Oleh: Eka Hendry Ar
Dalam tahun 2023 Kementerian Agama mengukuhkan banyak Guru Besar baru, termasuk IAIN Pontianak. Suatu pencapaian yang patut diapresiasi,dan sekaligus membanggakan.Terkhusus bagi IAIN Pontianak yang cukup“terlambat” dalam mencetak para Guru Besar. Dengan bertambahnya jumlah GB,tentu saja menambah optimisme bahwa, IAIN punya masa depan yang lebih baik.Terlebih lagi ada beberapa agenda di depan mata, diantaranya perubahan bentuk dari IAIN menjadi Universitas Islam Negeri (UIN) Pontianak dan rencana pembukaan Program Doktor (S3) pada Pascasarjana IAIN Pontianak.
Ekspektasi masyarakat kampus maupun masyarakat umum bahwa, IAIN Pontianak terus menerus meng-up grade kualitasnya. Secara kasat mata, transformasi fisik kampus STAIN menjadi IAIN relatif sudah sangat memadai.Bahkan, boleh dikatakan transformasi yang signifikan. Karena penulis mengalami langsung proses trasformasi tersebut, mulai dari sebagai mahasiswa S1 FakultasTarbiyah hingga menjadi dosen. Gedung-gedung “tumbuh” menjulang, sehingga secara fisik dapat mensejajarkan diri dengan lingkungan pemukiman dan bisnisyang nota bene kelas atas di Kota Pontianak. Dari segi sarana dan prasarana jugasudah sangat memadai, walaupun karena faktor usia dan jam pemakaian beberapa harus segera diremajakan.
Publik juga menaruh banyak harapan agar IAIN dapat menjadi mercusuar pemikiran dan nilai-nilai keislaman yang memancarkan sinarnya bagi masyarakat. Di tengah curiosity para orang tua, agar putra putrinya mendapatkan pengetahuan agama yang baik. IAIN diharapkan memberikan pengetahuan keagamaan yang mendalam dan luas serta dapat dapat membentuk kepribadian yang berakhlak mulia. Tentu saja bukan tugas yang mudah. Oleh karenanya patut menjadi komitmen para penyelenggara pendidikan di IAIN Pontianak.
Dengan semakin tinggi kualifikasi pendidikan para dosen dan tenaga kependidikannya, di tambah lagi jumlah GB yang semakin banyak, tentu IAIN Pontianak tidak terlalu sulit mewujudkan ekspektasi tersebut. Persoalan penting terletak pada, apakah dengan pencapaian tersebut, berbanding sejajar dengan peningkatan kualitas penyelenggaraan pendidikan dan pengajaran di IAIN. Variabel yang paling tangible adalah apakah telah terbentuk ekosistem keilmuan di lingkungan IAIN Pontianak. Ekosistem keilmuan yang penulis maksudkan, adalah iklim akademik yang diciptakan untuk mendorong suasana keilmuan lebih tumbuh berkembang secara kompetitif. Melalui ekosistem keilmuan akan tercipta kultur akademik yang kuat, atmosfir intelektualitas yang kokoh serta mesin produksi yang mencetak berbagai karya-karya kreatif dan inovatif.
Ekosistem keilmuan ini yang akhir-akhir ini banyak “gagal” diwujudkan oleh dunia kampus. Jamak kampus sekarang malah membangun “ekosistem kekuasaan”, dimana politik birokratif yang jauh lebih dominan. Fastabikul-nya bukan pada “perlombaan” keilmuan (musabaqah ilmiyah), akan tetapi pada “perlombaan” politik jabatan (musabaqah siyasah). Sayangnya, ada oknum para doktor dan professor berlomba mengejar gelar akademik bukan untuk meningkatkan kapasitas intelektual dirinya, akan tetapi lebih sebagai instrument untuk menduduki posisi-posisi strategis di kampus. Inilah wajah dari “ekosistem kekuasaan”, kampus kehilanggan jati dirinya sebagai “ibu tempat mengembangkan ilmu pengetahuan” (almamater), akan tetapi berubah menjadi “medan pertempuran” (battle ground) perebutan jabatan. Jika ekosistem kekuasaan lebih dominan dari ekosistem keilmuan, maka jangan berharap banyak sebuah kampus akan produktif dan berkualitas. Bahkan boleh jadi akan terjadi lingkaran “konfliki rasional dan tidak produktif” yang tidak berkesudahan.
Oleh karenanya jika kita berkehendak untuk memajukan PT, maka sudah saatnya kita kembali kepada jati diri kampus sebagai ekosistem pengetahuan. Untuk membangun sebuah ekosistem maka ada beberapa hal yang perlu kita benahi. Ekosistem adalah hubungan timbal balik antara para aktor (biotik) dan mileu (abiotik). Hubungan antara para aktor harus diciptakan iklim persaingan yang sehat. Atmosfir akademik harus mencolok, kegiatan yang bernuansa keilmuan harus semarak. Sehingga dialektika keilmuan benar-benar mewarnai dinamika kehidupan kampus. Pimpinan PT harus memiliki rekognisi dan afirmasi terhadap kehendak ini. Prioritas pembangunan kampus, harus diperioritaskan kepada pengembagan SDM, ketimbang pembangunan fisik, jika kondisinya belum memungkinkan berjalan simultan.
Suatu saat kelak, dalam eksosistem keilmuan perlahan akan membentuk budaya keilmuan yang kuat dan dinamis. Kondisi ini akan menetes ke dalam mileu mahasiswa. Karena para dosen telah menjadi prototype atau model yang menarik untuk ditiru oleh mahasiswa. Curiousity keilmuan yang kuat, akan memantik dinamika akademik yang juga kuat baik di lingkungan kampus. Ketika Curiosity keilmuan yang tampil di puncak prestige kampus, maka otoritas seseorang bukan lagi diukur semata dengan kepandaian meloby dan kekuatan modal material, akan tetapi juga oleh pengakuan atas otoritas keilmuan yang bersangkutan. Maka prinsip primus inter pares (the best among the equal) akan terkontekstualisasi dalam persaingan para pemimpin kampus yang terbaik, diantara yang terbaik. Atau persaingan antara yang otoritatif diantara yang otoritatif.
Bertambahnya amunisi para Profesor akan menjadi kapital dan energi baru untuk mewujudkan ekspektasi tersebut. Semua kembali kepada kesadaran para Profesor kita, apakah mereka akan menjadi pilar ekosistem keilmuan atau sebaliknya malah mengamini dan menjadi patron dari ekosistem kekuasaan. Para professor harus menjadi aktor otoritatif yang dapat menjadi prototype keilmuan dan intelektualitas bagi para dosen dan mahasiswa. Hal ini penting, menginggat sekarang ini ada trend yang disebut intelektual medioker, dimana intelektual hanya label, namun defisit kualitas. Rocky Gerung secara sarkas menyebut sebagai kompresor, ketimbang professor. Kita tahu kompresor isinya “kuat dan nyaring”,tapi isinya hanya angin semata.