KETAATAN DAN KEINGKARAN PASTI DISADARI

Oleh: Ma’ruf Zahran Sabran

Kesadaran adalah sifat dasar manusia waras. Waras terhadap masa lalu, waras terhadap masa sekarang, waras terhadap masa depan. Ketiga dimensi waktu tersebut hadir pada setiap diri seseorang pada detik ini. Kesadaran yang menuntun jalan bahagia (sa’adah), adalah ketika jiwa individu menjadikan Allah sebagai wakil-Nya. Cukuplah Allah sebagai wakil (wakafa billahi wakila). Cukuplah Allah sebagai penjaga (wakafa billahi hafidza). Maksudnya, masa lalu jangan disesali, masa sekarang jangan dicemasi, masa depan jangan ditakuti.

Resiko yang akan diambil di akhirat, di dunia ini sudah Tuhan tampakkan. Surga atau neraka merupakan pilihan bebas manusia di dunia. Diawali dengan kebebasan, kebebasan memilih. Memilih untuk beriman atau memilih untuk kafir. Namun, kedua pilihan tersebut, pasti beresiko. Pilihan di dunia, berdampak pada kehidupan dunia dan akhirat. Surah Al- Kahfi (18) ayat 29: “Dan katakan (Muhammad), kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu. Barang siapa yang menginginkan beriman, beriman-lah! Barang siapa yang menginginkan kafir, kafir-lah! Sesungguhnya Kami mengancam orang-orang yang zalim dengan neraka.”

Pilihan bebas, disadari, dan bertanggungjawab. Diri yang bertanggungjawab kepada diri. Kemudian, diri yang membalasnya. Akibat baik, diri membalasnya dengan kebaikan. Akibat buruk, diri membalasnya dengan keburukan (baca Al- Isra’:7). “Jika kamu berbuat baik, kebaikan untuk dirimu sendiri, dan jika kamu berbuat jahat, kejahatan akan kembali kepada dirimu.” Tempat mereka di akhirat berbeda, dan itu adalah resiko yang sudah disadari.

Karena masing-masing individu sudah tahu mengenai resiko yang diambil, bagi orang yang beriman tidak perlu berdebat. Berdebat apa-pun, pasti seputar makhluk (ciptaan). “Dan sungguh, hari kiamat pasti datang. Tidak ada keraguan tentang kedatangan-nya. Dan sungguh, Allah akan membangkitkan siapa-pun yang di dalam kubur. Dan diantara manusia, ada yang berbantahan tentang Allah tanpa ilmu, tanpa petunjuk, dan tanpa kitab yang menerangkan.” (Al-Haj:7-8).

Dengarkan suara kebenaran (ilham) di dalam diri. Jangan menunggu nasehat dari pemuka agama. Pemuka agama bukan penentu surga atau neraka bagi umat. Pemuka agama bukan niscaya terhindar dari neraka, atau pasti masuk surga. Teks ayat suci sangat banyak mengkritik ulama, atau tokoh agama. Hakekat beragama sangat rahasia (diniyah sirriyyah). Atau, pertanggungjawaban di akhirat secara individual, bukan secara kolegial (persekutuan). “Wahai orang-orang yang beriman! Penuhilah seruan Allah dan Rasul-Nya. Apabila Dia menyeru-mu, (bertujuan) untuk menghidupkan-mu. Dan ketahuilah, sesungguhnya Allah berada diantara (membatasi) manusia dengan hatinya. Sungguh, hanya kepada-Nya kamu akan dikumpulkan. Dan pelihara dirimu dari siksa. Siksa yang tidak hanya menimpa orang-orang zalim saja diantara kamu. Ketahuilah, bahwa Allah maha keras siksa-Nya.” (Al-Anfal:24-25).

Apa yang menakutkan selama ini adalah gambaran dosa yang dilakukan. Bilamanusia berkeyakinan bahwa Tuhan tidak mengampuni dosanya, maka dosanya tidak diampuni. Bila manusia berkeyakinan bahwa Tuhan mengampuni dosanya, sungguh Dia maha menerima taubat (innahu kana tawwaba). Jika manusia yakin bisa berserah-diri kepada Allah (muslim), Allah bersesuaian dengan Diri-Nya sendiri. Artinya, tidak selisih antara Diri dengan Diri, konsep hauqalah, la haulawala quwwata illa billah. Tidak ada kekuatan diri (d kecil), kecuali Diri (d besar). Baik kekuatan yang menyembah dan kekuatan yang disembah adalah esa (tauhid), niscaya kuat. Bila terpisah, keduanya lemah. Lemah yang menyembah dan lemah yang disembah (dha’ufath thalib wal mathlub). Surah Al-Haj:73 tersebut, menggambarkan betapa lemah orang-orang yang mempersekutukan-Nya.

Kekuatan penyembahan, terletak pada tauhid (keesaan), dan kelemahan penyembahan terletak pada syirik (kemajemukan). Beribadah dalam kesendirian, kesenyapan lebih sanggup mengundang rasa. Rasa takut kepada-Nya menjadi penciri dari tujuh ciri hamba yang mendapat perlindungan Allah di padang mahsyar. “Seseorang yang mengingat Allah dalam kesendirian, kesepian, menitik air mata-nya (wa rajulun da’aullaha khaliyan fafadhat ‘ainahu). Air mata yang takut kepada- Nya, meredamkan murka-Nya, dan memadamkan api neraka-Nya, serta sebagai penyejuk jiwa yang panas. Hal ini sangat sulit terjadi pada majelis yang banyak anggota-nya, dan bukan di forum yang ramai jamaah.

Manusia yang menyeru selain Allah ibarat berseru di tanah kosong. Selain Allah, tidak memiliki kekuatan sedikitpun. Firman Tuhan: “Dia yang memasukkan malam ke dalam siang, dan memasukkan siang ke dalam malam. Dia menundukkan matahari dan bulan, masing-masing beredar pada waktu yang ditentukan. Demikian (perbuatan) Allah Tuhan-mu, pemilik semua kerajaan. Dan orang-orang yang kamu seru (sembah) selain Allah, tidak memiliki kekuasaan apa-pun, meski setipis kulit ari.” (Fatir:13). Wallahua’lam.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *