Oleh: Ma’ruf Zahran Sabran
Nubuwah Nabi tentang Ruwaibidah. Ruwaibidah berarti manusia yang banyak bicara tanpa kebijaksanaan. Curriculum Vitae (cv) nya banyak ilmu yang ditandai pendidikan tinggi dan bergelar. Orang awam tertipu dengan simbol atau gelar yang disandang. Ruwaibidah menjadi ciri akhir zaman.
Ketika dibuka ruang publik berbantuan facebook, twitter, instagram, youtube telah menjadi ajang pertukaran paham dan informasi global. Lebih lagi saat dikemas dalam bentuk IA dan chat GPT. Layaknya kerja seorang ilmuwan dengan pendekatan scientific. Dampaknya, kebaikan dan keburukan bisa ditipu dengan efek suara (audio), dan efek gambar (visual). Sehingga banyak komentar yang tidak berbasis data alias hoax (fitnah).
Saatnya, setiap orang bertanggungjawab terhadap diri sendiri. Bukan usil dengan orang lain, apa yang Tuhan anugerahkan kesaksian pertama kali, itulah fitrah. Syahadat, bukan-kah Aku Tuhan-mu. Roh menjawab, benar, kami menyaksikan (buka Al-A’raf:172). Kesaksian bukan sekadar ucapan diri, namun perjanjian dari diri kepada diri. Menyaksikan dan disaksikan (syahid-masyhud).
Hari ini, semua orang boleh bicara. Kebebasan berpendapat, bahkan direkam. Boleh-kah, setiap orang, mau tidak mau diwajibkan atau mewajibkan diri memegang telepon genggam. Artinya, godaan untuk berkomentar menjadi sangat kuat. Bahaya ghibah masa lampau mungkin bisik-bisik tetangga. Namun kini, ghibah sudah terorganisir dengan media digital. Dampak pahala atau dosa yang dihasilkan berhulu-ledak dahsyat. Ketahuilah, anggota grup di media adalah majelis, jamaah, organisasi yang menghimpun banyak orang. Bila baik yang diketik dan dishare akan menjadi amal kebaikan jariyah. Sedang bila buruk yang diketik dan dishare akan menjadi amal keburukan jariyah.
Sadarilah, baik dan buruk yang dishare, tetap berhukum ghibah. Karena, hari ini banyak orang yang “menangguk di air keruh.” Isinya mungkin benar, tetapi terdapat niat “adu domba” (namimah). Disini, harus dicermati betul. Beda baik dan buruk sangat samar. Bahkan mungkin terbalik. Konon, tidak semua baik itu baik. Dan tidak semua buruk itu buruk. Lembaran masa yang kini dialami (kita). Kepalsuan, kebohongan (Dajjal) beserta fitnah-nya.
Nanti, banyak orang sudah mengaku berbuat baik dengan lima kali mengunjungi masjid. Ternyata, hati dan lisan yang penuh ghibah lewat telepon genggam seluler. Kunjungan ke masjid yang dia lakukan, tidak memberi dampak bagi kebangkitan rohani. Ibarat keledai (himar) yang membawa kitab yang tebal, namun tidak mengerti isinya. Membaca bacaan salat sama dengan membaca perkataan suci, mungkin-kah layak keluar dari hati yang kotor? Berjanji dengan lisan, tetapi mengingkari dengan perbuatan. Betapa banyak contoh sejak dahulu, remaja masjid setelah dewasa menjadi lupa kepada komitmen perjuangan.
Kepalsuan (Dajjal) tidak berkutik, bila umat berpegangan kuat kepada kitabullah (hikmah) dan sunnah. Sebenarnya, tipuan pahala dan dosa telah dibongkar Tuhan rahasianya. Melainkan banyak yang belum menyadari. Sebab diantaranya larut dan terlena dalam buaian pahala yang menjanjikan, dan dalam buaian dosa yang menakutkan (buka Alkahfi:102-106). Penting untuk diketahui, menjaga jarak antara diri dengan pahala, menjaga jarak antara diri dengan dosa. Sehingga tidak berlarut dalam dunia angan-angan (halusinasi).
Ada pula orang-orang yang menjadi antek-antek Dajjal. Memutar fakta yang benar menjadi salah dan yang salah menjadi benar. Kebohongan publik terjadi secara masif dan viral. Dunia yang tidak menentu setelah ini, setelah megatrust, likuivaksi, sunami, berharap dan berhadap kepada wajah Tuhan saja. Sebagaimana yang sudah Dia firman-kan: “Maka hadapkan-lah wajahmu kepada agama yang hanif (lurus). Agama fitrah Allah yang dengannya Tuhan menciptakan manusia. Tidak ada perubahan di dalam ciptaan Allah. Itulah agama yang tegak lurus. Dan melainkan kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (Arrum:30). Kembali kepada Alquran artinya kembali kepada fitrah. Kembali kepada sunnah, sama dengan kembali kepada fitrah. Lanjutan ayat (31): “Orang-orang yang kembali kepada-Nya (Tuhan) adalah mereka yang bertakwa, mendirikan salat. Dan jangan kamu menjadi orang-orang yang musyrik.”
Apa yang membuat manusia perpaling dari jalan Tuhan adalah mengingkari suara utusan yang datang. Surah Annahl ayat 1 dan 2 mengingatkan: “Telah datang perintah Allah, maka jangan kamu menghendaki percepatan (pemberlakuan hukum-Nya). Maha suci Dia lagi maha tinggi dari apa-apa yang kamu persekutukan. Berkali-kali malaikat turun dengan ruh (ruhul qudus, Jibril) dari perintah-Nya. Kepada siapa yang dikehendaki diantara hamba-hambaNya, untuk memperingatkan sesungguhnya Dia, tidak ada Tuhan kecuali Aku. Maka kepada-Ku, semua kamu harus bertakwa.”
Maksudnya, bila pahala dan dosa dapat ditipu. Lain halnya dengan fitrah yang menyatu di dalam diri. Dia tidak sanggup ditipu. Bagaimana tidak, ruh suci sudah Tuhan amanah-kan pada tiap diri (kullu nafs).
Potensi beragama adalah inheren bagi semua orang. “Katakan (Muhammad) berulang kali Kami turunkan padanya, ruhul-qudus dari Tuhan-mu dengan kebenaran. Untuk menguatkan hati orang-orang yang beriman, petunjuk dan kabar gembira bagi kaum muslimin.” (Annahl:102). Kelak, pertanggungjawaban akan diminta, saat kontrak hidup telah usai. Namun jangan abai dan lalai akan perjanjian diri. Jauh hari, Tuhan peringatkan: “Datang hari ketika tiap-tiap diri mendebat dirinya. Dan disempurnakan tiapp-tiap diri mengenai balasan perbuatan. Dan mereka tidak dianiaya.” (Annahl:111).
Ingat, jangan menyesal dikemudian hari, saat semua umat dibangkitkan beserta rasul mereka. Dakwah (misi) utusan Tuhan adalah sama, sembahlah Allah, dan jauhilah taghut (jangan kamu menyembah berhala). Sebagian mereka mendapat petunjuk Allah, dan sebagian mereka mendapat kesesatan yang tetap.
Maka berjalan-lah di muka bumi, lalu perhatikan bagaimana keadaan akibat dari orang-orang yang mendustakan (buka Annahl:36). Wallahu a’lam.