MENGAPA MAU MENERIMA BEBAN AMANAH?

Oleh: Ma’ruf Zahran

Sudah dipahami bahwa amanah adalah beban? Lalu ditanya, mengapa mau, ada apa dengan amanah, dan ada apa dengan beban? Bukankah diri sendiri adalah beban, masih mau lagi menananggung amanah keluarga, amanah masyarakat, amanah profesi. Bukankah menanggung amanah sama dengan mengemban beban? Eskalasi politik praktis diakhir tahun 2023 dan awal tahun 2024 semakin memanas menuju puncak, Februari 2024. Mudahan setelah Februari mengalami masa mendingin (mendamai). Sekarang, upaya saling sindir-pun dilakukan, bila masih dalam koridor ilmiah masih dibolehkan, sedang bila menjurus pada praktik jahiliah wajib diuntuk dicegah. Pesta demokrasi tetap harus dengan kepala dingin, walau hati membara. Berpijak kaki ke bumi, dan berpikir jauh ke depan. Berpikir untuk kemaslahatan bangsa ini yang lebih besar. Apa yang diperebutkan adalah simpati rakyat Indonesia, dan harus dipertanggungjawabkan kepada 300.000.000 rakyat Indonesia. Bertujuan untuk keamanan dan kesejahteraan rakyat. Amanahdalam konteks ini, tidak bisa diartikan nikmat, namun lebih sebagai beban (bala’).

Narasi di atas adalah contoh logika langit, bumi dan gunung-gunung yang takut menerima amanah. Bermula takut untuk menerima amanah, akhirnya kedudukan langit, bumi dan gunung jauh berada di bawah manusia, bahkan mereka menjadi pelayan manusia. Manusia-lah yang mau menerima amanah kepemimpinan, siap kalah-siap menang, siap dicaci-siap dipuji, siap sakit-siap sehat, siap bercerai-siap bersatu.

Ada dua sifat (karakter) manusia yang jahat, namun bila diberi pencerahan hikmah, kedua sifat jahat lambat-laun akan menjadi sifat baik. Apakah kedua sifat jahat yang banyak menghinggapi amanah kepemimpinan atau kepercayaan yang diberikan rakyat? Literasi ayat ini menjawab: “Sesungguhnya Kami telah menawarkan amanah kepada langit, bumi dan gunung-gunung, tetapi semuanya enggan memikul amanah itu, karena mereka khawatir tidak akan dapat melaksanakannya (berat). Lalu dipikullah amanah itu oleh manusia. Sungguh manusia sangat aniaya (dzalim) dan sangat bodoh (jahil).” (Al-Ahzab:72).

Eksistensi kepatuhan langit, bumi, gunung adalah mutlak. Berbeda dengan manusia yang diberikan kemerdekaan (hurriyyah) untuk memilih perbuat atau tidak berbuat. Justeru karena kebebasan tersebut-lah manusia didaulat bisa memegang amanah Tuhan. Namun kebanyakan manusia tidak mengetahui disebabkan perilaku sangat aniaya dan sangat bodoh (dzaluma dan jahula). Sebaliknya, jangan khawatir, manusia (ruh insani) adalah makhluk Tuhan yang berproses secara jasmani dan rohani. Sementara ruh hewani dan nabati tidak sesempurna dan secerdas manusia dalam merespon Tuhan dan lingkungan.

Manusia yang baik, bukan baik melulu, karena mustahil terjadi. Manusia yang jahat, bukan jahat melulu, karena mustahil tidak berubah. Perubahan itulah wujud kehadiran manusia, bukan seperti malaikat yang telah diformulasikan sebagai makhluk taat selamanya. Dan bukan seperti iblis yang telah dirancang selaku makhluk durhaka selamanya.

Amanah kepemimpinan sudah menjadi keniscayaan bagi manusia, sampai diri diminta pertanggung-jawaban tentang diri. Sebab kehidupan diri dari Allah, kematian diri kepada Allah, kembali diri untuk Allah. Sehingga ada diri yang baik, dan ada diri yang jahat. Menentukan baik dan jahat adalah kebebasan manusia merdeka. Kemerdekaan hanya terdapat pada manusia, tidak pada langit, bumi, matahari, bulan dan gunung.

Memang secara fisik manusia tidak setinggi langit, tapi dengan ilmu dan iman, manusia mampu setinggi langit bahkan melampaui batas-nya. Iman dan akal dimiliki oleh langit, bumi, gunung, matahari, bulan, flora dan fauna, namun mereka sangat terbatas dalam istilah instink saja. Manusia sempurna dari jasmani dan rohani. Terutama kebebasan untuk berkehendak (free will) dan kebebasan untuk berbuat (free act). Dua capacity dan ablity ini, manusia dilantik Tuhan menjadi khalifah. Khalif yang artinya pengganti, khalifatullah fil ‘alam (pengganti Allah di dunia),khalif bisa bermakna pemimpin, penggatur.

Mengingat jabatan dan status adalah amanah, dan amanah artinya mengemban beban, lurus bermakna selamat ke surga, menyimpang bermakna celaka menuju ke neraka. Untuk tidak aniaya (dzuluma) dan tidak bodoh (jahula). Anti tesis terhadap keduanya adalah pemimpin (khalifah) dalam seluruh level harus bersikap ‘adil dan bertindak ‘alim.

Artinya tidak seperti langit, bumi dan gunung-gunung yang menolak amanah kepemimpinan karena takut beban. Melainkan terima amanah dengan hujjah (argumentasi), bila menolak amanah dengan hujjah (argumentasi) pula. Sebab, menerima atau menolak amanah (kepercayaan) dari Tuhan dan manusia, pasti kedua sikap tersebut diuji Tuhan. Pengujian tetapselamanya berlangsung selama hayat dikandung badan. Oleh sebab kehidupan merupakan areapenderitaan (maydanul-bala’).

Manusia pasti menerima amanah kepemimpinan, dalam hadis riwayat Muslim disebut: “Kullukum ra’in, wakullukum mas-ulun ‘an ra’iyyatih … “Setiap kamu adalah pemimpin, dan setiap kamu pasti diminta tanggungjawab tentang yang kamu pimpin (rakyat)”. Martabat insan sebagai imam (ra’iy) harus memimpin rakyat (ra’iyyah) yang sudah dipercayakan, hatta seorang pamuda diminta bertanggungjawab kepada diri jasmani dan diri rohani. Atau setiap kamu adalah penggembala, dan setiap kamu wajib amanah terhadap domba-dombanya.

Keniscayaan menjadi pemimpin pasti diuji. Dalam ujian itulah mengandung balutan nikmat, bala’, taat, maksiat. Dengan kata lain, dalam jabatan fungsional dan jabatan struktural tersimpan pahala dan dosa. Dua makhluk yang senantiasa ikut serta dalam jabatan. Keselamatan hanya dengan salat (bis-salah), dengan kesabaran (bis-sabri), dengan kebaikan (bil- ma’ruf), dengan keikhlasan (bil-ihsan). Deklarasi kepastian itu adalah: “Dan pasti Kami akan menguji kamu dengan sesuatu berupa sedikit dari rasa takut, kelaparan, kekurangan harta (miskin) dan jiwa (sakit), dan buah-buahan (krisis pangan). Dan berikan kabar gembira kepada orang-orang yang sabar. Mereka adalah orang yang mengatakan: sesungguhnya kami berasal dari Allah, dan sesungguhnya kami kembali kepada-Nya. Mereka itulah orang-orang yang mendapat selawat dari Tuhan mereka dan rahmat (kasih-sayang). Dan mereka itulah orang-orang berada dalam petujuk”.(Al-Baqarah:155-157).

Musibah dalam arti ujian, meliputi empat medan yaitu:
1. Ujian taat.
2. Ujian maksiat.
3. Ujian nikmat.
4. Ujian bala’.

Terhadap keempat ujian ini, seorang mukmin berkata seperti dititah Tuhan kepada Muhammad dan umat Muhammad (At-Taubah:51): “Katakanlah tidak akan menimpa musibah kepada kami, kecuali apa-apa yang telah ditetapkan Allah untuk kami, Dia pelindung kami. Maka kepada Allah, orang-orang mukmin bertawakkal (berserah-diri).”

Untuk menundukkan ego-sentris (pusat aku-kedirian) seperti ‘ujub (megalomaniac), riya dan sum’ah (hiperaktif) hambat dengan doa dan menghayati maknanya. Jamak doa dalam kitab suci yang membuat rendah hati (humble), seperti: Tuhan kami, masukkan kami kedalam golongan orang-orang yang bertaubat. Atau doa secara khusus dalam penutup surah Al-Baqarah (2) ayat 286. Semoga menjadi renungan bersama. Wallahu a’lam

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *