MAWAS DIRI SETELAH IDULFITRI

Oleh: Ma’ruf Zahran Sabran

DIRI, pembahasan yang tidak pernah jeda dan tiada henti. Struktur diri adalah kerajaan yang paling mengemuka di dunia. Rajanya adalah roh, panglima adalah hati, prajurit adalah semua anggota tubuh. Mungkin selama Ramadan, kerajaan diri tunduk kepada Tuhan, sebab situasi dan kondisi yang sangat memungkinkan sangat banyak-nya perilaku taat. Namun kuantitas perilaku taat tidak selamanya tidak menunjukkan kualitas (mutu) taat. Ramadan kemaren menjanjikan: “Jika datang bulan suci Ramadan, dibukakan pintu-pintu surga, ditutup pintu-pintu neraka, dan dibelenggu para syaitan.” (Hadis riwayat Bukhari Muslim). Lalu, bagaimana perilaku taat pascaramadan dan pascaidulfitri?

Pertama, mawas diri dari sifat Iblis. Iblis dan iblisiyah, wataknya bertitiktumpu pada sifat kesombongan. Siapa yang mengikutinya pasti celaka. Iblis berasal dari kata balasa, yublisu, iblis yang artinya berputus-asa. Orang yang berdosa kemudian berputus-asa dari rahmat (kasih-sayang), maghfirah (ampunan) dari Allah SWT sehingga berlama-lama dalam dosa adalah contoh manusia yang tertipu dengan ajakan Iblis. Dihadapan manusia, Iblis mengaku sebagai penasehat yang ulung. Iblis mengaku tahu tentang Tuhan. Iblis bisa menggambarkan surga tiruan dalam alam pikiran manusia, begitu juga tentang neraka imitasi. Iblis tidak segansegan mengaku malaikat, bahkan sanggup mengaku Tuhan.

Kaum beriman harus menjadikan Iblis dan pasukan tentaranya (syaitan) selaku musuh yang nyata. Bahwa apa yang dijanjikan Iblis tentang surga adalah dusta, dan apa yang diancamkan Iblis tentang neraka adalah dusta belaka. Artinya, surga dan neraka tipuan, konsekuensinya taat tipuan dan maksiat tipuan menjadi rencana besar Iblis. Masa yang dikisahkan Rasulullah SAW dahulu, kini sudah menjadi kenyataan. Bahwa yang buruk dikatakan baik, dan yang baik dikatakan buruk. Malah tidak ada ibu yang melahirkan bayinya, kecuali nanti menjadi majikannya. Artinya ibu menjadi pesuruh sedang anak menjadi majikan (anak durhaka). Masa itu telah Allah SWT hadirkan ditengah kehidupan ini. Sedikitnya jumlah anak yang berbakti, dan banyaknya jumlah anak yang durhaka. Disamping ibadah hanya sekedar formalitas atau sebatas menggugurkan kewajiban, atau sudah lama tidak beribadah sama sekali, atau tidak salat dan tidak puasa lagi.

Dua, mawas diri dari sifat binatang jinak (bahimiyah), atau binatang ternak. Surah Al-A’raf (7) ayat 179 telah menerangkan sifat binatang ternak. Dalam firman Tuhan telah dituliskan: Dan sungguh, akan Kami isi neraka Jahannam dari kebanyakan jin dan manusia. Mereka memiliki hati, tetapi bukan untuk memahami (ayat-ayat Allah).

Mereka memiliki mata namun tidak melihat dengan matanya. Mereka memiliki telinga namun tidak mendengar dengan telinga. Mereka itulah hewan ternak, bahkan lebih sesat lagi. Mereka adalah orang-orang yang lalai.

Tiga, mawas diri setelah idulfitri juga mewaspadai sifat dari binatang buas (subu’iyah). Sifat binatang buas memang tersimpan dalam diri manusia, seperti menyergap, menyerang, menerjang, menendang, melukai, membunuh. Sifat kekuatan ini seharusnya dipergunakan bagi tujuan-tujuan kebaikan dan menopang kebahagiaan. Demikian pula sifat jinak pada tubuh manusia seharusnya bisa disublim untuk sifat lemah lembut, santun, penyayang, pengasih. Sekarang, sifat bahimiyah dan subu’iyah digunakan untuk kebaikan atau kejahatan?

Empat, mawas diri dari sifat syaithaniyah. Sifat syetan seperti berbohong atas nama Allah, mengadu domba (namimah), gosip (ghibah), mengada-adakan tentang Allah (fitnah), menyuruh berbuat dosa, menjadi bakhil dan penganjur kebathilan, menyebar permusuhan, dan anti Tuhan.

Iblis dan syaitan merupakan musuh utama Allah, Rasulullah dan kaum beriman. Sehingga kerap kali Tuhan peringatkan semua manusia supaya tidak tertipu dan tidak tertarik dengan dunia. Dunia sudah dijadikan Tuhan sebagai alat pengecoh manusia. Jangan ikuti langkah-langkah syaitan! Firman Tuhan: “Wahai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhan (kaffah). Dan jangan kamu mengikuti langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya dia (syaitan) bagi-mu musuh yang nyata.” (Al-Baqarah:208).

Lima, mawas diri dari sifat ketinggian Tuhan (rabbaniyah al-a’la). Sifat ketuhanan ini intinya ada empat, jalal (keagungan), jamal (keindahan), kamal (kesempurnaan), qahar (kekuatan). Keempat sifat ini adalah sifat kebesaran yang dimiliki-Nya (walahul kibriya’). Tidak boleh seorang hamba menyandang, atau memakai selendang kebesaran Tuhan. Siapa yang memakai untuk diri yang penuh kesempurnaan, niscaya Tuhan lemparkan ke neraka. Sebab hanya Dia yang berhak untuk sombong (almutakabbir huwallah). Sedang busana manusia adalah tawaduk (rendah hati) seperti kehinaan, kelemahan, kekotoran, kecacatan. Hamba yang sebenarnya hamba, asalnya adalah tiada berdaya. Kembalikan diri kepada asal sebagai makhluk ciptaan, dari tidak tahu menjadi tahu, dan kembali tidak tahu. Dari tidak pandai, menjadi pandai, kembali tidak pandai. Diri yang merasa tidak pandai (fana) di dunia, di akhirat akan dipandaikan selamanya di dalam surga Aden. Diri yang merasa mati (fana) di dunia, di akhirat akan dihidupkan selamanya di surga Aden untuk orang-orang yang bertakwa. Surga yang mengalir sungai-sungai dibawahnya, dengan buah yang banyak, tidak berhenti berbuah dan tidak dilarang memetiknya. Pakaian mereka dari sutera tebal dan sutera tipis, gelang-gelang mereka terbuat dari emas dan mutiara.

Sisi buruk bisikan hati yang halus pada titik ketuhanan selalu mengajak diri untuk sombong karena merasa kuat, suci, indah, cantik, tampan, sempurna, agung, dan diri yang maha benar. Artinya, kedirian yang mencuri sifat Allah SWT. Egosentris yang berbahaya terutama bagi diri sendiri, dan berbahaya bagi orang lain. Lebih berbahaya lagi bila disandarkan atas nama Tuhan yang suci, atas nama agama-Nya, atas nama utusan-Nya. Kini yang banyak terjadi, hamba yang hina tidak segan lagi menggunakan nama Tuhan yang maha suci atas nama organisasi, yayasan, perkumpulan atau perhimpunan. Lebih mengkhawatirkan lagi, bila legalitas agama untuk pembenaran perbuatan korup dan money loundry. Pelanggaran syariat dan hakikat atas nama Tuhan, hukum, agama dan masjid terkadang sudah menjadi kebiasaan lingkungan yang dirancang (habit). Kerap kali terjadi di lingkungan yang dianggap suci dan di rumah-rumah ibadah.

Maksudnya, pelaku taat tidak lepas dari godaan diri yang merasa taat. Taat merupakan lambang dari lambang-lambang kebesaran Tuhan, namun banyak dipakai oleh pelaku taat. Bukankah ini tipuan samar? Benar, inilah sebenarnya tipuan samar yang ada di dalam diri, bukan di luar diri. Waspada pada diri taat di dalam dan di luar bulan Ramadan. Jangan ikuti Fir’aun yang merasa kuat, jangan ikuti Qarun yang merasa kaya, jangan ikuti Hamanyang merasa berilmu, mereka bertiga dijelaskan Tuhan dalam surah al-Qasas. Ketiga person tersebut pasti binasadan hancur. Al-Qasas pada ayat terakhir (88) mewartakan dalam kalam suci-Nya: “Dan jangan engkau menyembah Tuhan selain Allah. Tidak ada Tuhan selain Dia. Segala sesuatu pasti binasa, kecuali Allah. Segala keputusan menjadi wewenangNya, dan hanya kepada-Nya kamu semua dikembalikan.”

Sedang ke-lima, sifat ketuhanan (rabbaniyah), posisinya di dada, titik spiritual (latifah) diantara dua susu, telah dijelaskan tadi. Adapun sifat ke-enam adalah keakuan (ananiyah), posisi titik sentralnya di dahi (kening) atau posisi diantara dua alis. Mempersekutuan Tuhan yang sangat rawan adalah dengan diri sendiri (ananiyah). Selama diri belum mengenal Allah SWT, pasti diri masih berada dalam penjara yang berjeruji besi jasmani dan rohani. Hanya dengan mengenal Allah dan Rasul-Nya, tembok diri terbuka, dinding (hijab) diri terkuak. Sejalan dengan kaedah: “Siapa yang mengenal dirinya, niscaya dia mengenal Tuhan-nya. Siapa yang mengenal Tuhan-nya, binasalah dirinya.”

Mawas diri pada nuktah halus spiritual terakhir (tujuh) adalah titik jahiliyah (kebodohan). Kebodohan menutupi seluruh pintu hidayah, menyekat semua pintu taufik, kebodohan mematikan iman dan akal. Bahkan kebodohan menyelimuti segenap fakultas diri (kullu jasad). Kerap kali kitab suci mengatakan: “Jangan kamu menjadi bodoh” atau sering secara berulang disebut: “Dan berpalinglah kamu dari orang-orang bodoh.” Orang-orang bodoh (jahilun) adalah orang yang tidak mau mengetahui dan tidak mau menyadari tiga dimensi yang pasti telah hadir, sedang hadir, akan hadir. Kesadaran masa, masa lalu (azali), masa sekarang (duniawi), masa depan (ukhrawi). Manusia yang cerdas dan cerah jiwa adalah senantiasa berkesadaran (counsiusness) terhadap ketiga tempat (ranah) dan waktu, kondisi tersebut, bahagia dunia dan bahagia akhirat, serta terhindar dari api neraka. Dimasukkan ke dalam rumah rahmat Allah, segera berjumpa dengan-Nya.

Titik halus kebodohan berposisi di ubun-ubun setiap manusia. Untuk mengusir kebodohan yang tiada berkesadaran adalah dengan zikir. Zikir artinya berkesadaran sepanjang hayat, bila ingat bisa lupa. Namun bila zikir adalah berkesadaran terus tanpa tergerus oleh ruang dan waktu. Zikir bersahabat dengan pikir, keduanya membuahkan amal saleh. Amal saleh akan terhantar dengan ikhlas, ikhlas seperti Rasul-Nya, Nur Muhammad. Maka ikhlas merupakan induk (roh) amal saleh. Ikhlas yang menjamin diterimanya (qabul) semua ketaatan murni. Sebagaimana sabda baginda: “Orang yang berilmu itu celaka, kecuali yang beramal. Orang yang berilmu dan beramal akan celaka, kecuali yang ikhlas.” (Hadis riwayat Abu Daud). Sedang dalam pepatah Arab disebutkan: “Al-‘ilmu bila ‘amal, kasysyajarah bilats-tsamar” (ilmu tanpa amal, seperti pohon yang tidak berbuah).

Demikian literasi dibentang guna mengambil manfaat dari puasa Ramadan dan hari raya idulfitri (1 Syawal) dan guna melestarikan nilai puasa wajib supaya selalu hangat, dengan melazimi puasa sunnah, terutama puasa enam hari di bulan Syawal, dan guna mencegah diri dari perbuatan keji, jahat, dan dosa. Menjaga kehangatan, kebaruan dan kesemangatan tarawih dengan salat-salat sunnah di luar bulan Ramadan. Menjaga kemaafan idulfitri melalui gerakan memaafkan. Dari memaafkan menjadi selalu memaafkan. Dari silaturahmi menjadi ahli silaturahmi. Dari bersedekah menjadi gemar bersedekah dalam jumlah banyak atau sedikit, dalam keadaan lapang atau sempit. Dari rajin berzikir menjadi senantiasa berzikir. Artinya, hamba yang sudah bersama Allah (ma’allah), dan hamba yang telah berada di dalam (rahmat) Allah (fillah). Dengan istilah “meramadankan sebelas bulan setelah Ramadan, dan mengidulfitrikan dengan spirit memaafkan untuk sebelas bulan kedepan.” Nilai puasa dan sifat memaafkan sudah menjadi pesan-pesan Tuhan yang wajib diamalkan. Solusinya, berzikir secara berketerusan (mudawwamah) pada setiap ruang dan waktu. Mata, telinga, mulut dan hati berzikir. Artinya, setiap hari berhakikat idulfitri. Wallahua’lam.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *