Oleh: Ma’ruf Zahran Sabran
Bertujuan harmoni alam merupakan wujud supaya syariat bisa dipahami dengan kacamata syariat. Dan hakikat agar sanggup dipahami dengan kacamata hakikat. Jangand ibalik, syariat dengan frame hakikat, dan hakikat dengan frame syariat. Niscaya kesalahanb erpikir terjadi (sesat pikir). Bagaimana tidak mampu mengesakan Dia, bila ilham-Nya tidakd isimak. Sebab, hakikat hidup bukan sekadar menghembuskan napas lalu menarik-nya. Hakikat hidup adalah mati. Hakikat mati adalah hidup. Merasa hidup itulah puncak syirik, artinya ada dua yang hidup, Tuhan dan hamba. Maksudnya, bercampur eksistensi (kedirian) Tuhan dan hamba. Kalau tidak percaya Tuhan namanya atheis (kafir). Merasa hamba mati, itulah hakikat hidup. Hidup hanya kepunyaan Allah SWT, kehidupan Allah (hayatullah).
Seorang mukmin yang mengupas hakikat hidup dan mati, menciri bahwa dia telah duduk pada martabat makrifat. Martabat beragama selalu bertingkat. Maksudnya, orang yang mau mengupas amal syariat dan mengkritisi-nya, sangat besar peluang untuk menuju ke tingkat thariqat. Orang yang mau menanya-ulang amal thariqat dan kritis terhadap-nya, berpeluangu ntuk duduk pada pengkajian dan perguruan hakikat. Orang yang membahas hakikat dan bersedia untuk dikritik, setapak lagi menuju kedudukan makrifat. Di atas makrifat ada satu martabat yang bila dikupas, justru hilang kupasan. Bila dicari kebenaran, pasti tidak ditemukan. Dia bukan perlawanan benar dan salah. Maka Dia bukan klaim kebenaran. Dia tidak pertentangan pahala dan dosa. Maka Dia bukan berebut (merampas) pahala dan takut dosa. Dia bukan langit dan bukan bumi. Maka Dia tidak terpengaruh dengan cuaca di langit, dan Dia tidak terkontaminasi dengan derajat suhu di bumi. Dia bukan terang dan Dia bukan gelap. Lalu, bisakah berdusta yang artinya mendustai diri sendiri. Bisakah berbuat jahat yang artinya menjahati diri sendiri. Sebab telah tuntas tiupan roh beserta paketnya. Titipan roh kudusk e dalam masing-masing diri yang menjadi potensi sejak awal manusia bergerak (hayat) sampai akhir kehidupan (maut). Sesuai perjanjian ajal, berdasarkan firman Tuhan surah An-N ahl ayat 102.
“Katakan, ruhul kudus (Jibril) menurunkan Alquran dari Tuhan-mu dengan kebenaran. Untuk meneguhkan hati orang-orang yang beriman. Dan menjadi petunjuk serta kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri (muslimin).”
Tuhan menyuruh manusia berhati-hati dengan diri sendiri. Bukan dengan orang lain, kelola diri sudah Tuhan beri kemerdekaan, kebebasan untuk bertindak. Kebebasan (hurriyyah)b ertindak tidak pernah Dia berikan kepada malaikat, jin, hewan, tumbuhan. Hanya manusia yang berhak menentukan pilihan merdeka secara bebas. Termasuk kebebasan beragama atau tidak beragama (baca Al-Kahfi:29).
“Katakan (Muhammad), kebenaran dari Tuhan-mu, siapa yang menghendaki beriman, silakan beriman. Siapa yang menghendaki kafir, silakan kafir. Sesungguhnya Kami mengancam orang-orang zalim dengan neraka.” Karena kebebasan itulah, manusia diminta bertanggungjawab. Kehidupan yang sebenarnya, bukan kehidupan dunia dan bukan kehidupan akhirat. Akhirat akan berakhir, surga akan berakhir. Neraka akan berakhir, kecuali Tuhan-mu menghendaki yang lain (illa ma-sya-a rabbuk). Sebab mereka semua adalah makhluk. Surah Hud (11) ayat 106-108 menetapkan kuasa Tuhan pada surga dan neraka, untuk memanjangkan umur-nya atau berkehendak sesuka-Nya. Hukum makhluk tetap ada akhirnya, sampai waktu (ajal) yang dituliskan, ditetapkan (ila ajal). Mengupas neraka juga sama dengan logika diri tentang neraka. Pra-tinjau surga dan neraka adalah masa di dunia, didalam diri. Kedirian (eksistensi) neraka-pun tidak kekal (relatif dan temporal). Neraka sangat tergantung pada kehendak Tuhan, kekal atau tidak kekal.
Penyerahan tersebut terdapat di diri masing-masing. Surga bukan diluar, neraka tidak diluar. Sebenarnya, persoalan Tuhan sudah tuntas, yang belum tuntas adalah persoalan manusia dengan Tuhan. Diputar-balik, sehingga manusia lebih kuasa dari Tuhan. Akhirnya, Tuhan mati, manusia hidup. Hari ini, banyak manusia yang mengatur Tuhan, mengatur surga dan neraka. Tuhan bantah mereka, bahwa Dia pemilik seluruh tingkatan alam, Dia mengetahui batasan dan ukuran sesuatu. “Maka adapun orang-orang yang sengsara, tempatnya di neraka. Di sana mereka mengeluarkan dan menarik napas dengan merintih. Mereka kekal didalamnya, selama ada langit dan bumi (akhirat). Kecuali jika Tuhan-mu menghendaki yang lain. Sungguh Allah berbuat terhadap apa yang Dia kehendaki.” (Hud:106-107).
Mengenai surga yang dalam waktu lama (khalid bedakan dengan baqa’) juga bertingkat-tingkat sesuai dengan amaliah syariat. Namun bagi orang yang mengenal-Nya, mereka tidak berada di surga, tetapi berada “didalam Allah” (fillah), surga Diri Sejati. Misal, bagi orang-orang awam mungkin sudah cukup dengan salat lima kali yang berwaktu. Namun bagi arif billah kamil, salat mereka setiap detik (salatu-daim). Niscaya, surga mereka berbeda. Bagio rang-orang awam yang dipahami konsep sedekah hanya berbagi makanan dan minuman setiap hari jumat. Sedang bagi arif billah kamil, setiap tarikan dan hembusan napas ialah sedekah.
Kini, setiap orang dipenjara oleh cara pandang (paradigma), cara tinjau (perspektif) diri tentang surga dan neraka. Sejauhmana surga yang akan ditempatinya kelak, sejauh itulah ide (gagasan) tentang Tuhan, pilih surga yang berjangka atau surga yang tidak berjangka. Kembali menegaskan sungguh manusia sebagai manifesto kehendak ketuhanan, ada kehidupan besar (jagad semesta), ada kehidupan kecil (jagad diri), seluruhnya nyata. Ada kiamat besar (qiyamat kubra), ada kiamat kecil (qiyamat sughra). Kiamat kecil pasti dialami oleh semua yang bernyawa, mati istilahnya. Seluruh isi neraka terdapat pada diri manusia. Manusia adalah manifestasi Tuhan.
Manusia (mikrokosmos) merupakan visual alam mini (alam shaghir) namun memuat seluruh alam kabir (makrokosmos) dan alam akbar (metakosmos). Seberapa lama di surga, lihat amaliah apa yang dikerjakan selama di dunia. Kalau amaliah syariat, jelas akan berukuran, berjangka karena berpaut dengan hitungan jumlah, waktu, massa (berat) pahala dan dosa. Dalam firman: “Dan adapun orang-orang yang berbahagia, tempatnya di surga. Mereka kekal didalamnya selama terdapat langit dan bumi (akhirat). Kecuali Tuhan-mu menghendaki (yang lain). Sebagai karunia yang tidak ada putus-putusnya.” (Hud:108).
Bagi pemahaman yang terhenti pada surga, neraka, pahala, dosa, amal baik, amal buruk. Pasti di dunia dan di akhirat selalu mencerca diri. Napsu taat menimbulkan ketidak-puasan. Sebab di atas kuantitas banyak jumlah rakaat salat, ada lagi yang lebih banyak. Di atas kualitas baik ibadah, ada lagi kualitas sangat baik. Taat yang pada hakikat telah menjelma menjadi berhala dunia (materi). Bukankah ini yang sering diceramahkan. Sehingga orang-orang baik dan orang-orang jahat akan menyesal dan mendebat diri sendiri. Mengapa amaliah baik tidak sanggup mengusung kepada Ahad dan Ahadiyah (satu dan penyatuan). Amaliah jahat akan menghina diri sendiri, kenapa gerangan amal jahat belum sanggup mengantar kepada Ahad (satu) dan Ahadiyah (penyatuan)? Beri waktu yang panjang (amadam-ba’ida) antara diri dengan amal baik, dan antara diri dengan amal jahat. Jelas, amal diri sendiri tidak sanggup mengantar pada Diri Sejati. Dalam firman, buka surah Ali Imran (3) ayat 30. Lillahita’ala.