AHAD (Bukan Perbuatan)

AHAD (Bukan Perbuatan)

Oleh: Ma’ruf Zahran Sabran

Orang yang beragama di tingkat af’al (semua) perbuatan Tuhan, artinya beragama di derajat syariat. Orang yang beragama di tingkat asma’ (nama) Tuhan, artinya sudah berada di derajat thariqat. Atau asma Allah wajib mengantarkan kepada Ahad. Beragama di tingkat sifat Tuhan artinya telah duduk pada martabat hakikat. Sedang beragama di tingkat dzat, menandakan seseorang duduk pada maqam makrifat. Keempat thabaqat (tingkatan) ini, belum tersampaikan kepada Ahad.

Ahad, bukan pembuktian di awal, tengah, dan akhir. Iman yang dapat mencapai Ahad, sudah tercapai diam sajalah, sebab tidak ada lagi yang dibicarakan. Bila Ahad dibicarakan pasti dianggap salah, apalagi didiskusikan. Kepercayaan bangsa Arab dan bangsa-bangsa di dunia, sudah menjadikan Allah sebagai Tuhan. Allah merupakan nama yang tua yang pernah dan akan dipakai manusia untuk mewakili sosok yang agung. Allah juga dipahami pencipta, pengasuh, pemelihara alam semesta. Semua yang ada adalah ciptaan-Nya.

Buktinya, orang-orang kafir Mekah dahulu, sekali-pun mereka menyembah berhala, namun ketika ditanya, perbuatan siapakah yang menciptakan langit dan bumi. Pasti, mereka menjawab Allah. Siapakah yang menurunkan hujan dari langit, mereka pasti menjawab Allah.

Lalu, mengapa mereka bisa dipalingkan dari kebenaran. Ingatkah, peristiwa Musa dan Khidir menunjukkan bahwa Khidir (Balya bin Malkan Khidir Abul Abbas) berada di tingkat hakikat. Seperti membunuh anak laki-laki, membangun rumah dan merusak kapal, semua itu pandangan hakikat. Perbuatan Khidir Balya bin Mulkan Abul Abas selalu diprotes oleh Musa (syariat).

Ahad, bukan untuk dibantah lagi. Meski bagaimana cara membantah-Nya, Dia tak terbantahkan. Dia tidak pernah mengeluarkan perintah, dan Dia tidak pernah mengeluarkan larangan. Capaian gelar ilmu pengetahuan tertinggi manapun di dunia, tidak mampu mengimani Ahad, kecuali hidayah. Justru para pemuka agama, pemangku jabatan, pengampu ilmu pengetahuan, kebanyakan dari mereka tidak beriman, menolak Ahad. Berulang kali dalam kitab suci disebutkan bantahan dari orang-orang terkemuka, ” waqalal mala’ulladzina kafaru … ” Mereka yang menolak kenabian Nuh, Hud, Luth, Saleh, Ibrahim.

Semua amaliyah perkataan, perbuatan dan hati tidak tergusur oleh Ahad. Justru imaniyah, amaliyah, ihsaniyah memperkukuh ahadiyah. Bukan bertolakbelakang. Sebab, tolok-ukur syariat adalah hakikat, tolok-ukur hakikat adalah makrifat, tolok-ukur makrifat adalah ahadiyat. Ini bukan persoalan ilmu pengetahuan, tetapi diatasnya, itu bukan persoalan logika, namun diatasnya. Bukan isim (nama), bukan sifat, bukan perbuatan (kerja), bukan zat. Kalau nama, Dia bisa hapus, kalau sifat, Dia bisa pupus. Kalau perbuatan, Dia bisa hilang, kalau zat, Dia cair, padat dan menguap. Tuhan tidak bersama Allah, dan Allah tidak bersama Tuhan. Ternyata, Allah adalah isim (nama) yang telah dikenal setua bumi dan langit (Yahudi, Nasrani, Majusi, Shabi’in) bahkan sebelum-nya. Firman Tuhan: “Dan ketika engkau (Muhammad) bertanya kepada mereka, siapakah yang menciptakan langit dan bumi, serta menundukkan matahari dan bulan? Pasti mereka menjawab: Allah. Maka, mengapa mereka bisa dipalingkan (dari kebenaran).” (Al-ankabut:61).

Ahad, sulit dipahami dan payah untuk diimani saat manusia menuntut bukti. Bukti apakah yang wajib dihadirkan ketika Muhammad diminta, bacalah! Muhammad menjawab, apa yang mau dibaca! Lazimnya, membaca ada tulisannya, buku, majalah, lembaran, literasi, orasi, teks. Ahad memang tidak bisa dibaca, Dia bukan orasi ilmiah, atau buku berjilid-jilid, Ahad bukan gelar, sehingga Ahad tidak bisa dicecar.

Layaqulunnallah, pasti mereka menjawab “Allah”, lalu, mengapa mereka bisa dipalingkan dari kebenaran (fa-anna yu’fakun). “Apabila ditanya kepada mereka, siapakah yang selalu menurunkan air hujan dari langit, dengan air hujan Dia menghidupkan bumi setelah matinya. Pasti mereka menjawab Allah. Katakan (Muhammad), segala puji bagi Allah, tetapi kebanyakan mereka tidak mengerti.” (An-naml:63). Apa yang disebut menciptakan langit dan bumi, menundukkan matahari dan bulan, menurunkan air hujan, menumbuhkan tanaman, mengarak awan yang bersiklus (sahabats-tsiqal), semua itu adalah perbuatan (af’al) Allah SWT.

Bila iman mereka sebatas af’al (perbuatan Allah). Niscaya, dengan alasan perbuatan Allah pula mereka mempersekutukan-Nya saat mereka naik kapal. “Maka apabila mereka naik kapal, mereka berdoa kepada Allah dengan penuh keikhlasan beragama. Tetapi ketika Allah menyelamatkan mereka sampai ke darat, bahkan mereka kembali mempersekutukan Allah.” (Al-ankabut:65). Maksudnya, mereka meyakini Allah, Tuhan yang ada di laut, sehingga mereka berdoa. Dan mereka tidak meyakini ada Tuhan di darat, sehingga mereka kembali mempersekutukan Allah. Allah sanggup mereka persekutukan, apakah sanggup mereka mempersekutukan Ahad? Demikian Allah gambarkan watak asli mereka, kaum yang mempersekutukan Allah (musyrikun).

Allah bukan Tuhan, Tuhan bukan Allah, keduanya tidak pernah bersama. Allah adalah ismul adham (nama yang agung), Rabb (Tuhan) diyakini berdimensi sifat. Membersamakan-Nya, tanda penyimpangan. Sebanyak lima kali, Allah bertanya, “a-ilahum-ma’allah,” apakah ada Tuhan bersama Allah? Ayat 60, 61, 62, 63, 64 dalam surah An-naml (27). Semua membongkar kedok kemusyrikan dari semua kalangan, ilmuwan, agamawan, negarawan, hartawan, bangsawan.Tidak berserikat Tuhan dengan Allah, tidak berserikat Allah dengan Tuhan, menjadi pertanyaan? “Bukankah Dia yang menciptakan langit dan bumi, lalu Dia menurunkan hujan dari langit untuk-mu. Lalu Kami tumbuhkan dengan air hujan, kebun-kebun yang berpemandangan indah. Kamu tidak akan mampu menumbuhkan pohon-pohonnya. Apakah disamping (bersama) Ilah ada Allah.

Sebenarnya mereka adalah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran.” (Annaml:60). Kata Ilah (alif, lam, ha) adalah isim nakirah (tidak dikenal, asing), menjadi isim makrifah (dikenal) ketika dimasukkan huruf lam awal dari kata ilah, maka menjadi alif, lam, lam, ha (Allah). Ilah menjadi Allah. Lafal syahadat yaitu la ilaha illallah. Jika Ahad, memang tidak terbagi, dan tidak memiliki kata turunan (derivative). Wallahua’lam.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *