FENOMENA HIJRAH DI KALANGAN GENERASI MILENIAL

Oleh: Ma’ruf Zahran Sabran

Hijrah dalam arti berpindah merupakan tabiat alam (nature) sebagai ciri makhluk hidup. Bernapas, berpindah tempat, beranak-pinak, makan, minum, bertumbuh-kembang (berproses). Bila tidak, maknanya seseorang dinyatakan telah wafat. Dalam tinjauan sejarah, para utusan Tuhan beserta umat melakukan hijrah, dengan berbagai sebab.

Awalnya, sejak ayahmu Adam, dan bunda Hawa, Tuhan sudah memindahkan keduanya dari alam surga ke alam dunia (bumi). Kemudian, dibuat kehidupan di bumi layak untuk ditempati yang awalnya adalah bebatuan cadas, api yang menyembur, lempeng-lempeng baja yang berhamburan. Informasi kitab suci (Assajadah:4), selama enam milyar tahun (sittati ayyam), bumi adalah kawah-kawah panas yang berisi api, timah mendidih dan bebatuan. Barulah setelah bumi Dia kondisikan, dengan turun air hujan. Dengan air hujan itu, Dia menumbuhkan bumi setelah matinya (fa ahya bihil ardha ba’da mautiha).

Berlanjut dan berlangsung kehidupan di bumi yang sudah toleran dan berkesesuaian iklim, tanah, air, api, angin, pepohonan, biji-bijian, tumbuhan (flora), hewan (fauna), barulah Dia turunkan Adam dan Hawa ke muka bumi. “Keduanya digoda setan, keluarlah mereka berdua dari dalam surga, turun mereka ke bumi. Sebagian mereka (manusia) menjadi musuh bagi sebagian yang lain. Dan menempati bumi, serta menikmatinya sampai waktu yang dijanjikan.” (Albaqarah:36).

Hijrah berkelanjutan merupakan tradisi para Nabi, baik disebabkan oleh pengusiran kaumnya, maupun dalam upaya menyebarkan misi agama Tuhan. Idris berhijrah, Nuh berhijrah, dari dataran tinggi Golan (Palestina), berlabuh bahtera Nuh di bukit Judi (India).

Hijrah juga dilakukan oleh Ibrahim, dari Irak (Mesopotamia) menuju Palestina. Dari Palestina berhijrah ke lembah Bakkah (Mekah) bersama Hajar dan bayi Ismail. Ibrahim, dari Mekah kembali lagi ke Palestina, menemui Sarah, dan bayi Ishak. Ya’qub juga berhijrah dari bumi Palestina menuju bumi Mesir. Berbeda dengan Musa dan kaum-nya, keluar dari negeri Mesir menuju tanah suci Palestina (baitul-muqaddas). Bukankah firman Tuhan menyatakan: Wahai Musa, bawalah hamba-hambaKu keluar dari bumi Mesir pada waktu tengah malam. Setelah peristiwa syahid tujuh mantan penyihir Fir’aun yang wafat dalam keimanan. Mengimani Tuhan Harun dan Musa. Demikian pula, Muhammad kelahiran Mekah dan kewafatan Madinah, baginda telah menampakkan indikator hijrah pada diri-nya. Hijrah yang diperintah menjadi ikutan dan panutan umat. Bila ini sudah konsensus alur kehidupan, niscaya hijrah menjadi penting. Hikmah hijrah, disamping asimilasi, akulturasi generasi milenial, sangat memungkinkan terbuka wilayah baru, dikarenakan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK), juga menemukan tempat yang subur bagi kehidupan. Prototipe yang dijanjikan Allah untuk generasi milenial masa depan (2000-3000 Masehi). Kelahiran generasi pengganti dan pemenuhan janji-Nya dengan ciri-ciri yang sangat jelas.

Kitab suci ini tidak hanya berbicara generasi masa lalu, tetapi juga generasi masa sekarang dan generasi masa akan datang. Dia tidak hanya sekadar bicara Yusuf masa lalu, namun ikut berbicara Yusuf milenial yang hidup hari ini. Bagaimana pergolakan cinta terlarang, kebenaran iman berpihak kepada Yusuf, tetapi Yusuf terlempar dari istana ke penjara. Di penjara, dia menemukan Tuhan yang sebenarnya. “Wahai kedua sahabat penghuni penjara, manakah yang lebih baik, Tuhan yang bermacam-macam itu, atau Tuhan yang maha esa lagi maha gagah? Apa yang kamu sembah selain Dia, kecuali nama-nama yang kamu namakan.” (Yusuf:39-40).

Selanjutnya, Tuhan jelaskan penciri generasi pengganti adalah kasih sayang. Dalam kalam kudus-Nya: “Wahai orang-orang yang beriman! Siapa diantara kamu yang murtad, kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum. Dia (Allah) mencintai mereka, dan mereka-pun mencintai-Nya. Lemah lembut terhadap orang yang beriman, tegas terhadap keingkaran. Berjuang di jalan Allah dan tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia yang Dia berikan kepada siapa yang Dia kehendaki. Allah maha luas (karunia-Nya), maha mengetahui (segala sesuatu). Sesungguhnya penolongmu hanya Allah, Rasul-Nya, dan orang- orang beriman. Mereka orang-orang yang mendirikan salat, menunaikan zakat, dan mereka orang-orang yang tunduk.” (Almaidah:54-55).

Seleksi generasi milenial akan selalu dites sebagai sifat zaman (sunnatullah). Namun, kadang kedatangan nikmat tanpa diduga, dan ketibaan bala’ tanpa mampu dicegah..Sesungguhnya waktu itu (kiamat) sangat tiba-tiba (innassa’ata baghtah).

Fenomena hijrah di kalangan generasi milenial bukan saja pada atribut mengganti isu neraca dengan istilah mizan, jalan dengan thariq, aku dengan ana, kamu dengan antum, saudara dengan akhi, pertemuan dengan liqa’. Perpindahan istilah itu hanya hijrah feriferal (makna pinggiran), belum esensial (makna inti). Makna inti dari hijrah adalah tauhid. Maksudnya, hijrah dari syirik kepada tauhid. Kalimat tauhid adalah la ilaha illallah (tiada Tuhan kecuali Allah). Karena takut kepada Allah yang memiliki kerajaan langit dan bumi. Dia yang menundukkan malam dan siang. Dia yang menundukkan kapal yang berlayar di tengah laut. Dia yang mengganti malam menjadi siang, dan mengganti siang menjadi malam. Siapa yang telah Dia beri petunjuk, maka sungguh tiada satupun yang mampu menyesatkan-nya. Dan siapa yang Dia sesatkan, maka tidak ada seorangpun yang mampu memberi petunjuk. Beribadah kepadaNya dengan setulus hati. Jangan mempersekutukan-Nya.

Kalimat tauhid yang dimaknai tidak ada Tuhan kami, selain Dia (malana rabbun siwah). Tidak ada yang disembah selain Dia. Maknanya, generasi milenial yang bertakwa memandang baik kepada ciptaan Allah, dan senantiasa berbaik sangka terhadap yang datang dari sisi Allah. Lalu, adakah sesuatu yang tidak datang dari sisi-Nya? Hijrah generasi milenial terfokus pada kebaikan (khair) dari Allah dan untuk Allah. Sebab, negeri akhirat lebih baik dan lebih kekal (khair wa abqa) dari pada dunia. Dan sebaik- baik tempat kembali adalah surga (jannat jamak dari jannah). Surga-surga Aden yang mereka masuki, mengalir sungai-sungai dibawahnya. Di surga mereka mendapat apa yang mereka  minta. Demikian Allah memberi balasan untuk orang-orang yang bertakwa.” (Annahl:31).

Jadi, kematian yang baik (husnul-khatimah) adalah visual kehidupan yang baik. Kehidupan yang baik akan menjadi visual kematian yang baik. Berkalam Imam Ahmad Ibnu Athaillah (wafat: Mesir, 709 Hijrah), generasi terbaik mereka adalah yang mengenal Allah sejak awal (asyraqat bidayatuhu-asyraqat nihayatuhu). Terbit cahaya diawal-terbit cahaya di akhir. Wallahu a’lam.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *