HINDARI STRESS PASCA GAWAI

Oleh: Ma’ruf Zahran

Setiap individu tidak terkecuali pasti pernah merasakan pengalaman pahit (trauma),minimal rasa kecewa. Namun tidak boleh dipungkiri bahwa di sela-sela kekecewaan terdapat banyak kepuasan. Tuhan jadikan kesulitan yang selalu membersamai kemudahan. Sungguh beserta kepayahan menyimpan banyak hikmah kemudahan. Setelah usai satu pekerjaan, susul dengan pekerjaan yang lain, dan kepada Tuhan sebaiknya kamu berharap. Optimis tentang kebaikan tetap ada, walau ditengah keburukan yang sedang memeluk diri. Literasi ini dihadirkan bertujuan untuk menelisik fenomena yang sedang hangat dibicarakan. Dengan tajuk tulisan hindari (upaya preventif) terhadap stress pasca gawai.

Stress pasca gawai diantaranya pertama, pasca menikah. Bila saat tunangan mungkin yang dikata adalah kata yang penuh cumbu-rayu, dilantunkan berirama merdu, penuh sanjungan sayang dan perhatian kasih, bak buluh perindu. Begitu pula tampilan yang semuanya dibungkus “kamuflase” atau perilaku tiruan, pencitraan. Pasca menikah, baru tampak watak aslinya setelah sepekan menjalani hidup dalam satu rumah. Sebulan, tak tertahankan perang dingin kutub utara dan kutub selatan dengan ego masing-masing. Belum lagi campur tangan pihak ketiga, keempat, kelima. Dalam konflik internal pasutri diperparah oleh faktor eksternal berupa keterbatasan ekonomi, keterlibatan orang ketiga, dan kecanduan pemakaian handphone di luar batas. Bulan kedua berumah-tangga, fenomena saling menyerang-pun terjadi. Kasus sepele seperti suami pulang malam, istri sibuk dengan handphone beserta gamesnya. Belum lagi persoalan logistik, kosmetik, dan budget tak terduga lainnya. Bulan ketiga, bila apipermusuhan tidak dipadamkan, niscaya akan mengancam usia pernikahan, tragis.

Pasutri, dua karakter yang berbeda ingin disatukan tidak hanya dalam bentuk simbol.Namun setulus emas-murni, seputih kapas, sekuning padi. Sebab yang disatukan bukan sekedar satu rumah, satu ranjang, satu kendaraan, satu KK. Namun lebih wajib disatukan adalah satu iman, satu keyakinan, satu kepercayaan untuk menghadapi gelombang kehidupan bersama dengan tekad yang kuat (‘azam) untuk se-nasib, se-penanggungan, se-penderitaan dalam menempuh ujian, menghadapi cabaran problem yang datang setiap waktu, menghadang dengan sabar.

Ekstra sabar sangat diperlukan ketika sudah dengan pasangan. Berbeda ketika masih jomblo, tidak terikat hak dan kewajiban suami-istri. Karena besarnya ujian dalam berkeluarga, hatta nabi Muhammad SAW menyatakan: separuh dari agama adalah menikah. Menurut penulis, kesabaran sangat dipentingkan, karena sabar adalah separuh nilai agama yang banyak diuji saat berumah-tangga. Separuhnya lagi adalah syukur. Sikap syukur dan sabar akan menerbitkan sikap ridha.

Uraian sikap sabar maksudnya menyabari kelemahan pasangan, lalu memahami kekurangan-nya. Sikap syukur maksudnya mensyukuri kelebihan pasangan, kemudian memahami kelebihan-nya. Walau dalam kelebihan ada kekurangan, dalam kekurangan terdapat kelebihan. Penilaian ini sangat subjektif. Sungguh yang diharapkan dalam keluarga bukan sebatas adu argumentasi, kecuali sikap saling simpati, empati dan altruisme. Sumber sikap luhur tersebut adalah fakta kesepakatan dan kesepahaman, demi bahtera rumah cinta yang dijanjikan sewaktu akad nikah.

Mengingat hari ini terlalu banyak kasus cerai gugat oleh istri kepada suami dalam aduan yang tercatat di Pengadilan Agama. Konon belum menutup tahun sidang 2023, sudah tercatat seribu lebih kasus perceraian, dan jamak lagi kasus susulan yang antri untuk disidangkan.Mengingat betapa rapuhnya pondasi keluarga yang akan dibina bersama. Dahulu, era 1970-an, 1980-an, fenomena cerai-berai merupakan aib yang harus ditanggung oleh keluarga besar dua pasangan, kerugian sosial. Era tahun 2000, kasus talak menjadi biasa, era tahun 2020, kasus talak menjadi booming dan viral. Tanpa malu untuk adu gosip, dan saling “kabar kabari”.Bahkan cerai-berai telah menjadi ulasan dalam pemberitaan media.

Dampak penyerta-nya adalah poligami yang tidak syar’i. Padahal tuntutan agama adalah: “wa’asyiru hunna bil ma’ruf, wa-ada-un ilaihi bi-ihsan. Dengan kata lain, mafhum mukhalafahnya: tidak dengan cara baik dalam menikah (la bil-ma’ruf) dan tidak dengan cara lebih baik dalam mencerai (la bi-ihsan).

Stress pasca gawai kedua adalah setelah melahirkan, mengasuh, merawat, menjaga membesarkan anak-anak. Fenomena baby blues ditemukan karena ketidak-siapan dalam menerima kehadiran sang bayi sebagai anugerah Tuhan. Tentu, setelah kelahirannya, banyak budget yang diperlukan, dari sandang, pangan, papan sampai nutrisi dan area bermain.

Baby blues hampir sebuah tindakan di luar kesadaran yang hanya menyisakan penyesalan diujungnya. Diduga terlalu banyak beban psikologis yang tidak lagi mampu untukditampung, multi beban yang berada diluar batas kemampuan individu seseorang. Alam bawah sadarnya menyuruh berbuat nekad, bila diikuti akan menghancurkan apa yang sudah dibangun selama ini.

Edukasi dan literasi urgent hari itu adalah kalam hikmah, dan petuah yang mendamaikan dapat mengundang berkah, sebagai hakim dari kedua belah pihak yang sudah diamanahkan kitab suci. Menurut penulis, larikan hati kepada merenungi ayat-ayat Allah SWT.Bahwa umat terdahulu lebih besar ujian mereka, dan lebih berat tanggung-jawab mereka. Artinya, jauh dari makna Al-Quran sama dengan jauh dari makna kebahagiaan. Dekat dengan makna Al-Quran telah menjadikan seseorang pemegang kunci kesabaran yang dapat memantik kebahagiaan hingga ajal menjemput.

Stress ketiga adalah pasca pemilu, baik yang memiliki hak dipilih maupun hak memilih. Isu kekecewaan pasti ada, hanya dalam skala yang berbeda. Kategori sangat parah, parah, sedang, kurang. Terhadap semua kekecewaan supaya diartikan sunnatullah. Sunnatullah mengajarkan dimana ada menang, disitu tempat kalah. Kalah dan menang merupakan pergiliran waktu yang Tuhan pasti gilirkan. Siap menerima kemenangan artinya sudah menunggu amanah yang segera dipanggul, siap menerima kekalahan artinya masih diberi waktu untuk istirahat.

Tahun 2024 boleh disebut tahun perhelatan politik nasional. Serentak Indonesia merayakan pesta demokrasi siklus lima tahunan. Mungkin eforia dan ambisi pribadi dan kelompok mengental, memanas dalam target capaian kemenangan, namun obat pencair dan pendingin dari “radang politik” harus segera dicari supaya tidak mengarah kepada patologi akut baik secara jasmani, rohani dan sosial. Patologi klinis, spiritual dan sosial wajib mendapat terapi dan solusi yang tepat guna dan berhasil guna. Wallahu alam.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *