BERAGAMA FITRAH TANPA LELAH

Oleh: Ma’ruf Zahran Sabran

Allah menghendaki kemudahan bagi-mu, Dia tidak menghendaki kesulitan bagi-mu (baca Al-Baqarah:184, 185). Jika belum mencapai derajat, maqam (posisi) tauhid, seseorang pasti takut dan gusar menghadapi area kehidupan. Takut kepada masa depan, gusar terhadap masa lalu. Jangan-kan manusia biasa, para utusan Tuhan kadang takut. Misalnya, Musa, Tuhan berfirman: Ya Musa, la takhaf (wahai Musa, jangan takut). Pergi dan temui Fir’aun yang sombong. Mudahan hati-nya lunak menerima hidayah (petunjuk). Juga dikatakan kepada Harun dan Musa (keduanya adalah utusan Tuhan): La takhafa (jangan kalian berdua takut), Allah bersama kalian. Sungguh, para utusan Tuhan tidak pernah takut. Atau, saat Tuhan mewahyukan kepada Ibu Musa, susukanlah bayimu (wa auha ila ummi Musa, an ‘ardhi’ih), jangan takut wahai ibu Musa, dan jangan bersedih (la takhafiy wala tahzaniy). Kisah Musa, sudah banyak direkom Tuhan pada surah Al-Qasas (28).

Ibrahim, Ismail, Ishak, Ya’kub, Yusuf, Ayub, Syuaib, Musa, Isa putera Maryam adalah hamba yang mau mendengar suara Tuhan. Tuhan berkalam: “Untuk orang-orang yang memenuhi seruan Tuhan-nya, mereka mendapat pahala kebaikan. Dan orang-orang yang tidak memenuhi seruan Tuhan-nya, mereka tidak bisa menebus dirinya dari siksa neraka. Meskipun seluruh dunia menjadi miliknya dan ditambah sebanyak itu lagi. Mereka mendapat penilaian yang buruk, kediaman mereka adalah neraka Jahannam, sebagai sejahat-jahat tempat kembali.” (ArRa’du:18).

Betapa beragama fitrah bermakna beragama tanpa beban. Sesuatu dapat menjadi beban, ketika menganggap perintah sebagai kewajiban, dan menganggap larangan sebagai kesengsaraan atau menghambat hak kebebasan. Menduga bahwa melaksanakan kewajiban sebagai sebab yang berkesesuaian dengan akibat kebaikan (kesuksesan). Menduga bahwa dengan sebab menghindari larangan, niscaya berakibat kebaikan. Sedang melanggar perintah dan larangan merupakan akibat kehinaan (kegagalan). Keduanya (perintah dan larangan) bermain pada wilayah akal. Akal bertumpu pada napsu. Napsu menjadi kendaraan yang dibonceng Iblis.

Beragama masih menjadi beban, saat berpikir, insan yang lemah, namun masih ingin menjadikan bumi damai, keluarga sakinah, mawaddah warahmah, dan berkewajiban menjadikan anak yang saleh dan salehah. Setakat ini, telah ada tiga beban, beban bumi, beban keluarga, beban anak. Selama belum mengerti posisi sifat hamba dan Tuhan, masih terasa beragama merupakan beban berat yang dipikul. Belum lagi beban politik, beban ekonomi, beban sosial, beban pendidikan, beban kesehatan. Beban bisa bercorak tiga. Pertama, masa lalu yang disesali. Dua, masa sekarang yang dicurigai. Tiga, masa depan yang dicemasi.

Memahami sifat maut (mati) hakekat manusia, dan sifat Tuhan yang maha hidup (hayat). Lalu, dapat hidup karena dihidupkan-Nya, itulah jalan takwa (kepasrahan). Selama merasa diri masih sanggup tegak hidup, hakekat disini, diri telah mati (bangkai), disebut jalan fujur (kesombongan). Dua hal yang berbeda, samakah antara si-hidup dengan si-mati? Jelas berbeda. Samakah antara kecahayaan dan kegelapan? Samakah orang yang bertuhan dengan orang yang tidak bertuhan? Pasti jauh berbeda, berbeda tempat dan kedudukan. Samakah antara orang yang beriman dan orang yang tidak beriman?

Bagaimana perbedaan antara orang yang mendapat cahaya dan kecahayaan, dengan orang yang berada dalam gelap dan kegelapan, serta teknik untuk mendapatkan kecahayaan? “Dan apakah orang yang sudah mati, lalu Kami hidupkan, dan Kami beri dia cahaya. Dengan cahaya itu, dia berjalan di tengahtengah masyarakat. Adakah sama dengan orang yang berada dalam kegelapan? Sehingga dia tidak bisa keluar (dari kegelapan). Demikian dijadikan indah bagi orang-orang kafir terhadap apa yang mereka perbuat.” (Al-An’am:122).

Ayat ini menjelaskan tahap meraih cahaya adalah dengan kematikan diri. Lalu Allah hidupkan, dan Dia beri cahaya, cahaya hidayah, cahaya lailatul-qadar. Sangat jauh berbeda dengan orang-orang musyrik yang mempersekutuan-Nya dalam kegelapan, kebohongan, kebodohan. Demikian, beragama fitrah yang semata berserah-diri, tanpa bantahan. Cerdas dalam mendengarkan suara hati (fuadi). Sesungguhnya Allah ada diantara manusia dengan hatinya. Penuhilah seruan itu (Tuhan). Penuhilah panggilan itu (Tuhan). “Bila hamba-Ku, bertanya kepada-mu (Muhammad) tentang Aku. Sungguh Aku dekat, Aku mengabulkan doa mereka, tatkala mereka berdoa. Hendaklah mereka memenuhi panggilan-Ku dan percaya kepada-Ku. Mudahan mereka mendapat bimbingan.” (Al-Baqarah:186). Wallahua’lam

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *