SELAMAT HUT PGRI: EVALUASI DIRI

Oleh:Ma’ruf Zahran

Rakyat Indonesia sejak dahulu sudah terbiasa dalam habitus kehidupan berfalsafah gotong- royong. Meski pada masyarakat perkotaan semangat gotong-royong mulai kendur. Banyak faktor yang melatarinya, disamping kesibukan yang membuat seseorang terlalu fokus pada dirinya sehingga abai terhadap yang lain, juga keinginan menjaga privasi dan prestise supaya tidak diretas oleh publik. Keinginan rasa nyaman inilah yang membuat sebagian orang terlihat kurang bergaul. Atau mungkin terkandung alasan yang tidak bisa dilacak karena menjauh dari pergaulan digital dan manual. Untuk alasan yang terakhir ini, tidak bisa dijelaskan kecuali yang bersangkutan.

Dalam konteks ini,sebagian masyarakat eropa sudah mulai jenuh dengan IT. Mereka ingin “back to nature” seperti di Finlandia, Venezuela yang tampak pada pembelajaran dengan buku tulis dan pensil. Indikator lainnya bahwa mereka ingin hidup dalam kapasitas udara yang sehat, no smoking. Bersepeda dan berjalan kaki, sehingga mobil dan motor tidak ditemukan disana, sebuah upaya mengurangi ketergantungan kepada gas alam. Dan harapan hidup menjadi relatif lebih panjang, disamping menjaga suasana hati untuk selalu gembira, tidak mengkonsumsi alkohol dan mengurangi penggunaan obat-obat kimia. Intinyakehidupan mereka enjoy dan happy, tidak ada tekanan (stress) profesi, tekanan jabatan. Namun budaya saling mengerti dan saling memaafkan sudah menjadi life style.

Tulisan pengantar di atas mengiringi pembahasan tentang tema peringatan hari guru tahun ini adalah “Transformasi Guru Wujudkan Indonesia Maju.” Menurut penulis tidak sekedar transformasi dari manual ke digital, dari pola agraris ke industri. Sebab pendekatan pendidikan bukan berorientasi profitable sebuah perusahaan, namun investasi manusia seutuhnya yang tidak memakai target dan tengat waktu (life long education). Artinya pembicaraan pendidikan perlu ruang khusus yang diikuti oleh perhatian serius.

Tidak jarang hari ini guru diistilahkan seperti manajemen tukang sate. Dia yang mencari bahan dari daging mentah, meraut pelepah kelapa untuk diambil lidinya, menumbuk kacang tanah sehingga menjadi bumbu, mencari beras sampai menjadi lontong, dia pula yang memasak, menjual dan menyajikan, bahkan tidak jarang dia pula yang mencuci. Kasihan mengamati profesi guru hari ini, sebuah kerja administratif. Sementara besok pagi dia wajib beralih status sebagai guru yang profesional. Apakah mengajar tidak memerlukan energi? Kerja guru adalah kerja otak, bukan kerja fisik. Namun kenyataan di lapangan, guru sudah sangat lelah karena mengajar 42 jam dalam sepekan, sebab kekurangan jumlah guru. Masih ditambah lagi dengan kerja aplikasi yang menuntut penyesuaian dengan templet yang tersedia di laman.

Tidak dapat disalahkan karena permintaan laporan administrasi yang harus selalu ter-up date setiap hari. Berakibat terkadang inovasi pembelajaran di dalam kelas menjadi tumpul. Dampak ikutannya adalah pembelajaran tidak bergairah, ibarat sayur tanpa garam. Hambar, guru yang semestinya mengajar telah disibukkan oleh tugas kantor dan laporan. Sementara siswa yang semestinya belajar telah disibukkan oleh tugas rumah dan laporan. Sehingga ilmu pengetahuan yang tadi diterima di sekolah tidak sempat jeda untuk mengalami masa “endapan” memori. Jadilah anak-anak “bongkok sebelum masanya.” Anak-anak yang sudah kehilangan elan vital sebagai  insan pembelajar, karena ambisi dan ekspektasi sekolah dan orang tua, masyarakat pengampu  kepentingan dan masyarakat pengguna alumni. Terlalu berat tagihan dan tanggungan beban  belajar, sehingga yang menjadi korban adalah anak-anak kecil kita yang belum sempat bertunas, ibarat layu sebelum berkembang, kuncup sebelum tumbuh.

Ulang tahun guru kini sangat perlu mendaur kembali tatanan pendidikan kita dalam sequences materi dan sequences waktu. Evaluasi diri dari tahun ke tahun mutlak diterapkan, bukan saja dari metode dan media, melainkan juga evaluasi guru sebagai mitra belajar siswa. Mendesak  untuk disadari bahwa pembelajaran tidak saling berlomba, sebab hakikat pembelajaran bukan perlombaan (olimpiade).

Memahami literasi ini bukan berarti guru tidak boleh memaksa siswa untuk disiplin, melainkan harus dijelaskan kebaikan yang dikandung oleh penegakan disiplin dan keburukan yang disimpan dari pelanggaran disiplin. Dampak kebaikan disiplin yang menjadi nilai pembelajaran jangka pendek, menengah dan panjang. Demikian pula keburukan dari sikap abai pada disiplin secara langsung dan tidak langsung akan merugikan seseorang. Sebab manusia cenderung berkali-kali melakukan sesuatu bila dipandang dan dirasakan mampu memberi manfaat. Proses pembelajaran inilah yang dimaksud the meaning full, pembelajaran berkesadaran penuh makna.

Sebab tuntutan kurikulum merdeka tidak sekedar menghapal lalu mengucapkan, melainkan juga dituntut melakukan refleksi dalam bentuk berpikir kritis, inovatif, kreatif, kolaboratif, komunikatif, literasi informasi serta moderasi beragama. Pengharapan hadirnya lingkungan generasi emas 25 tahun kedepan adalah mereka yang mampu bekerjasama dalam tim. Persyaratannya adalah mesti terdapat kesepakatan bahwa guru dan siswa merupakan mitra bagi jaringan komunitas belajar (learning community) dengan meminjam istilah empat pilar dalam  proses pembelajaran diantaranya learning to live together (belajar hidup bersama). Pilar ini yang hemat penulis sulit diterapkan untuk siswa, bukan berarti tidak bisa. Namun perlu waktu kesabaran, salah satu upaya pemantik adalah dengan belajar kelompok.

Penilaian authentic pada skala belajar kelompok disarankan bahwa guru jangan hanya sekedar menilai hasil, tetapi juga proses. Pembelajaran kelompok telah jamak mengusung nilai-nilai karakter bangsa. Peduli, kerjasama, toleran, gemar membaca, berani, bertanggungjawab adalah bentuk dukungan pola belajar kelompok. Sebab, ruh dari belajar kelompok tidak bisa diwakili oleh media digital internet (ICT). Kecuali wajib face to face, learn to learn. Artinya jika ingin merasakan bagaimana rasanya berdiskusi tidak bisa lewat vicon, sebab suara, mimik, intonasi, ekspresi tidak bisa diwakili oleh alat. Kalau-pun bisa, menjadi sangat terbatas. Orang bijak mengatakan, jika ingin merasakan lumpur jangan berteori, terjunkan diri ke dalam lumpur. Bila ingin merasakan kelaparan orang-orang miskin, berpuasalah! Bila ingin tahu jeritan hati seorang ayah, jadilah ayah bagi anak-anakmu! Bila ingin merasakan perhatian seorang ibu, jadilah ibu dari anak-anak! Inilah kurang lebih yang diharapkan dari penerapan kurikulum merdeka sebagai evaluasi guru, oleh-oleh berupa introspeksi dan ucapan selamat memperingati Hari Guru Nasional dan HUT ke-78 tahun untuk PGRI, jaya guru Indonesia.

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *