KESANTUNAN BERBAHASA LISAN DAN TULISAN

Oleh: Ma’ruf Zahran Sabran

Sudah disadari bersama, bahwa setiap ucapan yang berlisan pasti berefek. Setiap pena yang bertulisan pasti berdampak. Setiap laku perbuatan pasti berbekas. Berefek, berdampak, berbekas bagi pribadi dan orang lain. Sebab bahasa berfungsi sebagai pengantar (medium) antara penulis dan pembaca, pembicara dan pendengar. Lebih jauh dari itu, Tuhan maha mengetahui apa yang tersembunyi di dalam hati (innallaha ‘alim bidzatish-shudur).

Mengukur sejauhmana pandangan dunia-mu, ukur dengan sejauhmana budaya bahasa yang kamu miliki. Adagium tersebut ada benar-nya. Contoh, rahasia orang Inggris akan terbuka, saat kita menguasai bahasa mereka. Rahasia kitab suci akan terbongkar saat mengusai bahasa pengantar-nya. Alquran ditulis dengan menggunakan bahasa Arab. Injil ditulis dan disampaikan dalam bahasa Ibrani.

Artinya, memasuki wilayah agama, bermula dengan bacalah kitab-nya. Tidak sebatas dibaca, namun wajib dipahami. Sama ketika mengenal identitas suku Melayu, kenali dan ikuti budaya mereka. Sebagaimana Muhammad diutus dengan bahasa kaumnya (bahasa ibu). Demikian pula Nuh, Hud, Lut, Saleh, Ibrahim, Musa, Zakaria, Yahya, Isa.

Dalam kondisi apapun, bahasa santun yang wajib diujarkan, bahasa lisan atau tulisan. Sebab, manusia adalah makhluk yang saling mempengaruhi. Dalam perilaku seseorang dapat menggambarkan dari mana dia datang, apa yang menjadi tujuan, dan kemana dia akan pulang. Karena itu, seluruh tindakan seseorang didasari oleh kesadaran dan kewarasan. Kecuali orang gila sampai dia sembuh, anak-anak sampai dia dewasa, orang tidur sampai dia bangun. Demikian sabda Nabi tentang tiga keadaan yang tidak terkena hukum, diangkat pena (rufi’al qalam ‘an tsalats).

Kriminalitas (kejahatan) pasti berawal dari ucapan mulut yang lepas kontrol. Banyak buku-buku Akhlak yang mengupas tema bahasa lisan. Sebab lidah yang lembut, kecil, berakibat petaka yang besar. Lidah yang tidak terkontrol berawal dari pikiran yang tidak terkontrol. Pikiran yang tidak terkontrol merupakan gambaran hati yang rusak (qalbun-saqim). Kata-kata yang sudah lepas dari sangkar, sungguh kata-kata tersebut sudah menjadi milik orang lain. Mungkin puluhan tahun, mungkin ratusan tahun, mungkin terbawa sampai ke akhirat. Pepatah mengatakan, kalau pedang lukai tubuh, masih-kan ada harapan sembuh. Kalau lidah lukai hati, kemana obat-kan dicari. Pepatah tersebut mengandung nasehat, hati-hati bila bicara!

Kekuatan ujaran lisan dan tulisan mampu menumbangkan Kekaisaran Romawi di belahan dunia barat dan mampu mengikis habis Kisra Persia dan semua suku Sasania di timur. Kekuatan kata-kata bisa menghidupkan orang yang telah mati, dan mematikan orang hidup. Dengan satu bicara, malam mengikuti perintah-Nya, masuk ke dalam siang (kun fayakun). Siang masuk ke dalam malam (kun fayakun). Dengan satu kalam, manusia beterbangan seperti anai-anai, gunung berhamburan seperti kapas, semua sebab ucapan (firman). Dengan kalam- Nya, siapa yang berat timbangan amal kebaikannya, dia akan berada dalam kehidupan yang diridhai (surga). Dan siapa yang ringan timbangan amal kebaikannya, dia akan dilemparkan ke Hawiyah. Tahukah kamu, apakah dia? (Hawiyah) adalah api neraka yang sangat panas. Artinya, amar (perintah) adalah kalam (perkataan), dan nahi (larangan) adalah kalam (perkataan). Hati-hati dengan kalam, hati-hati berbicara. Akibat pembicaraan, ujaran, bisa mengantar ke surga, dan bisa menyeret ke neraka.

Bukan-kah dengan ucapan menandai kualitas seseorang dihadapan Tuhannya. Ucapan menentukan posisi muslim, mukmin, muttakin. Ucapan memastikan posisi, munafik atau musyrik. Di atas segala kalam, kalam-Nya yang maha mulia, suci dan diikuti makhluk. Kalam Allah yang tidak dapat dibantah. Bahkan sabda Nabi adalah wahyu yang diwahyukan. Alquran sangat dahsyat, dalam perintah menundukkan gunung-gunung supaya berjalan, memecah langit, sehingga berkeping-keping, memporak-porandakan bumi sehingga guncang (gempa). Lihatlah firman-Nya: “Dan kalau ada bacaan yang dengan itu, gunung-gunung terguncang, bumi terbelah, atau orang yang telah mati sanggup berbicara, itulah Alquran.” (Arra’du;31).

Media lisan sangat penting dalam dialog Tuhan dengan manusia, manusia dengan
zaman. Istilah mendustakan, memercayai, mengolok-olok, menyudutkan, menghalangi, menghalalkan, mengharamkan, merekayasa, merencanakan, meneguhkan, membatalkan adalah sedikit dari fungsi-fungsi pembicaraan. Namun jangan dianggap sepele, justru dari ucapan tersebut, manusia dapat dipenjara dan dapat bebas. Maka, ciri orang-orang munafik berada di seputar lisan mereka yang jahat. Bila bicara, dia dusta. Bila berjanji, dia ingkar. Bila memegang amanah, dia khianat. Imam Muslim (perawi Hadis) menambahkan, bila berdebat, dia tidak mau kalah.

Seluruh isi kitab suci adalah kalam. Qala, nada, sauta adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan isi pembicaraan. Sayang tulus Tuhan ungkap dengan kata-kata. Kasih- Nya, Dia sampaikan dengan firman. Cinta-Nya melalui sabda. Apakah belum juga terenyuh hati untuk memenuhi seruan-Nya. Betapa banyak orang-orang terdahulu yang diberi kesempatan berupa umur panjang. Ketahuilah, masa yang panjang tidak dapat menebus setitik iman. Sebab iman adalah kasih dari-Nya, ampunan, petunjuk, ridha, dan kabar gembira.

Opini ini ditulis untuk mengajak pembaca memikirkan dialog yang diusung kitab suci. Alquran tiada lain, kecuali dia berbicara kepada hati yang hidup, bukan kepada hati yang mati. Dia menceritakan bapak Adam dan ibu Hawa saat terjatuh ke dunia. Keduanya bertaubat, Tuhan kami, ampuni kami, kami telah menganiaya diri kami (kami telah diperdaya oleh kata-kata manis dari Iblis). Jika Engkau tidak mengampuni kami, tidak menyayangi kami, pastibsungguh kami termasuk orang-orang yang merugi (baca Al-A’raf:23). Difirmankan (ayat 24-25): “Turunlah kamu berdua dari surga, kamu saling bermusuhan satu sama lain. Bumi tempat kediaman, dan Kami berikan kesenangan sampai waktu yang ditentukan. Di sana kamu hidup, di sana kamu mati, di sana kamu dibangkitkan.” Hari ini, sungguh manusia kaya dengan pembicaraan digital, youtube, pacebook, instagram, twitter. Digunakan untuk kepentingan apa media digital tersebut? Hampir nilai kesantunan berbahasa mulai tergeser. Wallahu a’lam.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *