DIMANA POSISI SALAT KITA? ISRA’ ATAU MI’RAJ

Oleh: Ma’ruf Zahran Sabran

Sebagian ilmuwan dan agamawan suka berdebat. Berdebat dalam rangka mencari kebenaran, sedang kebenaran bukan variabel tunggal. Kebenaran tunggal adalah tauhid. Lihat peristiwa segi tiga Sulaiman, jin Ifrit, dan ilmuwan. Bukan kecanggihan IT yang dipertimbangkan oleh Raja Sulaiman, melainkan tauhid!

Hari ini, agama sudah masuk pada ranah (ruang) debat. Mengingat dia merupakan doktrin yang terbuka. Gejala akhir zaman adalah setiap orang bisa berubah agama, dalam waktu singkat. Agama sekarang merupakan bagian item yang dites oleh penganut-nya sendiri. Sebab, setiap orang berhak untuk mempertanyakan keyakinan mereka. Setiap orang berhak menentukan nasibnya kelak di akhirat, surga atau neraka.

Berkat kemajuan IPTEK, iman dan takwa umat beragama ditinjau kembali (preview), diteliti ulang (research), guna mendapatkan kecerahan kehidupan (nora-nova). Disini, ajaran agama masuk pada wilayah sosial dan kawasan science. Banyak doktrin agama yang sudah dieliminasi oleh penganut-nya. Sebab perkembangan sejarah, agama sendiri lahir dari rahim hasil pembacaan dan pemikiran terhadap kitab suci. Dominasi abad pertengahan, telah sedikit-banyak mempengaruhi cara pandang pemeluk agama. Namun, setelah diteliti terdapat bagian-bagian politik dan budaya yang membingkai agama.

Tugas Muhammad adalah memurnikan kepercayaan, ketaatan, kepatuhan hanya kepada Allah saja. Bila selama ini perdebatan pada wilayah fikih, bahkan mengapa Tuhan “tidak mau dibarter” dengan Tuhan lain. Bukan semata perbedaan lafal niat, ruku’ dan sujud. Melainkan terdapat perbedaan yang signifikan dan prinsip tentang Tuhan. Tidak sekedar menyembah, sedang substansi (hakekat) yang disembah tidak dikenali. Atau dikenali hanya sekedar nama (isim) tentang-Nya.

Jika sama, maka Tuhan tidak menurunkan surah Al-Kafirun. Justru berbeda, bahwa kamu tidak menyembah apa yang aku sembah. Aku tidak menyembah apa yang kamu sembah. Pernyataan tersebut dibaca dua kali. Ditutup dengan ayat pemungkas, “lakum dinukum waliyadin” (untuk-mu agama-mu, untuk-ku agama-ku). Terang, sungguh sangat berbeda, wajib dibedakan dalam koridor ketuhanan. Sedangkan dalam koridor kemanusiaan, niscaya harus saling menghargai, menghormati. Dalam arti tidak memaksakan kehendak (satu keyakinan) kepada orang lain.

Indikator ibadah (salat), tidak sekedar rukun bacaan (qauliyah) dan rukun perbuatan (fi’liyah) saja. Akan tetapi diperhatikan juga rukun hati (qalbiyah). Kitab tasawuf lama mengatakan tiga rangkai utama amal yaitu qashad, ta’yin, ta’ara. Mengingat, salat mengandung dimensi isra’, dan mengandung dimensi mi’raj. Keduanya (isra’ dan mi’raj), sangat terkait dengan ruang dan waktu. Lebih berhubungan lagi dengan aspek lahir dan batin.

Mengkomunikasikan dan mendialog-kan antar perspektif mengenai salat, guna menemukanNya. Upaya pendakian rohani tetap dilakukan, sampai Tuhan sendiri yang menjelaskan diri-Nya. “Wa’bud rabbaka hatta ya’tiyakal yaqin” (sembahlah Tuhan-mu, sehingga datang kepada-mu masa yang yakin). (Al-Hijir:99).

Bila salat hanya sebatas isra’ (perjalanan di bumi), belum cukup bekal untuk mi’raj (perjalanan ke langit). Perlu, kesungguhan, bukan main-main. Malah menembus langit, menembus ketiadaan, fana alam.

Jadi, untuk dapat melalui isra’ dan sanggup melewati mi’raj, diantaranya adalah dengan jalan memaksimalkan potensi jasmani. Menerapkan fungsi mata untuk melihat, lalu memahami, kemudian aksi. Memfungsikan telinga guna mendengar, lalu memahami, mendalami dan aksi. Maksudnya, tidak cukup hanya melihat anak yatim, namun tidak mau membantu. Tidak sebatas mendengar derita Palestina, tetapi tidak mau menyokong perjuangan (jihad) mereka, minimal doa. Adapun memaksimalkan potensi rohani dengan mengasah fitrah berketuhanan yang maha esa (iman-tauhid). Wallahua’lam.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *