketiga rukun tersebut, harus berimplikasi (berdampak) pada kehidupan sehari-hari. Maknanya, salat berpengaruh terhadap adab (kesantunan) bicara. Salat berpengaruh terhadap adab (kesantunan) perilaku. Salat mampu menjaga hati. Bila tidak, “yushalluna wala yushallun” (mereka mengerjakan syariat salat, tetapi tidak mengerjakan hakikat salat). Kondisi mereka yang salat dalam keseharian, namun jauh dari nilai dan hikmah yang dipetik dari mendirikan salat. Dalam arti, bertentangan antara praktik salat dengan nilai yang dikehendaki sebagai tujuan salat. Salat ditunai, tujuan salat tidak dicapai. Salat dikerjakan, zina dikerjakan, mengumpat, mencela, menghina, bangga diri (‘ujub), dan perbuatan mungkar lainnya.

Perbuatan mungkar tetap rajin dikerjakan, bersamaan salat tetap rajin. Salat apakah ini? Salat yang tidak berbasis tauhid, namun berbasis syirik. Salatnya lemah, baik yang disembah maupun yang menyembah, kedua-duanya lemah (dha’ufath-thalib wal mathlub).

Berdasarkan firman- Nya: “Wahai manusia, telah dibuat sebuah perumpamaan untuk mereka, maka dengarkan-lah! Sesungguhnya segala yang kamu seru selain Allah. (Selain Allah) tidak dapat menciptakan seekor lalat-pun. Walaupun mereka bersatu untuk menciptakan-nya. Dan jika lalat itu merampas sesuatu dari mereka. Mereka tidak akan dapat merebutnya kembali dari lalat itu. Sama lemah-nya yang menyembah dan yang disembah.” (Al-Haj:73). Permisalan juga Dia sebutkan dalam surah Al-Ankabut:41. “Perumpamaan orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah, adalah seperti laba-laba yang membuat rumah. Dan sesungguhnya rumah yang paling rapuh yaitu rumah (sarang) laba-laba, sekiranya mereka mengetahui.”

Juga, mereka yang mengingkari Allah seperti bersandar pada pohon yang lapuk. Amal mereka seperti debu yang ditiup angin. Amal orang-orang yang mempersekutukan-Nya, seperti abu yang tidak meninggalkan bekas. Surah Ibrahim:18, mewartakan hari ini, supaya tidak ada penyesalan pada hari itu (kiamat). “Perumpamaan orang yang ingkar kepada Tuhan-nya, perbuatan mereka seperti abu yang ditiup oleh angin, pada suatu hari yang berangin kencang. Mereka tidak dapat mendatangkan manfaat dari usaha (amal) mereka. Demikian itu, adalah kesesatan yang jauh.” (Ibrahim:18).

Al-Quran sebagai kitab terbuka, pernyataannya sangat lugas, terus terang. Turun dari sisi Tuhan yang maha wibawa dan maha penyayang (baca Yasin:5). Maha wibawa, artinya, Dia tidak takut dicela, Dia tidak takut dihina oleh ciptaanNya, saat Dia memberi peringatan. Maha penyayang, artinya, Dia tidak berharap pujian makhluk. Di dunia, bahwa Dia menyayangi memang sudah menjadi kedirian-Nya. Rezeki tetap Dia berikan, saat hamba meminta atau tidak. Perlindungan keamanan selalu Dia berikan kepada orang yang taat dan kepada orang yang ingkar.

Diri, sebenarnya liar dalam arti tidak mau diatur. Tergesa-gesa dalam arti tidak mau lambat, ingin serba cepat (instan). Supaya tidak liar, Dia berikan aturan (hukum agama). Supaya tidak tergesa-gesa, Dia berikan manusia keterbatasan secara jasmani dan rohani. Sang Pencipta sudah sangat mengetahui keadaan hamba-Nya. Semua keterbatasan dan kelemahan manusia, menjadi basis ujian bagi mereka (linaftinahum fih).

Hukum Tuhan dalam rangka memacu keterlambatan manusia, mengatur ritme napsu kecepatan mereka. Diantaranya adalah ketepatan waktu mendirikan salat (disiplin). Khusyuk dalam mendirikan salat (komitmen, konsisten, konsekuen). Daim (berketerusan) dalam salat, melintas waktu, ruang, kondisi dan rukun.

Jadi, seyogyanya, dengan salat yang benar, sanggup menuntun kata dan menuntun perilaku dengan hati ikhlas. Terdengar nyaring, betapa hakekat salat mampu menjaga diri, bukan diri yang mampu menjaga salat. Berdasarkan firman: “Bacalah apa yang telah diwahyukan kepada-mu bagian dari kitab (Al-Quran). Dan dirikanlah salat, sesungguhnya salat mencegah perbuatan keji dan mungkar. Segera ingatlah Allah yang maha besar. Dan Allah maha mengetahui apa-apa kamu kerjakan.” (Al-Ankabut:45).” Wallahua’lam.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *