Melacak Manuskrip Melayu di Borneo, Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan (FTIK) IAIN Pontianak Hadirkan dosen tamu yang menempuh pendidikan di MA the Globalized Muslim World, Edinburgh University, United Kingdoms (UK)

Oleh: Maimunah

Pada Sabtu (16/11), Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan (FTIK) IAIN Pontianak menghadirkan guest lecturer asal Edinburgh University dalam perkuliahan semester ganjil tahun ajar 2024/2025. Dosen tamu tersebut yaitu Egi Tanadi Taufik Putra Kalimantan Barat yang masih menempuh pendidikan Master di MA Globalized Muslim World, Edinburgh University, United Kingdoms (UK). Egi menjadi dosen tamu bagi mahasiswa Prodi Pendidikan Agama Islam, Tadris Matematika, dan Studi Agama-agama Semester 1 dan 3, dalam mata kuliah Islam dan Budaya Borneo yang dipandu oleh moderator Marshela dan disambut oleh dosen pengampu Bibi Suprianto, M.A.

Dokumentasi Webinar (Dok)

Sebelum Egi menyampaikan materinya dalam diskusi tersebut, Bibi Suprianto selaku dosen pengampu menyampaikan bahwa “hubungan identitas orang-orang Borneo dapat dilacak melalui manuskrip Borneo dan jaringan para ulama yang masuk dalam peradaban Islam Nusantara. Bibi menyampaikan bahwa diskusi ini sebagai pemantik untuk dasar mahasiswa mengetahui bahwasanya Islam dan Budaya lokal sangat dipengaruhi oleh adanya perkembangan zaman dalam sebuah leteratur tua. Baginya ini sangat penting untuk mahasiswa Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan saat ingin belajar sejarah dan filologi kedepannya.

Dalam hal inilah Bibi mengarahkan mahasiswa untuk belajar dengan Dosen tamu asal Edinburgh University tersebut untuk mendengarkan materi yang berjudul “Bornean Manuscript Traditions and its connection to Indian ocean literary networks, 1630-1928”. Topik ini menjadi pengetahuan bagi mahasiswa FTIK untuk melacak arah masukknya Islam dan koneksi para ulama Borneo untuk didiskusikan dalam pembelajaran Islam dan Budaya Borneo.

Penyebaran Islam dan identitas kebudayaan dalam sebuah tradisi adalah dua makna dari sekian khazanah yang diterapkan dalam institusi pendidikan Islam belakangan. Mengingat bahwa jaringan ulama Borneo sangat mempengaruhi pola perubahan wilayah daerah Kalimantan yang berasal dari setiap wilayah di Indonesia. Pergerakan ini mulai dilacak pada tahun 1559 melalui manuskrip tertua dalam aksara Jawi. Dalam manuskrip tersebut terdapat Surat dari Sultan Brunei untuk Gubernur Manila don Francisco Tello yang diterima pada 27 Juli 1559 yang disertai terjemahan Spanyol. Surat tersebutpun dikirim bersamaan dengan kado politik dan pesan “jangan diaibkan, upama bunga setangkaui jua adanya”.

Selain itu, jaringan Borneo yang meluas di pulau Samudra Hindia muncul pada tahun 1710-1812 dalam sejarah Muhammad Arshad al-Banjari yang di tunjang oleh Sultan Banjarmasin Tahlil Allah pada tahun 1700-45 sekaligus calon mertua. Al-Banjari belajar di Arab dan Mesir selama 35 tahun dari 1740an. Kemudian tahun 1772-73 pulang ke Nusantara, meluruskan arah kiblat di Batavia. Setelah itu mempopulerkan tarekat Samaniyah dan nalar Sufisme Rasional yang menjadi rujukan di Al-Azhar Kairo dan Haramyn. Egi juga mengungkapkan bahwa pada tahun 1779, tinta dan al-Qur’an yang ditulis tangan oleh Sheikh Arshad Al-Banjari sangat modern dan jelas terlihat. Ini menggambarkan bahwasahnya para ulama Nusantara sangat telaten dan teliti dalam menuliskan manuskrip Arab untuk dijadikan pengetahuan di masa depan.

Namun, yang diherankan menurut Egi pertengahan tahun 1800s-1900s seorang ulama kelahiran Pontianak yaitu Sheikh Uthman Shihab ad-Din, kitabnya ditemukan di daerah Malaysia dan Thailand. Jarang orang-orang membacanya di Kalimantan Barat, terutama di Pontianak. Karya-karyanya ditulis di Mekah dan Taif antara pada tahun 1887 sampai 1906 yaitu di Mekah (Al-Miriya), Kairo (Mustafa al-Babi Al Halabi), dan kini diproduksi di Kuala Lumpur (Khazanah Fathaniyah). Karya para ulama Borneo yang terekam dalam tradisi manuskrip Borneo juga dilacak pada tahun 1885-1976, yaitu Muhammad Basiuni Imran dari Sambas. Dia diketahui telah belajar lima tahun di Mekah pada tahun 1901-1906, termasuk ke Sheikh Uthman, Basiuni Imran pulanh ke Sambas. Serta melahirkan karya seperti manuskrip karya Tafsir, fikih, sirah, akidah, adab dan Tarikh tashri’. Walaupun demikian, menurut Egi adanya jaringan Islam Borneo dan desentralisasi Islam Jawa. Egi beragumentasi bahwa “keterlibatan intelektual lokal di Borneo tampaknya bersifat incidental ketimpang struktural- jika dibandingkan dengan perkembangan di Jawa dan Sumatera.

Hubungan Borneo dan Samudra Hindia     (Dok)

Namun, apa hubungan Borneo dan Samudra Hindia. Disini Egi mengarahkan mahasiswa untuk melihat peta dunia yang terdiri dari Pesisir Afrika Timur, Arab, India, dan Kepulauan Indo-Malaya, tetapi kenapa kepulauan Kalimantan tidak ada disitu. Dalam kajian orientalis pada masa kolonialisme, peta dunia dibuat oleh orang-orang Barat, yang mana tidak menampilkan Kalimantan sebagai pengakuan dunia. Secara hubungan, ulama-ulama Kalimantan dilacak melalui manuskrip bahwa ada hubungan antara jaringan Arab yang merantau ke Borneo. Sehingga jaringan tersebut memperluas penyebaran Islam pada abad ke 15, 16, dan ke 17.

Jika dilihat di peta, orang-orang Borneo memiliki jaringan yang begitu luas. Termasuk jaringan pada kerajaan Nusantara. Mereka membentuk sebuah pola jaringan yang terhubung dengan Samudra Hindia melingkari dari selat Malaka, Persia dan Arab. Mengingat bahwa, jalur sungai merupakan jalur perantaun ulama Muslim dalam mengenalkan Islam di setiap daerah. Termasuk para Ulama Yaman yang merantau ke Nusantara dalam misi peradaban Islam. Selain itu menurut Egi untuk melacak peradaban tersebut dapat dilihat dari Manuskrip dari perjalanan jaringan para ulama.
Inilah yang menjadi perdebatan serius, banyak pertanyaan dari Mahasiswa terhadap perkembangan manuskrip di Borneo yang menjadi landasan pengetahuan orang-orang Kalimantan. Beberapa diantaranya Muhammad Dezarino Zeffirelly Febrian kelas PAI E/1 dan Tri Ratna Sari dari tadris Matematika 3A, yang sama-sama bertanya tentang “Mengapa orang-orang dahulu menggunakan Aksara Arab sebagai sebuah pesan/tulisan, Havizh Rasyied PAI 1B yang menanyakan apakah mungkin Aksara Arab dapat dimanipulasi dalam pesan manuskrip? Serta Maulana Iqbal dari PAIF yang penasaran mengapa kitab syekh Usman tidak di pelajari di Indonesia malah di pelajari di Kuala lumpur? Setelah pertanyaan-pertanyaan terjawab, sesi diskusi semakin menarik. Tidak kalah pentingnya, dosen PAI Islam dan Budaya Borneo yaitu pak Bibi Suprianto juga mendiskusikan bahwa pada abad ke 15, 16 dan 17, mulai adanya Islam dan identitas Melayu di Kalimantan. Dengan waktu yang begitu singkat, perkuliahanpun ditutup dengan sesi dokumentasi dan evaluasi pembelajaran.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *