Oleh: Ma’ruf Zahran Sabran
Muhajirin jamak dari muhajir, artinya orang yang hijrah (pindah). Sketsa tentang muhajir selama ini dipahami bernuansa pindah secara fisik-materi. Dari wilayah ke wilayah, dari kawasan ke kawasan. Bagaimana tidak, hijrah (migrasi) demikian masih menyangkut makna hijrah lahiriah. Meski terkadang didesak hijrah lahiriah karena faktor ekonomi, pendidikan, kesehatan, politik, agama, kultur, dan sub sistem lainnya.
Beragama-pun mengisyaratkan suruh hijrah dari satu titik ke titik lain (sabbah, yusabbih). Lari atau berenang dengan meninggalkan ordinat lama menuju ordinat baru. Siklus yang terus berputar, demikian dinamika kehidupan. Tak pernah henti, kecuali mati. Mati adalah capaian tertinggi bagi para pencari Tuhan, dan menemukan.
Stagnansi pada kedurhakaan dan tidak ingin perpindahan, pergerakan, perubahan dari kedurhakaan tadi menciri sifat Iblis. Iblis sudah mempersekutukan Allah SWT. Dia mempersekutukan Allah SWT dengan cara menuhankan diri sendiri. Karena ke-mumpuni-an ilmu Iblis dan ibadah yang sudah dia kerjakan secara syariat dan secara hakikat.
Misal, migrasi klosal (eksodus) kaum Musa dari Mesir ke Palestina yang banyak diceritakan oleh Alkitab Perjanjian Lama dan Alquran adalah dalam kerangka menjaga iman. Fakta hijrah membawa Musa dan kaum-nya pada percaturan hidup baru. Ketika di Mesir, Musa menyeru Fir’aun untuk beriman. Ketika di Palestina (pascahijrah), Musa berulang kali mendakwahi kaum-nya untuk beriman dan istikamah. Ternyata, dakwah (seruan) agama kepada keluarga, kerabat, komunitas lebih sulit daripada berdakwah kepada Fir’aun dan kroni- kroninya. Berbukti saat kaum-nya meminta diperlihatkan Tuhan (Yahweh) secara wujud kenyataan yang bisa di-indera. Puncak kedurhakaan kaum Yahudi, lalu dahaga teologis mereka, disirami oleh Samiri dengan membuat patung anak sapi (‘ijil). Tertanam kecintaan kepada patung anak sapi (‘ijil), karena kedurhakaan (keingkaran) mereka kepada Ahad. Tradisi paganisme (penyembahan berhala) terus terjadi, (stop) sampai sekitar tahun 600 Masehi. Berkat mujahadah, mujtahadah, musyahadah Muhammad bin Abdullah Al-Adnani.
Musa dan kaum Musa, pasca-penyelamatan di laut Merah, justru Musa didebat kaum-nya, demikian pula Isa diangkat sebagai Tuhan. Ketika itu, Musa bertajalli (novelty) puncak menemukan Tuhan Ahad. Ahad yang tidak bisa dilihat, pahat, rasa dan raba. Tajalli Tuhan kepada Musa, membuat Musa tidak lagi bertanya kepada Tuhan. Sebab entitas absolut Tuhan sudah dikenal Musa. Puncak gunung Sinai hanya simbol. Namun, bukan Ahad.
Mati, pingsan, gila, lupa, adalah jalan menuju keabadian dan keputusan. Sebagai sudah Dia berkalam: “Dan orang-orang yang berhijrah di jalan Allah,
kemudian mereka terbunuh atau mati. Sungguh, Allah akan memberi kepada mereka rezeki yang baik. Dan Allah adalah pemberi rezeki yang baik.” (Alhaj:58). Penganugerahan besar lainnya adalah jannah (surgawi). Sebagai ganjaran untuk mereka yang berhijrah, ” … Pasti, Kami memasukkan mereka ke tempat masuk yang mereka sukai.” (Alhaj:59). Wallahua’lam.