TEMPAT IBADAH DAN PERIBADATAN (Profan dan Transenden)

Oleh: Ma’ruf Zahran

Tempat ibadah bolehkah dikatakan sebagai transaksi hamba dan Tuhan, atau barter. Bisakah memberi-Nya sebagai pemberian. Dimana posisi Tuhan dan dimana posisi hamba?

Eksistensi profan atau realitas materi (fikih) itulah perbedaan. Eksistensi profan (keduniaan) diakui oleh kitab suci sebagai bagian integral yang majemuk, namun hadir dalam kenyataan. Pengakuan ini menanda bahwa menjadi muslim adalah siap berbaur dengan entitas aktual kemasyarakatan. Pada tataran ini, wajib dibedakan antara orang yang beragama dengan orang yang tidak beragama. Manusia hidup tanpa bertuhan (atheis), dan manusia hidup dengan bertuhan (theis). Seperti kenyataan firman: “Diizinkan berperang bagi orang-orang yang diperangi. Karena sesungguhnya mereka dizalimi. Dan sungguh, Allah pasti menolong mereka. Mereka adalah orang-orang yang diusir dari kampung halaman tanpa alasan yang benar. Hanya mereka mengatakan: Tuhan kami adalah Allah. Kalau Allah tidak menolak keganasan para perusuh, tentu telah dirobohkan biarabiara nasrani, gereja, sinagog, masjid-masjid yang didalamnya banyak disebut nama Allah. Allah pasti menolong orang-orang yang menolong-Nya. Sungguh Allah maha kuat, maha perkasa.” (Alhaj:39-40).

Sebutan kitab suci tentang rumah biarawan (shawami’), gereja-gereja (biya’), sinagog (shalawat), masjid (masajid), semua dalam bentuk kata plural (jamak). Ini menunjukkan bahwa tempat-tempat tersebut telah banyak menyebut nama Allah. Allah adalah nama yang paling tua, dekat. Sifat yang paling menonjol pada-Nya adalah Arrahman, sebab hanya Dia yang maha pengasih. Arrahim, karena hanya Dia yang maha penyayang. Alhalim, nama-Nya yang maha penyantun. Arrauf, nama-Nya yang maha merawat. Ciri yang paling mengedepan bagi umat beragama adalah beriman kepada Allah, dan beriman kepada hari akhirat. Dalam Alquran banyak dipaparkan kondisi orang-orang kafir (atheis) yang tidak beriman kepada Allah dan hari akhirat. Dan, banyak pula dibentang ciri orang yang bertakwa, mereka beriman kepada Allah dan hari akhir.

Indikator semua itu, Alquran yang memberi arah, ajar dan tunjuk. Didukung oleh Hadis sebagai tafsir dan bayan Alquran. Diluar ajaran keduanya, fikih dan tasawuf tertolak. Ternyata, rusak agama karena jamak kepentingan. Kepentingan politik, ekonomi, sampai kepentingan pribadi, keluarga dan kelompok. Pada sebagian oknum ilmuwan dan agamawan, tidak malu”melacurkan” diri dalam bentuk “jual-beli” doktrin ilmiyah dan dogma diniyah (agama). Etika agama tidak pernah dijalankan, hanya sekadar dibaca dalam khutbah-khutbah. Kode etik beragama tidak pernah ditaati, kecuali untuk kepentingan seminari dan laporan loka karya. Sehingga, mereka sangat dibenci Allah (kabura maqtan ‘indallah).

Varian agama melahirkan banyak nama ritus, liturgi, ayat, ajaran dharma, petuah Nabi Kong Zhu. Dan, ironi rumah-rumah ibadah menjadi praktik yang subur bagi orang-orang musyrik dan munafik (baca At-Taubah:17). Terus, aktivitas lahir-jasmani dan aktivitas batin-rohani apa yang terjadi didalamnya? Aktivitas kotor diantaranya, transaksi (dagang) jual-beli agama, atau mengatasnamakan kesucian rumah Tuhan, menjadikan label ibadah sebagai pemasukan (devisa) rumah ibadah guna pembangunan fisik? Lalu, lupa terhadap tugas kehadiran rumah ibadah di tengah pemukiman penduduk yang beragam tingkat ekonomi mereka. Seperti kasus masjid Dirar di Madinah (masjid orangorang munafik). Terlengkap tentang kasus masjid Dirar (baca surah At-Taubah).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *