Oleh: Eka Hendry Ar.
Perguruan Tinggi berlomba-lomba meng-up grade prestasinya dalam berbagai bidang. Ada kampus yang ingin unggul di semua bidang, sehingga dapat menjadi center of excellence (CoE) atau kiblat percontohan bagi kampus lainnya. Ada yang tidak terlalu besar ambisinya, menjadi unggul dalam bidang-bidang tertentu saja, menyesuaikan dengan kondisi dan kekuatan (strengthen) yang dimiliki. Ada kampus yang ingin menjadi kampus terbaik bertarap internasional, yang ditandai dengan system pengelolan yang cangih, technologi informasinya cangih, memiliki banyak guru besar, memiliki Program Studi-program studi yang akretasinya unggul, riset dan publikasinya internasional, dan lulusannya menjadi tokoh-tokoh penting baik sebagai politikus, birokrat, ekonom dan scientist.
Namun ada yang sadar diri, kemudian lebih memilih beberapa keunggulan saja sebagai branding image, seperti ingin unggul dalam bidang research, harapannya menjadi research university. Kemudian ada pula yang ingin punya prestasi dalam bidang pengelolaan jurnal, misalnya memiliki beberapa jurnal bertaraf internasional (scopus). Ada juga yang ingin menonjolkan keunggulannya sebagai kampus yang mengarus utamakan kompetensi berbahasa asing, sehingga memiliki banyak mahasiswa asing. Atau ada juga yang ingin unggul dalam bidang social services, program pengabdian kepada masyarakat yang unggul baik para taraf lokal maupun internasional. Intinya, semua kampus berlomba menunjukkan eksitensinya, agar reputasinya diakui oleh pihak lain.
Fenomena ini tentu saja sebuah keniscayaan, mutlak harus terjadi. Karena hanya dengan cara seperti inilah kampus-kampus di Indonesia bisa tumbuh berkembang, dan mendapatkan pengakuan dari publik. Etos ini harus tumbuh dari Rahim kampus-kampus di Indonesia, termasuk Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri (PTKIN) yang berada di bawah Kementerian Agama. Manakala etos ini tidak dimiliki oleh kampus, maka dapat dipastikan kampus tersebut akan mengalami proses involusi (alias jalan di tempat), wujuduhu ka adamihi (ada seperti tiada). Oleh karenanya, maka PT harus dikelola dengan perencaan yang baik, punya idealisme, punya visi yang futuristic dan “ambisi” yang realistik dan rasional.
Dalam konteks ini, saya ingin memotret keberadaan IAIN Pontianak, sebagai Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri di Kalimantan Barat. Sejauh ini perkembangan sudah cukup baik, baik secara kuantitatif maupun secara kualitatif. Berbagai pencapaian telah diraih, seperti perkembangan Fakultas dan Prodi, pertambahan jumlah mahasiswa, peningkatan jumlah Doktor dan Guru Besar, serta system perkuliahan dan sarana prasarana. Ke depan IAIN semestinya lebih berkembang, menjadi kampus yang memiliki berbagai keunggulan dan bereputasi baik nasional maupun internasional. Pertanyaanya, bagaimana infrastruktur yang dipersiapkan ke arah tersebut. Baik infrastruktur konseptual, infrastruktur manajemen sumber daya manusia (SDM), infrastruktur komitment dan visi kepemimpinan (vision of leadership), serta infrastruktur perencanaan dan governance (tata kelola) kampus. Mengapa infrastuktur ini penting, karena infrastruktur visi dan gagasan harus terlebih dahulu ada, sebelum infrastruktur fisik. Dengan kata lain, ide, pikiran, gagasan, komitmen, visi yang jelas, terencana dan terukur, jauh lebih penting dari sarana dan prasarana pendukung. Selama tidak ada pikiran, gagasan, inovasi dan visi yang jelas kemana kampus ini akan di bawa, maka perjalanan kampus akan terus menerus diombang ambing oleh existing anggaran dan kebijakan pusat yang top down.
Hemat penulis, kualitas tidak semata ditentukan oleh besaran anggaran setiap tahunnya. Akan tetapi dengan anggaran yang terbatas (sarung pendek), kita tidak akan kehilangan akal, jika kita memiliki infrastruktur gagasan, inovasi dan visi masa depan yang jelas. Naif, jika kita menghendaki sesuatu yang “besar pasak dari pada tiang”. Namun kita berijtihad untuk mengembangkan sisi-sisi dimana kita bisa mencapai keunggulan. Berdasarkan pengamatan penulis, ada beberapa keunggulan yang potensial dikembangkan oleh IAIN Pontianak, yang sebenarnya sudah sama-sama disadari dari sejak lama. Seperti kita memiliki keuntungan geografis, sebagai salah satu Propinsi yang berbatasan dengan 2 negara tetangga, Malaysia dan Brunai Darussalam.
Kemudian, ditambah lagi, terlepas kita setuju atau tidak dengan IKN, keberadaan IKN di wilayah kepulauan Kalimantan juga merupakan sebuah keuntungan sosial, ekonomi dan politik bagi IAIN Pontianak. Belum lagi, Kalimantan Barat juga sangat iconic sebagai salah satu Provinsi dengan ragam kebudayaan lokal, termasuk suku asli (indigenous people) seperti Budaya Suku Melayu dan Kebudayaan Suku Dayak yang eksotik. Kemudian, Kalbar juga memiliki bentang alam sebagai paru-paru dunia, dengan hutan hujan tropisnya yang luas dan kaya keanekaragaman hayati di dalamnya. Selanjutnya, di masa lalu Kalbar memiliki berbagai catatan sejarah konflik sosial antar kelompok masyarakat, yang residunya sedikit banyak masih terasa hinggi kini. Kemudian yang lebih mutakhir, Kalbar juga memiliki daerah yang dianggap paling toleran di Indonesia yaitu Kota Singkawang. Semua keunggulan ini semestinya dapat dikapitalisasi menjadi pemicu (trigger) pencapaian mutu IAIN Pontianak.
Hemat penulis, salah satu cara terbaik mengelola capital tersebut adalah dengan meningkatkan kualitas penelitian dan penerbitan di IAIN Pontianak. Pertanyaannya, penelitian dan penerbitan seperti apa yang bisa meningkatkan reputasi IAIN Pontianak di level nasional dan internasional. Apakah dengan manajemen penelitian seperti yang sekarang ini, bisa mencapai tujuan tersebut ?. Pertanyaan-pertanyaan ini secara reflektif harus dijawab oleh civitas akademika IAIN Pontianak. Sepanjang pengamatan penulis, manajemen penelitian yang ada sekarang sukar bagi kita untuk mencapai tarap unggul. Letak persoalannya menurut penulis terletak pada proses pengawalan mutu penelitian di IAIN Pontianak.
Apa yang dimaksud dengan proses pengawalan mutu penelitian, yaitu cara kita memastikan apakah proses penelitian, hasil penelitian dan deseminiasi hasil penelitian sudah memiliki standar mutu tertentu. Proses pengawalan mutu penelitian hendaknya berlangsung dari hulu hingga hilir, dari perencanaan dan penetapan tema penelitian hingga proses “pengujian” atau deseminasi hasil penelitian. Pertanyaannya, apakah penetapan tema penelitian selama ini bersifat top down, atau hasil dari brainstorming yang bersifat buttom up. Tidak salah dengan mekanisme top down, sepanjang sebagai hasil dari proses brainstorming yang melibatkan para pihak di kampus.
Pertanyaan berikutnya, apakah mekanisme seleksi dari proposal yang disubmit, telah mementingkan aspek substansi proposal, atau lebih mementingkan aspek pemerataan? Pertanyaan ini penting, menyangkut komitmen kebijakan kita, masih pada tarap akomodasi atau kualitas? Tentu akomodasi tidak salah sepenuhnya, namun kalau orientasi kita pada kualitas penelitian, maka seyogyanya substansi dan kualitas proposal yang diutamakan. Semua mekanisme seleksi, indikator dan hasil penilaian apakah di-publish secara transfaran? Persoalan ini penting, menyangkut akuntabilitas dan trust kepada lembaga. Kemudian, apakah proses penelitian dilakukan secara bertanggung jawab, sesuai antara alokasi pendanaan dan durasi serta tempat penelitian? Untuk meneliti suatu tema di kampus, katakanlah evaluasi kebijakan, apa layak dianggarkan lebih besar dari penelitian yang di laksanakan di luar kota dan cakupan persoalan yang cukup luas dan komplek? Selanjutnya, apakah mekanisme reward and punishment berjalan terhadap mereka yang mendapatkan penilaian yang tinggi dengan yang rendah, misalnya terkait dengan alokasi pembiayaan? Dan last but not least, apakah hasil penelitian “dipertanggung jawabkan” secara akademis di depan publik akademik, atau hanya di depan tim panel yang berjumlah 1 – 2 orang saja ? Pertanyaan-pertanyaan ini perlu menjadi bahan refleksi, jika kita ingin mengawal proses mutu penelitian di IAIN Pontianak.
Sebagai rekomendasi dari tulisan ini, berikut beberapa hal yang hemat penulis perlu kita lakukan dalam rangkat menjadikan penelitian sebagai produk unggul dan sekaligus untuk membranding reputasi IAIN Pontianak, yaitu;
Pertama, IAIN Pontianak harus menetapkan terlebih dahulu bidang riset apa yang menjadi keunggulan IAIN Pontianak. Jika kita konsisten dengan visi IAIN Pontianak, maka bidang kajian Borneo menjadi objek keunggulan kita. Saya yakin banyak hal yang dapat dieksplorasi dari kajian Borneo, tidak semata budaya dan agama. Dengan penambahan Program Studi di IAIN Pontianak, memungkinkan kita memotret khazanah Borneo dalam berbagai disiplin. Bisa dalam bidang perekonomiannya, bisa kajian sejarah, sumber daya alam, sosio-politik, pendidikan, hingga sosial keagamaan, baik secara diakronis maupun sinkronis. Sejauh ini, penyebutan Borneo baru sebatas lip service, belum benar-benar dapat diterjemahkan sebagai branding image IAIN Pontianak. Sehingga wajar, belum ada peneliti-peneliti asing yang datang ke sini, untuk mendalami tentang kajian Borneo (klasik dan kontemporer).
Kedua, Mekanisme seleksi Proposal penelitian harus dilakukan secara lebih selektif, sesuai dengan standar penelitian mutakhir. Silakan para pakar, para guru besar yang berkompeten menguliti setiap proposal yang masuk. Mekanisme reward and punishment harus diterapkan. Jangan sampai lagi ada proposal penelitian yang “asal-asalan” dapat melenggang kangkung, padahal dalam seminar jelas-jelas dinilai tidak layak. Penetapan besaran bantuan harus menganut prinsip budget follows scope of research (anggaran mengikuti cakupan dan substansi penelitian). Prinsip ini agar kita dapat menerapkan mekanisme reward and punishment, antara yang sungguh-sungguh dengan yang asal-asalan. Sebagai catatan juga, hendaknya dalam menetapkan tim panel penilai harus mereka yang dinilai berkompeten dalam bidang yang diteliti atau dalam bidang penelitian. Bagaimana mungkin seorang menjadi panel penilai, sementara yang bersangkutan tidak pernah melakukan penelitian dan mempublikasi hasil penelitian mutakhirnya. Jika ironi ini terjadi, maka ini akan menumbuhkan distrust kepada kesungguhan lembaga untuk meningkatkan kualitas penelitian. Semua hasil seleksi hendaknya dipublikasi secara transfaran, sehingga tidak menimbulkan syak wasangka (atau spekulasi), yang pada gilirannya bergeser dari substansi persoalan akademik ke persoalan non akademik.
Ketiga, jika kampus mempunyai kebijakan tertentu tentang riset pilot project sebagai afirmasi, maka silakan dipublikasi secara terbuka, jumlah riset dan jumlah penelitinya. Ini tidak jadi persoalan, sepanjang ada penegasan dari awal, selain riset kompetitif, kampus juga punya pilot project penelitian besar yang dianggap relevan dan sangat kontributif. Namun hendaknya, penetapan penelitinya dilakukan secara kompetitif, melalui mekanisme seleksi yang standard dan terbuka. Sehingga setiap orang berkesempatan mengikuti dan berkontribusi dalam project tersebut.
Keempat, terkait dengan seminar hasil penelitian. Selama ini, menurut penulis masih bersifat formal dihadapan 2 orang panelis yang ditunjuk. Faktanya yang terjadi, dengan segala keterbatasan, proses review hasil ini tidak komprehensif, tergantung apa yang menjadi konsen para panelis. Bagi para peneliti, kadang juga tidak ada beban, “silakan saja kritik, kafilah tetap jalan terus”. Yang penting laporan dijilid, dana cair. Pada bagian ini yang hemat penulis rawan, padahal ini adalah fase dimana kualitas penelitian ini akan dinilai, sebelum ia kemudian dipublikasi baik dalam bentuk buku maupun artikel jurnal. Dalam pandangan penulis, system ini hendaknya kita rubah. Setiap peneliti harus mempertanggung jawabkan proses dan hasil penelitiannya bukan lagi di depan panel penilai, akan tetapi di depan public civitas akademika IAIN Pontianak. Silakan LP2M memfasilitasi seminar hasil, yang melibatkan semua civitas akademika baik mahasiswa dan dosen, dalam format seminar hasil penelitian. Dengan demikian, para peneliti tidak lagi asal-asalan dalam meneliti, kalau tidak mau dipermalukan. Manakala mekanisme ini bisa kita terapkan, maka setidaknya ada dua keuntungan yang akan kita dapatkan, Pertama, iklim akademik akan tumbuh subur di IAIN Pontianak; Kedua, para dosen akan berusaha menjadi peneliti yang lebih baik, lebih kompetitif melahirkan penelitian yang berkualitas.
Penulis berkeyakinan, bila mekanisme-mekanisme hulu hingga ke hilir tersebut dapat dilakukan, cepat atau lambat kita akan menghasilkan berbagai produk penelitian yang layak dibaca, kontributif dan in line dengan atmosfir akademik yang lebih luas. Melalui riset-riset yang unggul dan berkualitas adalah salah satu cara kita menaikkan reputasi IAIN Pontianak, baik di level nasional maupun internasional.
Demikian beberapa pandangan penulis sebagai bentuk tanggung jawab sebagai akademisi yang harus terus menerus mengawetkan pandangan-pandangan kritis untuk kemajuan kampus. Semuanya kembali kepada kita semua, apakah ini dianggap sekedar bincang-bincang kopi senandung, atau patut untuk kita pikirkan bersama. Wa Allah a’lam bi shawab.