HADIRI SALAT JUMAT DENGAN HAKEKAT SELAWAT

Oleh: Ma’ruf Zahran Sabran

Momen salat jumat berisi kebaruan iman, kebaruan selawat dan taubat. Maknanya, dari jumat ke jumat merupakan area pengampunan dosa dan peningkatan derajat. Basisnya adalah iman. Fluktuasi iman pasti dirasakan oleh semua orang. Terlebih pada saat sekarang ini, ditengah goncangan (resesi) ekonomi, akibat perang yang berdampak global.

Garansi (jaminan) yang ditawarkan Tuhan bagi mereka yang bersungguh-sungguh adalah ampunan dari ibadah ke ibadah, dari salat ke salat, dari jumat ke jumat, dari ramadan ke ramadan. Asal mereka tidak mempersekutukan Allah, dan tidak menyembah selain Dia.

Salat jumat memiliki dua suku kata. Salat secara bahasa (shalah) artinya sambungan, hubungan. Dari arti hubungan terisyarat makna doa. Doa adalah hubungan permintaan dari bawah (hamba) ke atas (Tuhan). Pemaknaan tersebut dapat mengantar kepada pemahaman satu arah. Dari bawah ke atas (button-up), benarkah? Terkesan salat merupakan aktivitas yang tidak berespon. Lalu, bagaimana hubungan dari atas ke bawah (top-down)? Bila kedua hubungan harus terjalin, dua entitas tersebut perlu untuk pertama kali dikenali. Akhirnya saling mengenal, meski masih terdapat dua wujud, belum esa, belum tauhid.

Prosesi selawat jangan dianggap nyanyian, apalagi bentuk klosal yang terkesan mewah dengan honorarium yang pantastis. Pantas, niat selawat kolosal yang buruk akan mendatangkan hukum Tuhan (‘uqubat). Dan jauh dari ganjaran pahala (tsawabat) dari-Nya.

Mungkin ibadah yang nafsi-nafsi akan lebih banyak memberikan maslahat kepada sesama. Ibadah yang baik terpancar dari dalam diri, untuk ke luar diri. Salat dari dalam diri (hakekat), lalu terbit ke luar diri (syariat). Zakat, puasa, haji, umrah demikian juga. Tidak dari luar diri, bila dari luar diri artinya mudah terkontaminasi oleh radikal bebas. Maksud radikal bebas dalam amal adalah riya'(ingin dilihat), sum’ah (ingin didengar), ‘ujub (bangga diri), takabbur (sombong). Baik sombong karena nasab keturunan, maupun sanad keilmuan.

“Sungguh pada kisah-kisah mereka itu, terdapat pelajaran (‘ibrah) bagi orang-orang yang berakal (ulul albab). (Alquran) bukan kisah yang dibuat-buat. Tetapi membenarkan yang sebelumnya (Zabur, Taurat, Injil). Dan (Alquran) menjelaskan segala sesuatu, sebagai petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang beriman.” (Yusuf:111). Metode kisah merupakan cara pewarisan tradisi dan nilai luhur para utusan Tuhan. Terus digali, guna mendapatkan hikmah dari kisah mereka.

Menghadirkan salat jumat dengan hakekat selawat bermakna selawat qauliyah, fi’liyah, qalbiyah. Narasi pertama, selawat qauliyah yang terucap perlu selain sebagai syiar, dapat memperkuat hati. Selawat qauliyah juga bermakna menceritakan, mengisahkan kehidupan mulia sang Rasul.

Narasi kedua, selawat fi’liyah (perbuatan). Perbuatan Rasulullah yang wajib diteladani. “Sungguh benar, pada diri Rasulullah terdapat suri-tauladan yang baik. Untuk mereka yang mengharap rahmat Allah (perjumpaan dengan-Nya), dan beriman kepada hari akhir dengan banyak mengingat Allah.” (Al-Ahzab:21). Perilaku Rasulullah yang dicontoh adalah sifat mulia baginda. Shiddiq (jujur), amanah (dapat dipercaya), tabligh (komunikatif), fathanah (brilliant). Terlebih, tahun-tahun hadapan adalah perang bintang (star-war). Atau, perang radar lewat target (sasaran) melalui sinkronus sidik jari. Canggih, perang akhir zaman. Namun, perang akhir zaman tidak sekadar perang di media sosial, tidak sebatas lewat youtube, instagram. Perang a-simetris, perang yang musuh tidak diketahui keberadaan mereka. Pencurian data sama dengan kejahatan besar abad ini. Dan, kejahatan transaksional sudah terjadi secara digital (cyber-crime).

Narasi ketiga, selawat qalbiyah (berpusat di hati). Hati yang berselawat adalah hati Muhammad Rasulullah yang selalu mengesakan Allah. ” … fajtanibur-rijsa minal autsani,” jauhilah oleh kamu (penyembahan) terhadap berhala-berhala yang najis. “Wajtanibu qaulaz-zur,” jauhilah oleh kamu perkataan (sumpah) palsu. (Al-Haj:30).

Mimbar khutbah jumat secara normatif bukan sebagai pentas politik. Tetapi bertugas amar ma’ruf nahi mungkar, pembacaan firman dan sabda, pengajaran kitab dan sunnah, pembersihan hati, mengajak manusia ke jalan Allah dengan hikmah (bijak), layyinah (lembut), hilmah (santun), ahsanah (baik).

Selawat adalah suruhan Dia, dan Dia sendiri sudah berselawat kepada utusan-Nya. Bentuk selawat adalah Dia berikan Nur-Nya kepada Muhammad, tidak kepada Adam, Idris, Nuh, Hud, Lut, Saleh, Ibrahim, sampai Isa putera Maryam. Nur tidak Dia berikan kepada Jibril, Mikail, Izrail, Israfil. Tidak pula Dia berikan kepada bangsa jin.

Kecuali itu, mereka berselawat kepada Muhammad Rasulullah, Muhammad Habibullah, Nur Muhammad. Syahadat mereka, umat terdahulu meyakini Muhammad Rasulullah, Asyhadu alla ilaha illallah, Muhammad Rasulullah, Isa Rasulullah, ruhullah. Keniscayaan iman kepada Allah adalah keimanan kepada Rasul yang sezaman dengan mereka, dan keimanan kepada Nur Muhammad Rasulullah pada semua umat di setiap ruang dan waktu (beda zaman). Demikian pula umat Nabi Adam. Asyhadu alla ilaha illallah, Muhammad Rasulullah, Adam Rasulullah, Adam shafiyullah. Idris, Nuh, Hud, Lut dan seterusnya. Rekomendasi ini telah Dia catat dalam firman: “Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya berselawat untuk Nabi (Muhammad). Wahai orang-orang yang beriman, berselawatlah kamu semua dan bersalamlah untuk-nya.” (AlAhzab:56). Perhatikan redaksi ayatnya, bukan saja umat-nya yang suruh berselawat kepada Rasulullah Muhammad, namun juga orang-orang yang beriman! Bukankah, orang-orang yang beriman sejak dahulu kala, sejak Nabi Adam dan istrinya di surga.

Spektakuler, kolosal selawat sejak dahulu, bukan baru-baru booming. Maka sering disebut kitab suci dengan istilah: “Dan orang-orang sebelum kamu, mereka beriman kepada Allah dan Rasul-Nya.” Dalam redaksi lain: “Mereka beriman kepada kitab suci yang diturunkan kepada-mu, dan kitab suci yang diturunkan sebelum mu. Dan mereka yakin kepada hari akhirat.” (Al-Baqarah:4). Bukti kitab suci, bahwa mereka mengimani hakekat selawat Nur Muhammad. Bisakah ini didustakan? Jika didustakan, ingkarlah mereka terhadap risalah yang dibawa Nuh, Hud, Lut, Saleh, Ibrahim, Ismail, Ishak, Ya’qub, Yusuf, Ayub, Syuaib, Musa, sampai Isa putera Maryam dan Muhammad putera Abdullah. Mereka mengatakan Alquran tiada lain, kecuali dongeng orang-orang terdahulu (illa asathirul awwalin). Artinya, mereka mendustakan Allah,Nur Rasulullah, mendustakan semua para utusan, mendustakan empat kitab suci, mengingkari hari akhirat, mengingkari takdir.

Salat dan selawat merupakan dua kondisi yang tak terpisahkan. Konsensus keduanya menjadi janji (komitmen) semua kitab suci. Terhimpun didalam khutbah jumat dengan rukun (lima) yang wajib dipenuhi. Hamdalah, syahadat, selawat, pesan (wasiat) takwa, doa untuk kaum muslimin dan muslimat. Lima rukun harus terbaca, bila tidak, tidak sah khutbah-nya. Tidak boleh pesan takwa dengan mengandalkan kemajuan mazhab dan kelompok-nya. Seperti mimbar jumat digunakan untuk promosi paham Wahabi, paham Khilafah Islamiyah, paham radikalisme, terorisme, dan paham-paham lain. Kemurnian pesan khutbah jumat beralih menjadi ajang polemik. Polemik dalam berpolitik keagamaan dan kebangsaan. Khilafiyah (perdebatan) sudah memancing retak, rapuh dan hancur-nya sendi-sendi beragama dan merenggang-nya ruas ukhuwah islamiyah.

Sebab, terdapat khatib yang dengan sengaja membenturkan agama dengan negara. Niat yang tidak baik, meracuni generasi muda dengan doktrin anti pemerintah. Membenturkan mazhab dengan mazhab, terjadilah silang-sengketa dalam rumah tangga dan masyarakat. Ajang seperti ini, tentu tidak sehat. Maka, ciri akhir zaman adalah umat sering berdebat tentang agama. Tidak sekadar berdebat saja, tetapi sudah menjurus ke arah destruktif dan agitatif. “Tidak ada yang mereka nantikan, kecuali suara teriakan (kiamat). Ketika mereka sedang berbantahan.” (Yasin:49). Wallahua’lam

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *