Calon Sarjana PAI, Yuk Menulis!

Oleh: Heriansyah
Alumni PAI 2009. Kecuali bekerja sebagai staff Kabiro IAIN Pontianak, juga aktif berbagi gagasan sebagai kolumnis opini di koran-koran dan mimbar-mimbar ceramah.

Saya ingin berbagi pengalaman, yang dulunya sebagai calon sarjana PAI yang kini telah menyandang status sebagai alumni PAI. Ya betul, saya merupakan alumni PAI angkatan tahun… dan kini bekerja sebagai Staff Kabiro di IAIN Pontianak almamater saya. Bagi saya, sarjana adalah orang yang telah menempuh pendidikan di bangku kuliah, selama kuliah mereka ini yang biasa disebut dengan mahasiswa mestinya terbiasa dengan dunia tulis menulis. Menurut saya begitu, dan saya telah memulai hobi menulis saya di sini, di almamater saya, IAIN Pontianak.

Jadi begini, bahwa proses sebagai mahasiswa jelas dinamis. Oleh karena dinamis itu pulalah, kita dapat memotret fenomena apapun dari sudut pandang kita: mahasiswa. Dulu, seingat saya pernah bergulir wacana bahwa salah satu syarat menyelesaikan pendidikan sarjana S1, kecuali harus menyelesaikan skripsi juga harus mempublikasi artikelnya di jurnal-jurnal, dan begitu dijenjang pendidikan berikutnya, S2 dan kemudian S3. Bahkan yang disebut terakhir, uumnya berkualifikasi jurnal internasional bereputasi.

Bagi sebagian orang, tentu saja wacana ini jika betul-betul terealisasi di jenjang S1 akan semakin menambah “beban” bagi calon sarjana; terutama bagi mereka yang jarang menulis dan tidak pandai “menulis”. Kabar ini sudah barang tentu akan membuat “gempar” calon sarjana yang tidak punya hobi menulis. Di perguruan tinggi di Jawa, dari beberapa informasi yang saya dapat sudah ada yang memberlakukannya. Hemat saya itu positif sih. Tapi lagi-lagi pertanyaannya, ini bebankah buat mahasiswa kita?

Ya, jikalau dipandang sebagai beban ya beban. Tapi saya yakin bahkan haqqul yaqin bahwa apapun syarat yang diberikan kepada mahasiswa untuk mendapatkan gelar sarjana, jika mereka sungguh-sungguh pasti akan dapat dicapai. Seperti mantra, “man jadda wajada”, siapa yang bersungguh-sungguh dia dapat, sebagaimana quote yang santer viral sejak Novel Negeri 5 Menara kaya A. Fuadi terbit di pasaran.

Jadi sederhana saja, bahwa mahasiswa yang ingin mendapatkan gelar pasti akan berusaha bagaimana memenuhi syarat terakhir untuk mendapatkan gelar itu. Jika memang toh mempublikasikan artikel jurnal jadi syarat memperoleh gelar sarjana, mengapa tidak. Ini wacana yang bagus. Tinggal, apakah mahasiswa tersebut mau atau tidak saja, dan semesta mendukung. Sekali lagi, walaupun itu tidak pernah jadi syarat kelulusan di kampus kita saat ini, mungkin ke depannya akan mengarah ke situ.

Tetapi poin yang ingin saya sampaikan di sini adalah bahwa, mahasiswa perlu terbiasa dengan dunia tulis-menulis sejak ia menempuh pendidikan kesarjanaannya. Apalagi sebagai “agent of change”, hemat saya modal mahasiswa itu banyak, pengalaman akademisnya banyak di kampus dan sekaligus di masyarakat, tentu pula aspirasi yang ingin disampaikan mestinya juga banyak. Kenapa tidak dituliskan saja?  Tentu, sedikit banyak ini akan membawa gagasannya di baca oleh banyak orang, dan syukur-syukur membawa perubahan.

Jauh Panggang dari Api

Namun, sangat kita sayangkan, saya (dulu dan sekarang) masih merasa bahwa dunia tulis menulis belum menjadi habituasi di tengah-tengah mahasiswa yang notabene adalah calon sarjana. Kebiasaan berbagi gagasan melalui tulisan, ini mandeg sebab alasan sibuk dengan makalah yang (sebenarnya seringnya copy paste saja), dan mungkin oleh karena bekerja sambilan. Jika sewaktu mahasiswa saja, mahasiswa enggan berbagi gagasan melalui tulisan, besok setelah mendapat gelar sarjana apalagi. Ala bisa karena biasakan?

Oleh karena itu, akan sangat disayangkan lagi jika ada sarjana (sebutlah Sarjana Pendidikan alumni PAI), yang masih menganggur kerja. Padahal jika mereka punya keterampilan menulis, di zaman “now”, zaman serba digital ini, bukannya tidak mungkin modal ini menjadi ladang penghasilan baginya. Jelas lowongan menjadi guru agama Islam sangat sempit sekali mengingat jumlah alumni yang dihasilkan dari rahim prodi PAI nantinya. Sebab itu, kuasailah keterampilan tambahan. Anda bisa menjadi jurnalis, bloger, penulis buku, peneliti, dan sebagainya.

Saya sendiri bukanlah orang yang pandai menulis, tapi saya sangat sadar pentingnya menulis. Sampai sekarangpun saya masih menulis dan membagikan karya saya ke koran-koran. Sebab tadi, saya punya pandangan, bahwa sependek apapun jumlah halaman dari tulisan yang kita buat, gagasan itu berpeluang dibaca banyak orang. Tidakkah itu membahagiakan?

Buat adik-adik saya calon sarjana pendidikan dari rahim prodi PAI, ada beberapa tips yang mungkin bisa menumbuhkan minat dan keterampilan menulis Anda:
Satu, rajin membaca dan bahkan sampai ke leval “kutu buku”. Sebab, boleh dibilang dengan rajin membaca maka Anda akan mendapatkan inspirasi dalam menulis. Seorang penulis biasanya dengan membaca buku atau surat kabar akan membantu mengembangkan ide dan pemikirannya serta mempelajari bagaimaan orang lain mengemukakan pandangannya lewat tulisan.

Dua, pahami bidang Anda. Menentukan spesialisasi ini memudahkan Anda untuk memilih tema atau buku yang Anda telaah, dan kemudian itu dituangkan ke dalam tulisan. Tentu saja, sulit bagi seseorang menulis yang bukan bidangnya, kecuali ya tadi… copy paste. Jangan sampai deh kalau begitu. Ntar terjebak pada plagiasi.

Tiga, asah keratifitas Anda dengan berimajinasi. Kreativitas dalam hal menulis juga berarti kemampuan Anda untuk berpikir secara berbeda. Tentunya imajinasi Anda penting dalam hal ini, dalam memproblematisasi isu sehingga tulisan yang Anda buat jadi menarik.

Empat, Anda harus punya kemauan dan ambisi. Bukan sekedar mau saja, tetapi juga ambisi. Ambisi menjadi penulis akan menimbulkan semangat, keuletan dan mendorong Anda melakukan apapun untuk meningkatkan skill Anda dalam menulis, semisal mengikuti training-training menulis, dan/atau training-training jurnalistik, membaca buku yang banyak, dan tak bosan-bosannya mengirim artikel atau esei ke media-media yang relevan. Kesemuanya ini akan mengasah kemampuan Anda dalam menulis, misalnya memilih diksi yang pas sehingga enak dibaca oleh pembaca.

Lima, luangkan waktu. Jadwalkan secara khusus kapan Anda akan menulis. Untuk itu perlu juga, Anda harus tahu di ruang dan waktu kapan Anda nyaman menulis. Sebab antara satu orang dengan yang lain akan berbeda dalam soalan ini. Semoga esei saya ini dibaca oleh adik-adik mahasiswa calon sarjana pendidikan dari prodi PAI. Dan dengan demikian, tulisan ini ada manfaatnya. ***

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *