Alumni PAI dan Jejak Segitiga Intelektualnya

Susana Mita, S.Pd (Alumni PAI IAIN Pontianak Angkatan 2012, Guru di SDN 2 Nanga Kayan)

Sebagai alumni Program Studi Pendidikan Agama Islam, Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan di IAIN Pontianak, saya terbiasa membaca. Bahkan, sampai saat ini saat saya sudah berkarir sebagai Guru PAI dan wali kelas di SDN 2 Nanga Kayan, saya masih membiasakan membaca lebih dulu sebelum mengajar siswa.

Belum luput dari ingatan saya saat menempuh pendidikan di prodi PAI. Ada banyak dosen saya yang menekankan pentingnya baca. Saya yang berasal dari daerah terpencil, yang sebelumnya kurang suka baca buku, jadi termotivasi untuk menggiatkan baca dalam kebiasaan saya. Saya yakin, teman-teman saya dulu di angkatan 2016 juga memiliki pengalaman belajar yang sama.

Seiringnya berjalan waktu demi waktu yang di lewati, saya mulai, tertarik dengan banyak buku, dan tambahan lagi ada kelompok-kelompok diskusi tempat saya bisa nimbrung dan mendiskusikan bahan bacaan saya. Ya betul, bahwa membaca jelas tidak cukup, akan menjadi gelembung-gelembung saja, jika tidak beririsan dengan kebiasaan mendiskusikannya dan bahkan menuliskannya.

Waktu itu saya bergabung di Klub Menulis IAIN Pontianak, di bawah bimbingan Bapak Dr. Yusriadi kakak-kakak senior di Klub Menulis, dan berhasil menelurkan sebuah buku berjudul “Perjalanan Hidupku” yang diterbitkan oleh STAIN PRES. Tapi tidak saja Klub Menulis, berkat bergabung dengan teman-teman di kelompok diskusi kecil yang kami beri nama FORDISTO (Forum Diskusi Tokoh) di bawah bimbingan Sekprodi PAI saat itu bapak Syamsul Kurniawan, ini memberi ide saya dan kawan-kawan di kelas yang kemudian juga melahirkan karya tulis berupa buku keroyokan tentang Pemikiran Pendidikan Islam, yang terbit di Samudera Biru Yogyakarta.

Di FORDISTO, kelompok diskusi kecil ini saya belajar menjadi mahasiswi yang aktif-percaya diri dan bukannya mahasiswi pasif-kurang percaya diri. Sebab apa? Sebab bersama teman-teman, saya berani mengungkapkan gagasan-gagasan tanpa harus takut salah. Dan ini, kata Bapak Syamsul Kurniawan keuntungan bagi teman-teman yang bergabung dengan kelompok-kelompok diskusi. FORDISTO saat itu mendiskusikan berbagai masalah, mulai dari politik, sosial, agama, maupun pendidikan. Tidak hanya kami yang menjadi narasumber (dari kelompok diskusi ini), terkadang juga ada narasumber yang sengaja kami undang untuk menambah referensi wacana kami. Tempatnya pun fleksibel, kadang di bundaran kampus dan pendopo. Hal ini karena teman-teman FORDISTO berpandangan bahwa diskusi tidak hanya harus terjadi di kelas, akan tetapi juga bisa di luar kelas.

PENTINGNYA

Jadi, saya hanya ingin menyampaikan bahwa “segitiga intelektual” mahasiswa ini penting menjadi habits (kebiasaan). Maka adik-adik mahasiswa, calon sarjana pendidikan dari Prodi Pendidikan Agama Islam jangan apatis dengan budaya baca, menulis, dan berdiskusi. Siap tidak siap harus mempersiapkan diri, mengingat pentingnya segitiga intelektual ini.

Asalkan ada kemauan dan kehendak mesti ketiganya ini akan berjalan dan bermanfaat bagi kita. Hanya saja tantangan terbesarnya adalah mendokbrak kemalasan pada diri sendiri. Itu saja sih menurut saya. Dan, itu saya kira susah. Padahal jika ini dibiasakan, baik itu membaca, menulis, atau berdiskusi akan mempermudah mahasiswa dalam beradaptasi dengan tugas-tugas yang diberikan oleh dosennya seperti makalah dan diskusi di kelas. Bahkan, di penghujung masa menyandang status sebagai mahasiswa, yaitu saat menyusun proposal dan skripsi, akan terasa sekali manfaatnya. Dengan adanya seitiga intelektual ini, kitayang mahasiswa akan menjadi lebih matangdan lebih siap menyelesaikan studi, sehingga tidak ada insecure atau masalah yang rumit di hadapi dalam prosesnya.

Saat menjadi alumnipun demikian. Apa lagi ketika kelak ditempatkan mengabdi di daerah-daerah terpencil seperti pedesaan/kampung, mesti akan terasa sekali manfaat segitiga intelektual ini. Seperti saya mengajar di SDN saya harus siap mendidik siswa dari berbagai bidang mata pelajaran, ada Matematika, Bahasa Indonesia, IPA, IPS, PPKN, dan SBDP. Jadi tidak hanya mengajar PAI saja. Sebab, terkadang dalam banyak kasus demikianlah faktanya. Kita harus siap!!!.

Nah, marilah adik-adik mahasiswa yuk baca, yuk menulis, dan yuk budayakan diskusi. Semakin sering, semakin bertambah ilmu dan wawasan serta pengalaman. Semoga bermanfaat.***

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *