MARHABAN YA RAMADHAN

Oleh: Ma’ruf Zahran Sabran

Marhaban berasal dari kata rahban. Rahban secara bahasa (etimologi) artinya lapang, peduli, memenuhi, dan bisa diartikan tunduk. Kemudian secara semiotika marhaban sering digunakan untuk ucapan selamat datang bagi tamu yang sangat dinantikan kedatangannya, dan dielu-elukan kehadirannya. Sedang Ramadhan berasal dari kata ramdhan yang artinya membakar. Selain dipahami bahwa setiap tahun di Madinah pada masa Nabi, Madinah berada pada musim panas yang menyengat sehingga bernapas terasa panas. Para ahli terminologi mengatakan Ramadan adalah bulan pembakaran dosa manusia. Oleh sebab itu, permohonan ampun kepada Allah SWT di bulan suci, sungguh-sungguh sangat dianjurkan. Sebab setelah Ramadan adalah bulan perayaan idulfitri (Syawal), setelah memasuki dan menjalani fase latihan sebulan (the month of training).

Maksudnya, diri pencinta Ramadan akan menjadikan bulan tersebut sebagai media kelapangan hati dengan melapangkan kesempitan hidup orang lain. Maka, satu paket dengan puasa Ramadan adalah zakat fitrah (pembersihan jiwa) dengan ukuran (batas) minimal 2,5 kilo gram makanan pokok. Selebihnya adalah infak, sedekah (sukarela), dan zakat mal (zakat harta) dengan ketentuan haul dan nisabnya (83 gram emas). Bagi orang kaya terdapat kewajiban zakat mal (zakat harta), dan bagi setiap diri memiliki kewajiban pembersihan perjiwa individu muslim dan muslimah melalui pembayaran zakat fitrah.

Satu paket Ramadan, selain zakat fitrah sebagai penyempurna lahir batin bagi yang berpuasa, terdapat salat sunah yang hanya terdapat di bulan Ramadan yaitu tarawih. Salat tarawih meski hukumnya sunnah, wajib dikerjakan dengan tertib. Makna tertib disini adalah tumakninah (tenang atau berhenti sejenak) pada perhentian antar gerakan salat, supaya terdapat perbedaan pada setiap gerakan yang selaras dengan bacaan serta kondisi hati sebagai patokan. Artinya berdiri dengan tumakninah, rukuk dengan tumakninah, i’tidal dengan tumakninah, sujud dengan tumakninah, duduk dengan tumakninah, salam dengan tumakninah.

Paket Ramadan juga menyediakan makanan dan minuman bagi orang yang berpuasa. Ibadah atau amal baik ini belum banyak terealisasikan di bumi Indonesia. Selayaknya menjadi gerakan amal yang massif sehingga menjadi bagian penting dalam mengiringi Ramadan mulia. Mulia dari hati yang memberi dan mulia untuk hati yang menerima. Negara-negara muslim di dunia, sebut Afrika. Meski negara miskin, mereka pengamal sunah, sudah terbiasa untuk menjamu orang-orang yang berpuasa Ramadan. Mereka mengajak orang-orang yang berpuasa untuk menikmati hidangan mereka. Sebab dari perut yang lapar, terbit doa yang tulus. Doa yang tulus lahir dari diri yang kelaparan dan kehausan. Sedang hidangan yang disantap saat berbuka puasa, segera dirasakan oleh tubuh. Tubuh yang menyerap mineral, nutrisi, vitamin, protein, kalium, kalsium, karbohidrat. Lalu, milik siapakah tubuh-tubuh yang sedang berpuasa dan sedang berbuka? Milik Allah, siapa yang memuliakan milik Allah, niscaya Allah kasih, Allah sayang, Allah cinta kepada yang menyirami dan menumbuhkan ciptaan-Nya, memelihara dan merawat hasil karya-Nya.

Gerakan berbuka puasa dengan sedekah harus menjadi bagian dari agenda Ramadan tahun 1445 Hijriah. Niscaya Tuhan akan melimpahkan rahmat Ramadan, di dalam dan di luar bulan Ramadan. Agenda masjid yang terbuka untuk umum, jangan masjid hanya digunakan untuk salat lima waktu. Pengalaman menunjukkan masjid hanya digunakan untuk keperluan azan, salat, lalu pulang. Jam 20.00 masjid sudah gelap-gulita, gerah. Bahkan masih banyak para musafir yang berhajat salat, sementara masjid sudah digembok. Berbeda dengan layanan-layanan SPBU 24 jam, supermarket 24 jam, penerbangan internasional 24 jam, pelabuhan internasional 24 jam, rumah sakit 24 jam, cafe 24 jam. Layanan jasmani tersebut telah memberi hak leluasa kepada rakyat. Kemudian bagaimana layanan masjid yang berbasis rohani umat?

Masjid yang steril dari umat, mungkin ibarat kuburan yang berpendingin udara (ac). Karpet hijau dengan harga yang paling mahal, namun umat tidak banyak yang tertarik dengan masjid. Jamaah salat Zuhur hanya satu baris dengan komposisi 85 persen adalah manula dan orang tua. Lalu, 15 persen adalah anak-anak. Kemanakah remaja kita?

Momen Ramadan dimampukan untuk memberikan nutrisi tambahan pemahaman agama yang benar kepada generasi. Bukan dengan mengecilkan arti mereka, kajian Al-Quran dan sunnah digalakkan dengan prinsip Islam yang menjadi rahmat bagi seluruh alam. Umat yang solid dan umat yang peduli sebagai didikan Ramadan.

Mengingat, peristiwa yang sangat menyedihkan, menusuk perasaan kita semua. Tercatat, Kamis, 7 Maret 2024 Miladiah, bersamaan 27 Syakban 1445 Hijrah, malam Jumat, pembacokan di jalan Nirbaya, telah membuat kaget warga yang sudah mulai istirahat malam. Kejadian sontak membuat masyarakat menjadi khawatir dan sangat prihatin. Keprihatinan yang datang dari seluruh elemen bangsa.

Tragis, dahulunya telah diawali aksi begal-brutal di jalan Apel, Pontianak Barat. Lalu di jalan Tani, Pontianak Timur. Pelakunya adalah pelajar sekolah dan anak-anak putus sekolah. Bukan persoalan sepele, sebab sudah menyangkut keselamatan jiwa pengguna jalan. Tawuran di tengah kota, sebuah tamparan bagi dunia sekolah dan madrasah.

Sebagai guru dan pemerhati sosial, pendidikan, agama, wajib merasa terpanggil untuk penyelamatan generasi mendatang. Pembenahan insani lebih penting daripada administrasi laporan guru. Artinya guru diminta lebih banyak berperan bersama siswa di kelas. Pembersamaan guru-siswa penting, perapatan dengan mereka. Waktu guru jangan dihabiskan dari rapat ke rapat, laporan online, dan seluruh profesi keguruan jangan dihabiskan di luar kepentingan siswa, bila tidak ingin keguguran.

Keguguran atau kegagalan pendidikan menjadi kewajiban moral tiga pusat pendidikan. Pendidikan informal di rumah, pendidikan non formal di masyarakat dan pendidikan formal di sekolah. Alih generasi pada tiga pusat pendidikan ini yang hampir bahwa generasi tua belum dapat memahami generasi zaman ini. Itu disebabkan diantaranya latar belakang yang jauh berbeda antara dua generasi. Satu sisi, gerak lamban generasi tua sangat sulit untuk dipahami generasi muda yang serba instan.

Merefleksi dan meredefinisi budaya pendidikan bukan atas dasar atasan dengan bawahan, namun kemitraan. Jadilah sahabat anak, bukan menjadi musuh anak. Orang tua wajib mendengar resah, kesah, lelah anak.

Tragedi kemanusiaan yang terjadi merupakan indikator bahwa orang tua mengalami tekanan budaya (sock culture) dari anak-anaknya, terutama yang berusia SMP dan SMA. Akibatnya, anak tidak memiliki tempat untuk curahan hati (curhat), jadilah anak dengan perilaku menyimpang sebagai pelampiasan perasaan.

Mengapa remaja kita tiada merasa berdosa saat mengayunkan clurit kepada orang yang tidak bersalah? Separah itukah adab kemanusian?

Sudah saatnya puasa Ramadan tidak sekedar formalitas agama yang kering makna. Praktik agama yang meritus namun sebatas ritualistik saja. Pembinaan, pelayanan, pendidikan, persekolahan yang sekedar segmentasi dan pragmentasi tanpa menyentuh esensi pembangunan mental, tak ubahnya materi pelajaran yang membebani.

Ramadan merupakan upaya menyatukan dua generasi, generasi x dan generasi z untuk kembali ke rumah bersama, Indonesia. Back to home, mari kita bangun bersama. Ramadan in my home akan mengembalikan roh kekeluargaan yang mungkin saat ini sudah mulai rapuh. Sebab hari ini rumah tangga, hubungan, nasehat, kasih sayang dan cinta berbasis keluarga, sudah hampir tergantikan oleh media sosial berbasis internet, begitu juga peran sekolah dan madrasah. Mari bersama melakukan evaluasi diri. Wallahua’lam.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *