REFLEKSI 1 JUNI: TRANSFORMASI IDEOLOGI PANCASILA MELALUI MIMBAR ILMIAH DAN CENDEKIA MUDA (BAGIAN II)

Sumber: Prodi PAI IAIN Pontianak

Oleh: Arief Adi Purwoko, S.Fil. M.Sc.

Pasca reformasi 1998, melalui Undang-Undang (UU) No.12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, Pasal 35 Ayat 3 yang mengatur bahwa Mata Kuliah Agama, Pancasila, Pendidikan Kewarganegaraan, dan Bahasa Indonesia merupakan mata kuliah wajib yang harus diajarkan di seluruh perguruan tinggi. Berdasarkan landasan hukum tersebut, maka proses transformasi ideologi dari alam pikiran manusia akan terus dielaborasikan untuk dapat disematkan pada praktik kehidupan keseharian melalui disiplin ilmu yang beragam.


Dalam arti lain, tujuan dari UU. tersebut yaitu bagaimana transformasi ideologi dapat dilakukan melalui perguruan tinggi, melibatkan struktur ilmu dan cendekiawan di dalamnya, lebih-lebih cendekia muda di dalamnya. Setidaknya dalam hal ini transformasi terbagi menjadi dua ornamen. Ornamen pertama berbentuk kolaborasi antara materi Pancasila dengan disiplin keilmuan yang luas, sehingga subjek Pancasila dalam arti ideologis mewarnai aspek aksiologis berbagai macam ilmu tersebut. Tentu saja bukan dalam bentuk indoktrinasi kaku dan sempit, melainkan transformasi dilakukan lebih dalam bentuk tawaran alternatif-alternatif pemikiran, sehingga ideologi dapat menjadi way of life bagi setiap warga negara.


Di bidang ilmu ekonomi misalnya, konsepsi ekonomi koperasi Dr. Mohammad Hatta, ekonomi kerakyatan Prof. Dr. Mubyarto, atau bentuk Ekonomi Pancasila yang pernah digagas di era Orde Baru, melalui pendekatan yang dilakukan oleh Prof. Dr. Emil Salim, merupakan contoh hasil penetrasi yang mempengaruhi aksiologis keilmuan. Gagasan-gagasan tersebut akan menjadi identitas nasional yang tidak hanya berhenti pada terminologi “Indonesia” saja, melainkan juga melebur pada sistem perekonomian yang khas dan berdaya positif terhadap keadilan ekonomi. Setidaknya hal tersebut jauh lebih baik daripada harus terombang-ambing tanpa perlawanan pada ayunan bandul kapitalisme maupun komunisme.

Demikian juga dengan orientasi sosial kebangsaan Indonesia yang jauh dari kata final. Pada kenyataannya perubahan nilai kehidupan dalam masyarakat tidak dapat terhindarkan. Contoh kasus dalam wacana disiplin sosiologi, perubahan corak kehidupan masyarakat dari bentuk peguyuban menjadi patembayan sangat tampak. Bukan berarti hal tersebut buruk atau salah sepenuhnya. Hanya saja bagaimana penjiwaan terhadap nilai kegotongroyongan harus diuji, mengingat hal tersebut merupakan nafas dari ideologi Pancasila. Dalam konteks tersebut mata kuliah atau materi Pancasila menjadi media penting dari rangkaian kampanye ideologi. Mata kuliah tersebut akan memberikan contoh-contoh kasus yang mengajak cendekia muda berkontemplasi, yakni melibatkan kasus-kasus hubungan antara hak-kewajiban individu-kelompok, tujuan individu-kolektif, dan batasan atas kebebasan untuk kemerdekaan kolektif.

Ini lah upaya transformasi ideologis dalam ornamen kedua bagi materi Pancasila. Dalam satu terminologi “gotong-royong” misalnya, hal tersebut akan melibatkan quale sosial yang sangat luas dan langsung berhadapan pada kehidupan masyarakat. Kegotongroyongan tidak hanya semudah membahas bagaimana batas-batas kenormalan individu dengan individu lain atau kelompok. Melainkan akan menjalar pada kemajemukan antar suku, ras, budaya, atau bahkan hubungan pemerintah pusat dengan daerah. Hingga diharapkan pada suatu kasus politik dalam struktur terkecil, yakni setiap individu berani menolak “money politics” demi tujuan kolektif.

Transformasi ideologi yang memadai akan membuat masyarakat lebih berdaya, terlebih jika proses tersebut melibatkan cendekia muda. Ideologi, sebagai penuntun cita-cita membutuhkan energi yang meledak-ledak sebagaimana dimiliki pemuda. Setiap ledakan memang berbahaya, hanya saja dengan sifat ketelitian dan ketenangan ilmu akan merubah dampak destruktifnya menjadi hal yang lebih konstruktif. Harapannya, perkawinan pemuda dan ilmu akan membuahkan anak-anak peradaban yang berkeadilan. Bukan lagi alat “adu mulut” politik atau  alat faksi kekuasaan tanpa menghasilkan karya yang memadai, dan kontradiktif dengan perilaku individu warga negara: menerima suap untuk kotak suara.

Isi dan sumber artikel ini merupakan tanggung jawab sepenuhnya penulis.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *